Oleh:
Hamka Hendra Noer
Di tengah arus globalisasi dan tuntutan akan keterbukaan, banyak negara berlomba-lomba mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Demokrasi dipromosikan sebagai symbol kemajuan politik dan peradaban, seakan menjadi label wajib untuk memperoleh pengakuan internasional. Namun, di balik gemerlap slogan “demokrasi,” realitas yang terjadi tidak selalu seindah yang ditampilkan.
Sering kali, kita mendapati kebebasan politik bersifat kosmetik, hak-hak sipil dikekang dan partisipasi publik hanya sekadar formalitas. Fenomena ini dikenal sebagai pseudo-democracy atau demokrasi semu—sebuah sistem di permukaan tampak demokratis, tetapi pada dasarnya menyembunyikan praktik otoritarian dan manipulasi kekuasaan.
Demokrasi semu umumnya muncul sebagai strategi elite politik untuk mempertahankan legitimasi sambil mengontrol masyarakat. Rakyat hanya dijadikan “penonton” dalam panggung politik yang sudah diatur skenarionya, sehingga aspirasi public menjadi tumpul dan demokrasi kehilangan makna substansialnya.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana demokrasi semu muncul, bagaimana memanipulasi simbol dan prosedur demokrasi, serta dampaknya terhadap kehidupan politik dan sosial masyarakat. Dengan memahami gejala ini, pembaca dapat lebih kritis menilai apakah demokrasi di suatu negara sungguh memperjuangkan kedaulatan rakyat atau sekadar memperindah tirani yang tersembunyi.
PEMILU, RITUAL LEGITIMASI
Pemilu sering dijadikan barometer utama dalam menilai eksistensi demokrasi di sebuah negara. Di atas kertas, pemilu melambangkan kedaulatan rakyat dan mekanisme akuntabilitas kekuasaan. Namun, dalam konteks demokrasi semu, pemilu justru bertransformasi menjadi ritual legitimasi yang dikontrol ketat oleh penguasa. Kandidat yang maju biasanya telah disaring secara politik, media dikekang untuk menjaga narasi tunggal, dan lembaga pengawas dikooptasi demi memastikan hasil sesuai keinginan rezim.
Menurut Diamond (2002), pseudo-democracy ditandai dengan electoral authoritarianism, yakni kondisi ketika pemilu diselenggarakan secara rutin tetapi tidak memberikan ruang kompetisi yang adil dan bebas. Dalam sistem ini, prosedur demokrasi sekadar dijadikan etalase untuk mempercantik citra politik di mata dunia. Hasil akhirnya bias ditebak, kemenangan mutlak untuk memperkuat legitimasi palsu.
Di berbagai negara, praktik politik uang, intimidasi pemilih, hingga manipulasi daftar hadir sudah menjadi bagian dari strategi sistemik untuk mempertahankan kekuasaan. Indonesia bukan pengecualian. Dalam Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat lebih dari 1.500 kasus politik uang. Indikator ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum terhadap praktik yang merusak esensi demokrasi. Meski partisipasi pemilih mencapai 81%, substansi pemilu masih dikaburkan oleh transaksi politik yang melibatkan elite dan kapital.
Kasus Rusia juga menjadi contoh mencolok. Vladimir Putin, memimpin sejak 2000, secara rutin memenangkan pemilu dengan persentase tinggi. Freedom House (2023) mengklasifikasikan Rusia sebagai “Not Free” dengan skor kebebasan politik 16 dari 100.Terjadi kendali penuh terhadap media, pembatasan calon oposisi, dan kriminalisasi aktivis, seperti dalam kasus Alexei Navalny—tokoh oposisi yang berseberangan dengan Putin, meninggal dalam penjara. Jelas, hal ini memperlihatkan bagaimana pemilu disulap menjadi legitimasi kekuasaan, bukan sarana pergantian pemerintahan.
Demokrasi semu berbahaya karena menipu rakyat melalui prosedur alformalistik sambil mengekang hak sipil. Masyarakat seolah diberi kebebasan memilih, tetapi pilihan mereka disempitkan oleh rekayasa politik. Demokrasi yang seharusnya mendengarkan suara rakyat justru mengabaikan substansi kedaulatan rakyat demi stabilitas semu.
Analisis Schedler (2006) menyebutkan bahwa rezim seperti ini sering menggunakan simbol demokrasi—seperti pemilu, parlemen, atau kebebasan pers terbatas—untuk memoles legitimasi di mata internasional. Padahal, di dalam negeri, kebebasan sipil dan kompetisi politik nyata dikorbankan secarasi stematis.
Kondisi ini tidak hanya melemahkan demokrasi, tetapi menurunkan kepercayaan publik terhadap proses politik. Ketika rakyat merasa aspirasinya tidak diwakili, maka potensi polarisasi, protes, hingga ketidakstabilan sosial akan meningkat.
Demokrasi semu seharusnya diwaspadai dan dilawan bukan hanya dengan prosedur elektoral, tetapi juga dengan penegakan hukum yang kuat, kebebasan pers yang independen, dan perlindungan hak-hak sipil. Tanpa upaya itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung sandiwara dan rakyat sekadar menjadi penonton setia.
TERBATASNYA KEBEBASAN SIPIL
Pemilu dan demokrasi, symbol dari kedaulatan rakyat dijalankan melalui prosedur perwakilan. Namun, dalam praktik demokrasi semu, pemilu justru direduksi menjadi sekadar ritual formal untuk mempercantik wajah kekuasaan. Proses yang seharusnya menjamin rotasi kekuasaan dan akuntabilitas public malah berubah menjadi sarana memperpanjang dominasi elite.
Dalam konsepsi demokrasi semu, kerap dibungkus dalam konsep electoral authoritarianism, dimana pemilu tetap digelar secara berkala, tetapi penuh rekayasa dan manipulatif. Kandidat dikontrol ketat, media dibatasi, dan lembaga pengawas dilemahkan. Hasil akhirnya dapat diprediksi sebelum pemungutan suara dimulai.
Skenario praktik politik uang, intimidasi pemilih, manipulasi suara menjadi hal yang biasa. Alih-alih memperkuat partisipasi publik, pemilu justru dimanfaatkan sebagai instrumen mempertahankan legitimasi.
Indonesia sendiri bukan pengecualian. Meski rutin menyelenggarakan pemilu, praktik politik uang tetap marak. Survei LSI (2023) menunjukkan sekitar 30% pemilih masih terpengaruh oleh iming-iming materi. Hal ini menandakan bahwa substansi demokrasi belum sepenuhnya mengakar.
Kasus di Rusia, mirip dengan di Turki. Presiden Recep Tayyip Erdoğan memperketat kontrol media dan membatasi oposisi, sehingga meskipun pemilu tetap digelar, kompetisinya sangat timpang. Laporan Human Rights Watch (2023) menyebut banyak kandidat oposisi dijegal lewat jalur hokum atau dicabut hak politiknya.
Demokrasi semu yang dibiarkan akan melahirkan masyarakat apatis, memperparah polarisasi, dan membuka ruang otoritarianisme semakin kuat. Demokrasi kehilangan makna substantif, jika hanya sebatas prosedur tanpa kebebasan sipil dan jaminan keadilan politik.
Membangun demokrasi yang sehat bukan sekadar soal menjaga ritual pemilu, tetapi juga memastikan media independen, penegakan hukum yang netral, dan perlindungan kebebasan sipil. Tanpa itu, pemilu hanyalah sandiwara mahal yang menipu rakyat dan dunia internasional.
Demokrasi semu member pelajaran penting bahwa demokrasi sejati tidak bias diukur hanya dari frekuensi pemilu atau kelengkapan prosedur formal. Demokrasi harus menjamin kebebasan berekspresi, kesetaraan di depan hukum, dan perlindungan hak-hak sipil sebagai fondasi utama. Negara yang terjebak dalam pseudo-democracy menciptakan ilusi stabilitas rapuh dan menyimpan bara ketidakpuasan publik dapat meledak sewaktu-waktu.
Jadi, demokrasi sejati memerlukan supremasi hukum dan kebebasan individu yang nyata. Tanpa keduanya, demokrasi hanya menjadi topeng untuk melanggengkan kekuasaan otoritarian. Oleh sebab itu, masyarakat perlu semakin kritis dan berani menuntut substansi, bukan sekadar symbol demokrasi semu. (*)
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta










Discussion about this post