Gorontalopost.co.id, BONE BOLANGO – Musim hujan yang melanda daerah Gorontalo, termasuk wilayah Bone Bolango, mengancam produksi beras. Mengapa tidak? Cuaca yang kurang bagus ini membuat proses penjemuran gabah terganggu, di mana tahapan ini cukup krusial dalam menghasilkan beras berkualitas tinggi.
Akibatnya, para petani dan pemilik gilingan gabah menghadapi tantangan besar dalam menjaga kualitas hasil panen mereka. Kerugian ekonomi pun tak dapat dihindari, mengancam kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar bergantung pada sektor pertanian.
Salah satu yang merasakan dampak langsung dari cuaca buruk ini adalah Ibu Neni (58), pemilik sebuah gilingan gabah di Bone Bolango. Ibu Neni, dengan pengalaman puluhan tahun di bidang pengolahan gabah mengungkapkan, proses penjemuran gabah yang ideal biasanya hanya membutuhkan waktu satu setengah hari, asalkan cuaca cerah dan matahari bersinar terik. Namun, dengan kondisi cuaca yang tidak menentu saat ini, proses penjemuran menjadi jauh lebih lama dan penuh risiko, bahkan mengancam kualitas gabah hingga membusuk.
“Penjemuran gabah membutuhkan waktu satu setengah hari jika matahari stabil. Sekarang cuaca setiap hari hujan, kami sendiri belum bisa memprediksi berapa hari keringnya, tergantung cuaca. Baru saja mau menjemur gabah, sebentar kemudian sudah hujan lagi. Kalau besok dibuka lagi, hanya bisa dijemur sejam, jadi belum tentu kering. Butuh waktu sekitar 2-4 hari. Jika tidak kering dalam 2-4 hari, gabah masih bisa diselamatkan jika kadar airnya sudah turun. Tapi kalau langsung dari sawah dan 2-4 hari tidak terkena matahari, gabahnya rusak dan busuk,” jelasnya.
Kondisi ini memaksa Ibu Neni dan para petani lainnya untuk bekerja lebih keras dan lebih lama dalam mengawasi proses penjemuran, menambah beban kerja dan mengurangi waktu istirahat.
Dampak dari cuaca buruk ini tidak hanya memperlambat proses produksi, tetapi juga menurunkan kualitas beras yang dihasilkan secara signifikan. Beras yang tidak dijemur dengan sempurna memiliki kadar air yang lebih tinggi, sehingga rentan terhadap kerusakan dan pembusukan, berujung pada penurunan nilai jual.
“Perbedaan harga jual beras yang penjemurannya stabil dan yang tidak sangat berbeda. Sekarang harga standar Rp 680.000 per kuintal itu sudah yang paling bagus. Tapi yang kualitasnya di bawah standar, harganya hanya Rp 600 ribu hingga Rp 620 ribu per kuintal,” paparnya.
Selisih harga ini merupakan pukulan telak bagi para petani yang sudah bekerja keras. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran besar bagi para petani dan pemilik gilingan gabah di Bone Bolango. Mereka berharap agar cuaca segera membaik sehingga proses penjemuran gabah dapat berjalan normal dan produksi beras dapat kembali meningkat.
Kehilangan hasil panen akibat cuaca buruk ini dapat berdampak luas pada perekonomian masyarakat Bone Bolango yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. “Pemerintah daerah perlu segera mengambil langkah konkrit untuk membantu para petani menghadapi situasi ini,” harapnya. (Mg-04/ Mg-07)












Discussion about this post