Oleh :
Muh. Amier Arham
Demonstrasi besar-besaran menjelang hari kemerdekaan di Kabupaten Pati Jawa Tengah mengespresikan rasa kecewa rakyat terhadap pemerintahnya, karena dihimpit oleh kebijakan yang tak bersahabat dan model komunikasi pemimpinan yang pongah, menantang rakyatnya berdemonstrasi dengan jumlah 50.000 massa sekali pun.
Akar masalahnya adalah bermula dari kebijakan Pemda Kabupaten Pati menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 %. Nilai besaran kenaikan pajak tersebut terasa berat, apalagi di tengah himpitan ekonomi dan tergerusnya dayabeli masyarakat. Kenaikan PBB-P2 yang sangat drastis bukan hanya terjadi di Kabupaten Pati, tapi juga muncul di beberapa daerah, misalnya Kabupaten Bone Sulawesi Selatan (300 %), Semarang Jawa Tengah (441 %), Kabupaten Cirebon Jawa Barat (1.000 %) dan Jombang Jawa Timur (1.202 %). Kenaikan pajak yang melonjak tinggi diberbagai daerah memicu langkah protes dari banyak kalangan, namun yang sangat massif di Kabupaten Pati.
Protes atas kenaikan pajak daerah muncul karena ada dua prinsip yang diabaikan oleh pengambil kebijakan (Pemda), yaitu; 1) Minimnya partisipasi public dalam menentukan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB, dan 2) Tidak mempertimbangkan prinsip Ability to Pay masyarakat, artinya besaran pajak seharusnya disesuaikan dengan kapasitas financial wajib pajak, bukan sekadar berdasarkan manfaat yang diperoleh dari belanja pemerintah (benefit principle).
Sejatinya kenaikan PBB-P2 wajar dilakukan karena selama puluhan tahun tidak pernah ada penyesuaian, dan ini dialami oleh hampir seluruh daerah. Kenaikan pajak daerah yang bersumber dari PPB-P2 saya termasuk salah satu pihak kerap menyuarakan diberbagai kesempatan terhadap Pemda di Gorontalo, dengan dua alasan; 1) Nilai PBB-P2 di beberapa kawasan tertentu terlampau rendah, misalnya kawasan bisnis atau perumahan yang semula dihitung NJOP hamparan tanah kosong, 2) Pengalihan pengelolaan PBB-P2 kepemerintah daerah yang semula dikelola oleh pemerintah pusat berpotensi meningkatkan pendapatan daerah. Meski pun demikian nilai kenaikannya tidak mengabaikan prinsip yang dikemukakan di atas, dan dilakukan secara bertahap sehingga tidak memberatkan wajib pajak.
Ketimpangan Fiskal yang Melebar
Model pemerintahan pada masa lalu yang terpusat (sentralistik) terbukti gagal untuk menciptakan pemerataan, karena itu sejak tahun 2001 desentralisasi mulai diterapkan dengan tujuan untuk meminimumkan ketimpangan secara vertikal dan horizontal. Prinsip desentralisasi melimpahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah dibarengi dengan intergovernmental fiscal, terutama pembiayaan pegawai.
Untuk daerah kaya SDA, mendapatkan alokasi bagi hasil cukup besar, daerah yang sudah maju potensi PAD-nya lebih tinggi sehingga dana transfer yang didapatkan rendah, sementara daerah “miskin” alokasi umumnya lebih besar diberikan. Namun demikian, selama satu dekade desentralisasi dijalankan di Indonesia secara umum daerah keteteran membiayai jalannya pembangunan karena ruang fiscal amat sempit. Oleh karena itu sejak awal tahun 2010 PBB-P2 semula dikelola oleh pemerintah pusat dialihkan menjadi pajak daerah, sedangkan PBB sector lainnya tetap dikelola oleh pemerintah pusat. Pengalihan PBB-P2 kedaerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD) dengan tujuan agar pemerintah daerah akan lebih fleksibel untuk mematok tariff pajak bumi dan bangunan. Dalam prakteknya alih kelola PBB-P2 hanya cenderung menguntungkan daerah yang telah maju atau daerah perkotaan disbanding dengan kabupaten yang mengandalkan sector pertanian.
Di tengah meningkatnya kebutuhan daerah, pada saat yang sama ruang fiscal terbatas maka daerah tetap bergantung transfer dari pemerintah pusat, sehingga pemerintah meredesain kembali pola hubungan keuangan pusat dan daerah agar kesenjangan fiscal tidak makin melebar. Maka terbitlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). UU ini terbit diniatkan memperkuat desentralisasi fiscal (Local Taxing Power) guna mempercepat pembangunan daerah agar kesejahteraan masyarakat merata di seluruh NKRI. Salah satu poin penting dalam UU HKPD agar Local Taxing Power meningkat yaitu adanya kebijakan opsen.
Ada tiga jenis pajak daerah yang dikenakan opsen yaitu opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Dua diantaranya opsen pajak memicu kenaikan beban bagi masyarakat, yaitu PKB dan BBNKB dimana penetapannya didasarkan pada SK bupati/walikota, idealnya sebelum dikenakan pajak opsen tariff maksimal pajak induk diturunkan terlebih dahulu sebelum mengakomodasi pajak opsen.
Berbagai kebijakan penguatan kapasitas fiscal daerah telah diujicobakan untuk meminimumkan kesejangan fiskal antar daerah (horizontal), akan tetapi kesenjangan fiscal secara vertical sangat lebar, penyebabnya masih ada keengganan pemerintah pusat melepas ke daerah sumber-sumber penerimaan potensial. Sehingga sumber penerimaan yang gemuk tetap dipelihara oleh pemerintah pusat, dan sumber-sumber yang kurus menjadi kewenangan pemerintah daerah. Apalagi belakangan makin menguatnya praktek resentralisasi kewenangan, tanpa disadari praktek tersebut turut memperlemah kapasitas fiscal daerah.
Sejalan dengan itu beban spending mandatory daerah makin berat, berbagai kegiatan dan pelaksanaan program pemerintah pusat wajib dijalankan oleh pemerintah daerah, dengan menggunakan prinsip pemenuhan Standar Pelayanan Minum (SPM) namun anggarannya terbatas. Akibatnya pemerintah daerah terhimpit diantara kewajiban membiayai pemenuhan SPM dan tuntutan pemenuhan kebutuhan publik. Pilihan pemerintah daerah terbatas dan cara paling mudah keluar dari himpitan dengan melakukan intensifikasi pajak daerah.
Politik Anggaran dan Pembiayaan Program Populis
Praktek desentralisasi yang telah berjalan selama 25 tahun belum terwujud sebagaimana mestinya, dengan melimpahkan sebagian besar kewenangan kepada pemerintah daerah inter government fiscal sejatinya juga makin diperbesar, sehingga pembiayaan pembangunan di daerah dapat terpenuhi. Hanya saja desentralisasi yang dijalankan setengah hati, beban kewenangan makin berat dipikul oleh daerah tetapi alokasi belanja (dana transfer) jauh lebih kecil disbanding belanja K/L. Bahkan dari tahun ke tahun anggaran pemerintah pusat terus bertumbuh, misalnya belanja pemerintah dalam RAPBN 2026 ditetapkan sebesar Rp 3.786,5 triliun.
Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp 1.498,3 triliun atau tumbuh 17,5 persen dan belanja non-K/L Rp 1.638,2 triliun atau tumbuh 18 persen. Postur anggaran tersebut tidak mencerminkan system pemerintahan desentralistik, justru sebaliknya. Akibatnya kepala daerah makin kerap warawiri di kementerian melobi anggaran, bagi kepala daerah yang memiliki koneksi di kementerian potensi mendapatkan pembiayaan tambahan cukup terbuka, dan sebaliknya kepala daerah yang hanya bussines usual selamanya tak mendapatkan bantuan.
Selain itu kebijakan efisiensi yang dijalankan pemerintah pusat tahun 2025 dengan memotong dana transfer ke daerah sebesar 50 % dari pagu tahun sebelumnya untuk membiayai program populis membuat daerah kelimpungan. Praktis hampir semua daerah, terutama yang ada di wilayah KTI APBD-nya hanya cukup membiayai gaji pegawai karena anggaran belanja tidak terikat (discretionary spending), seperti belanja infrastruktur atau belanja sector dasar lainnya dialihkan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Padahal untuk mengatasi ketimpangan wilayah, pembangunan infrastruktur terutama di wilayah perdesaan merupakan langkah solutif untuk menciptakan spread effect perekonomian daerah. Tapi prioritas pembiayaan pemerintah tetap menempatkan program MBG, bahkan alokasi pembiayaan MBG tahun depan mencapai Rp 335 triliun, atau mengalami kenaikan yang sangat besar dari Rp 71 triliun di tahun 2025.
Sekali pun alokasi spending mandatory seperti sector pendidikan juga mengalami kenaikan sebesar Rp 757,8 triliun, hanya saja hampir dari separuh anggaran pendidikan dialokasikan membiayai program MBG. Anggaran sebesar Rp 335 triliun digunakan untuk menu makan 82,9 juta penerima manfaat dan 30 ribu dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Sementara itu pemerintah menetapkan alokasi transfer keuangan daerah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar Rp 650 triliun. Anggaran ini turun sebesar Rp 269 triliun dibandingkan dengan APBN tahun2025 yang mencapaiRp 919 triliun.
Ini pertanda tahun depan pemenuhan kebutuhan peningkatan infrastruktur dasar tidak akan diadakan, disaat yang sama ada ribuan orang bergantung pada lapangan usaha bangunan (kontraktor), mereka akan menganggur, alat-alat berat yang dimiliki akan menjadi onggokan besi tua. Dan bagi pemerintah daerah kuantitas dan kualitas layanan publik tidak boleh menurun, ironisnya mereka tidak banyak opsi selain menaikkan tarif layanan (pajak dan retribusi), maka beban fiscal daerah kian berat, pada akhirnya rakyat yang akan memikul. Jika pun Pemerintah daerah tidak menaikkan tariff layanan, niscaya kepala daerah hanya akan menghabiskan periode pemerintahannya untuk kegiatan kunjungan tanpa solusi! (*)
Penulis adalah Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo











Discussion about this post