Oleh:
Muhammad Makmun Rasyid
Dewan Ahli Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Gorontalo
AKSI unjuk rasa bertajuk solidaritas Palestina di kawasan Perlimaan Telaga, Gorontalo, pada Jumat (25/7), memperlihatkan sebuah dinamika yang semakin kompleks dalam lanskap sosial-politik Indonesia. Di balik simbol kemanusiaan dan keagamaan yang diangkat dalam demonstrasi tersebut, terselip narasi dan atribut yang mengindikasikan keterlibatan eksponen Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang telah dibubarkan oleh pemerintah pada 2017 karena dinilai bertentangan dengan ideologi Pancasila dan prinsip negara kesatuan.
Aksi tersebut menampilkan bendera hitam-putih bertuliskan kalimat tauhid khas HTI, spanduk seruan jihad, serta slogan tentang penegakan khilafah. Fenomena ini bukan hanya tentang empati terhadap penderitaan rakyat Palestina, tetapi juga upaya sistematis untuk mempolitisasi tragedi tersebut sebagai kendaraan menghidupkan kembali proyek ideologis HTI. Isu Palestina dijadikan alat framing untuk memperluas resonansi politik identitas berbasis agama, yang menolak sistem demokrasi dan mengusung agenda khilafah transnasional.
HTI memang secara formal menyatakan tidak menggunakan kekerasan dalam perjuangannya, namun secara ideologis dan digital, ia telah menjadi salah satu aktor sentral dalam proses radikalisasi. Penelitian dan laporan internasional menyebut HTI sebagai sebuah “inkubator ekstremisme” atau “conveyor belt to terrorism.” Artinya, meski HTI tidak terlibat langsung dalam aksi teror, narasi-narasi yang dibangunnya menjadi fondasi kognitif dan ideologis bagi individu atau kelompok yang pada akhirnya memilih jalur kekerasan.
Sejumlah kasus membuktikan keterkaitan ini. Beberapa pelaku teror besar di Indonesia seperti Bahrun Naim dan Munir Kartono diketahui memiliki keterlibatan awal dengan HTI sebelum bergabung dengan jaringan teroris seperti ISIS dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Hal ini menandakan bahwa HTI bukan hanya entitas politik, tetapi juga sebuah entitas ideologis yang membentuk kerangka berpikir eksklusif, yang menolak pluralisme, menolak demokrasi, dan memandang sistem negara modern sebagai bentuk kufur.
Transformasi HTI pascapelarangan organisasi juga menunjukkan adaptasi strategis yang tidak kalah berbahaya: digitalisasi gerakan. HTI telah mengalihkan basis operasinya ke ranah daring dengan sangat masif dan terstruktur. Media Umat, misalnya, menjadi kanal propaganda digital utama HTI dalam menyebarkan narasi khilafah, menantang sistem demokrasi, dan membingkai isu-isu global, termasuk Palestina, sebagai bukti kegagalan tatanan dunia sekuler. Narasi yang dibangun HTI secara konsisten mengarah pada delegitimasi sistem politik nasional dan penanaman kebencian terhadap institusi negara.
Dalam satu tahun terakhir, badan terkait telah memblokir lebih dari 180.000 konten ekstremis dan intoleran di ranah digital Indonesiadengan HTI sebagai salah satu penyumbang terbesarnya. Angka ini menunjukkan bahwa eksistensi HTI bukan hanya bersifat simbolik, tetapi merupakan jaringan aktif yang terus merekrut, menyebarkan propaganda, dan memperluas pengaruhnya melalui algoritma digital yang memfasilitasi penyebaran cepat dan masif. Echo chambers yang diciptakan oleh algoritma media sosial memperkuat bias ideologis dan menjebak pengguna dalam dunia narasi tunggal yang ekstrem.
Model doktrinal HTI juga memperparah kondisi ini. Melalui konsep “tabanni” (adopsi doktrin secara total) dan struktur “halaqah” (lingkaran studi tertutup), HTI membentuk sistem pemahaman yang menolak kritik, menutup ruang tafsir, dan menanamkan pemisahan mutlak antara “yang Islam” dan “yang kufur.” Konsep ini menciptakan dunia biner: Dar al-Islam vs. Dar al-Kufr. Dalam kerangka ini, negara Indonesia dilabeli sebagai bagian dari kekufuran yang perlu ditransformasikan melalui khilafah. Konsekuensi dari cara berpikir ini adalah legitimasi terhadap tindakan konfrontatif, bahkan kekerasan.
Di luar aspek ideologis, dinamika pendanaan menjadi salah satu elemen penting dalam mendukung keberlangsungan jaringan-jaringan ekstremisme. Laporan PPATK menunjukkan bahwa aliran dana untuk kegiatan terorisme di Indonesia bersifat transnasional: masuk dari luar negeri, dan dalam sejumlah kasus, mengalir ke zona konflik seperti Suriah.
Dana ini sering kali tidak terdeteksi dalam sistem perbankan konvensional karena menggunakan metode “smurfing, cryptocurrency”, atau teknologi finansial berbasis “peer-to-peer.” Meskipun tidak secara eksplisit mengaitkan HTI, pola-pola ini mengindikasikan adanya infrastruktur finansial yang adaptif di balik berbagai gerakan radikal maupun ekstremis yang aktif di ruang digital, termasuk yang mengedepankan narasi ideologis non-kekerasan seperti HTI.
Dalam konteks Gorontalo, peningkatan indeks potensi radikalisme menjadi cerminan bahwa narasi-narasi HTI bukan hanya bersifat digital atau nasional, tetapi sudah menemukan ruang resonansi di tingkat lokal. Masyarakat yang religius, tetapi memiliki literasi ideologis yang lemah, menjadi target utama infiltrasi ini. Aksi “solidaritas Palestina” menjadi pintu masuk yang efektif untuk menyusupkan agenda yang jauh lebih dalam dan destruktif terhadap tatanan negara.
Oleh karena itu, melawan narasi HTI tidak bisa hanya dengan membubarkan aksi atau menutup akun media sosial. Diperlukan strategi berlapis: dari literasi digital, pendidikan ideologis, hingga penguatan narasi kebangsaan dan keislaman yang inklusif. Negara, tokoh agama, dan institusi pendidikan harus hadir sebagai benteng naratif dan etis dalam menghadapi tantangan ini.
Solidaritas terhadap Palestina adalah tanggung jawab moral dan kemanusiaan. Namun, membiarkan tragedi itu ditunggangi oleh kelompok terlarang hanya akan menjadikan kita korban berikutnya dari konflik yang dibajak menjadi alat agitasi politik. Gorontalo harus tetap menjadi ruang yang damai, bukan laboratorium radikalisme baru. (*)










Discussion about this post