Oleh:
Dr. Ir. Hj. Fitria S. Bagu, M.Si
DALAM beberapatahunterakhir, isu ketahanan pangan menjadi agenda strategis yang digaungkan di berbagai forum nasional maupun internasional. Pemerintah Indonesia melalui berbagai kementerian dan lembaga telah menggulirkan puluhan program pangan, mulai dari bantuan langsung petani, modernisasi alat pertanian, penyuluhan, hingga pembukaan lahan baru.
Namun di balik semarak program tersebut, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana efektivitas program-program itu dalam memperkuat ketahanan pangan nasional? Dan apakah alokasi anggarannya efisien serta tepat sasaran? Hal ini penting mengingat ketahanan pangan tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, tetapi juga menyangkut stabilitas sosial dan kedaulatan negara.
Secaraumum, program ketahanan pangan di Indonesia masih bersifat sektoral dan tersebar di banyak instansi, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, BUMN pangan, bahkan TNI. Fragmentasi ini menyebabkan tumpang tindih kebijakan, pemborosan anggaran, dan kurangnya sinkronisasi data. Akibatnya, efektivitas program sering kali tidak optimal. Evaluasi dari berbagai lembaga pengawasan menunjukkan bahwa koordinasi antarsektor masih menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan kebijakan pangan nasional.
Sebagaicontoh, bantuanbenih dan pupuk dari kementerian sering kali tidak sejalan dengan kondisi agroekologi lokal. Ketidaksesuaian ini menyebabkan hasil pertanian yang tidak maksimal, dan bahkan kerugian bagi petani. Dalam laporan BPK tahun 2023, ditemukan bahwa beberapa program bantuan pertanian mengalami underspending dan pelaksanaan fisik yang lambat. Di sisi lain, belanja non-produktif seperti sosialisasi, pelatihan berulang, dan studi banding ke luar negeri tetap tinggi. Ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran.
Di tingkat daerah, persoalan juga muncul dalam bentuk rendahnya kapasitas kelembagaan lokal, serta minimnya partisipasi petani dalam merumuskan program. Padahal, partisipasi masyarakat adalah kunci agar program dapat diterima dan dijalankan secara berkelanjutan. Tanpa itu, program hanya akan menjadi seremonial belaka, tanpa menyentuh akar persoalan struktural yang dihadapi petani dan pelaku usaha pangan lainnya.
Seringkali ketahanan pangan disempitkan hanya dalam konteks peningkatan produksi padi. Padahal, konsep ini jauh lebih luas. FAO (2022) menekankan bahwa ketahanan pangan mencakup empat dimensi utama: ketersediaan, akses, stabilitas, dan pemanfaatan gizi. Jika hanya fokus pada satu komoditas, maka potensi kerawanan di sektor pangan lainnya menjadi terabaikan. Contohnya adalah minimnya perhatian terhadap protein nabati dan hewani di beberapa daerah, yang justru menyebabkan tingginya angka stunting dan malnutrisi.
Data BPS menunjukkan bahwa sekitar 7,5% penduduk Indonesia mengalami kerawanan pangan kronis. Hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan pangan bukan sekadar soal kecukupan stok, tetapi juga menyangkut distribusi yang merata dan keterjangkauan harga. Sistem distribusi pangan yang masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan menyebabkan masyarakat pedesaan dan kepulauan sulit mengakses bahan pangan dengan harga yang wajar, terlebih saat terjadi gangguan rantai pasok.
Dari sisi anggaran, dalam konteks APBN, belanja ketahanan pangan mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Namun, indikator output dan outcome-nya belum selalu berbanding lurus. Penelitian LPEM UI (2024) mencatat bahwa belanja publik bidang pangan menunjukkan inefficiency score sebesar 0,68 dalam indeks DEA (Data Envelopment Analysis), yang artinya masih banyak ruang untuk perbaikan efisiensi. Tidak jarang, dana habis digunakan untuk kegiatan yang tidak langsung menyentuh persoalan utama, seperti distribusi, pascapanen, dan akses pasar.
Solusi yang dapat ditawarkan antara lain adalah penyederhanaan program dan penguatan single database petani. Selain itu, perlu pengalihan anggaran dari belanja barang ke penguatan infrastruktur pertanian, seperti irigasi, jalan produksi, serta sarana pascapanen. Pemerintah juga harus mendorong pendekatan berbasis wilayah dan kebutuhan spesifik daerah, sehingga intervensi menjadi lebih kontekstual. Audit kinerja juga harus berbasis manfaat dan dampak sosial ekonomi, bukan hanya sekadar capaian serapan anggaran.
Ketahanan pangan juga bukan hanya soal negara, tapi soal rakyat. Di berbagai daerah, komunitas lokal telah lama memiliki sistem pangan tradisional yang tangguh: ladang berpindah di Kalimantan, pangale di Sulawesi, atau sasi di Maluku. Sayangnya, pendekatan top-down seringkali mengabaikan potensi ini. Padahal, pendekatan lokal sering kali lebih adaptif terhadap kondisi alam dan budaya setempat. Mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam program nasional bisa menjadi jalan keluar dari ketergantungan pada intervensi negara yang tidak berkelanjutan.
Dalam era perubahan iklim dan krisis global, ketahanan pangan menjadi semakin kompleks. Kenaikan harga pangan dunia, gangguan cuaca ekstrim, dan konflik geopolitik telah menekan ketersediaan dan stabilitas pangan global. Indonesia sebagai negara agraris perlu memiliki sistem pangan yang tidak hanya kuat di sisi produksi, tetapi juga tangguh dari sisi distribusi dan konsumsi. Ketahanan pangan berbasis komunitas, dengan dukungan teknologi dan inovasi, adalah jalan tengah yang patut dikembangkan ke depan.
Ketahanan pangan adalah soal kedaulatan dan martabat bangsa. Namun, kedaulatan ini tidak akan tercapai jika program-program pemerintah tidak efisien, tumpang tindih, dan minim akuntabilitas. Diperlukan keberanian untuk mengevaluasi, menyederhanakan, dan mengefisienkan berbagai program, sekaligus membuka ruang partisipasi publik secara lebih luas. Penguatan tata kelola, transparansi, dan pengawasan masyarakat adalah elemen penting dalam reformasi ketahanan pangan nasional.
Karena pada akhirnya, ketahanan pangan bukan semata soal bantuan, tetapi soal keberdayaan. Bangsa yang berdaulat pangan adalah bangsa yang mampu memberi makan rakyatnya dari hasil bumi sendiri, dengan sistem yang adil, efisien, dan berkelanjutan. (*)
Penulisadalah dosen tetap Fakultas Pertanian
pada Program S1 dan S2 Agroteknologi,
Universitas Negeri Gorontalo.









Discussion about this post