Oleh :
Hamka Hendra Noer
POLEMIK mengenai dugaan ijazah palsu Presiden ke-7, Joko Widodo, akhirnya resmi ditutup setelah hasil uji laboratorium forensik oleh Bareskrim Polri memastikan keaslian dokumen yang dipermasalahkan. Tuduhan ini sempat menjadi perbincangan nasional dan memunculkan ketegangan politik yang tidak berkesudahan.
Kasus ini mencuat setelah Prof. Eggi Sudjana, Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), melaporkan Presiden Jokowi dan Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. Ova Emilia ke Bareskrim Polri atas dugaan penggunaan ijazah palsu, pada 9 Desember 2024. Laporan tersebut memicu perhatian luas dari publik, terutama karena menyasar institusi pendidikan ternama di Indonesia, yakni Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sebagai respons, UGM menerima audiensi dari TPUA yang dihadiri jajaran pimpinan Fakultas dan Universitas pada 15 April 2025. Pertemuan ini berlangsung terbuka dan disertai penjelasan akademik terkait prosedur verifikasi dokumen kelulusan. Tidak berhenti di situ, Presiden Jokowi sendiri turut merespons secara langsung dengan menerima perwakilan massa TPUA di kediamannya di Solo, sehari setelah audiensi dengan UGM, pada 16 April 2025.
Setelah melalui proses investigasi dan uji forensik yang mendalam, pihak kepolisian akhirnya menyatakan bahwa ijazah Presiden Jokowi adalah “asli” dan sah secara hukum. Dengan demikian, tuduhan yang sempat mengemuka terbantahkan secara ilmiah dan institusional (Kompas, 22 Mei 2025).
Dari kasus Presiden Jokowi, mari kita belajar beberapa kasus yang menimpa pemimpin dunia terkait kejujuran akademik. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah kasus Pál Schmitt, Presiden Hungaria periode 2010-2012. Disertasi doktoralnya terbukti menjiplak sebagian besar isi dari karya peneliti lain tanpa mencantumkan sumber. Akibatnya, Universitas Semmelweis mencabut gelar doktornya, dan tekanan publik yang besar membuat Schmitt akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Presiden (Szabó, 2013).
Kasus serupa juga terjadi di Jerman, menimpa Karl-Theodor zu Guttenberg, Menteri Pertahanan pada 2009-2011. Ia harus mundur setelah disertasi doktoral bidang hukum di Universitas Bayreuth dinyatakan mengandung plagiarisme sistemik. Universitas kemudian mencabut gelar tersebut, dan kepercayaan publik terhadapnya pun runtuh (Groysberg & Connolly, 2011).
Tidak hanya itu, Zsolt Semjén, Wakil Perdana Menteri Hungaria, juga terseret kasus yang sejenis. Tesis masternya dituduh penuh dengan plagiarisme. Investigasi menunjukkan bahwa sebagian besar isi tesisnya merupakan salinan dari karya lain tanpa atribusi yang memadai, memunculkan pertanyaan serius mengenai integritas akademiknya (Budapest Business Journal, 2012).
Namun, penulis tidak akan membahas soal ijazahasli atau palsu, tetapi akan melihat dari perspektif legalitas dan legitimasi bagi seorang pepimpin.
Dalam sistem politik demokratis modern, ijazah bukan hanya dokumen administratif, melainkan simbol dari proses panjang pendidikan, kompetensi, dan keabsahan moral seorang pemimpin. Ia merepresentasikan dedikasi terhadap ilmu, pengakuan terhadap standar akademik, dan komitmen pada meritokrasi. Ijazah bukan sekadar lembaran kertas, melainkan representasi dari legitimasi personal yang telah melewati mekanisme evaluatif yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun dalam praktik politik di Indonesia, ijazah seringkali direduksi menjadi syarat formil belaka. Dalam konteks pemilu, selama dokumen terlihat sah di atas kertas, proses seleksi politik seringkali mengabaikan validitas substansialnya. Lebih buruk lagi, muncul fenomena penggunaan ijazah palsu atau diperoleh dari institusi yang tak terakreditasi demi kepentingan elektoral. Hal ini mencerminkan adanya disjungsi antara nilai simbolik ijazah dengan praktik politik yang pragmatis dan manipulatif.
Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah legalitas administratif cukup untuk membentuk legitimasi kepemimpinan? Dalam masyarakat demokratis yang menuntut akuntabilitas, keabsahan legal tidak selalu sejalan dengan kepercayaan publik. Pemimpin yang memiliki ijazah sah secara hukum, namun diragukan proses akademiknya, akan tetap menghadapi krisis legitimasi di mata rakyat. Artinya, legalitas tidak selalu menjamin legitimasi.
Ketika legalitas dijadikan tameng prosedural, sementara kejujuran proses akademik diabaikan, yang lahir adalah pemimpin formal tanpa fondasi moral. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap nilai kejujuran yang menjadi landasan utama dalam demokrasi. Dalam konteks ini, kepercayaan publik tidak bisa ditebus hanya dengan selembar kertas, melainkan harus dibangun lewat rekam jejak, integritas, dan proses yang transparan.
IJAZAH DAN SIMBOL POLITIK
Di tengah kompetisi elektoral yang semakin pragmatis, ijazah menjadi komoditas simbolik politik. Ijazah tidak hanya menunjukkan kualifikasi akademik, tetapi juga menjadi bagian dari identitas profesional seorang pemimpin. Dalam dunia politik yang sarat pencitraan, gelar akademik dianggap sebagai alat untuk menambah daya tarik elektoral dan kredibilitas personal di mata publik. Tidak mengherankan jika banyak politisi berlomba-lomba mencantumkan gelar setinggi langit dalam atribut kampanye, walaupun gelar tersebut diraih secara “instan”.
Dalam kerangka teori simbolik Bourdieu (1986, h. 241), ijazah dapat dipahami sebagai bentuk modal kultural—yaitu sumber daya simbolik yang memberikan keunggulan sosial dalam struktur kekuasaan. Di masyarakat yang menempatkan pendidikan tinggi sebagai tolok ukur kecerdasan dan kapasitas kepemimpinan, ijazah menjadi tanda keabsahan sosial. Dalam artian, pemimpin yang bergelar tinggi diasumsikan lebih layak dan mampu dibanding mereka yang tidak. Namun asumsi ini rentan disalahgunakan, terutama ketika nilai simbolik ijazah lebih dipentingkan daripada proses memperolehnya.
Masalah muncul ketika ijazah dipalsukan, dibeli, atau diperoleh dari institusi yang tidak kredibel. Dalam kasus seperti ini, ijazah kehilangan nilai moralnya dan berubah menjadi alat manipulasi. Bagi publik, tindakan ini merupakan bentuk pengkhianatan, bukan hanya terhadap hukum, tetapi terhadap norma sosial yang mengedepankan proses, kerja keras, dan kejujuran. Maka, krisis legitimasi bukan hanya datang dari dugaan pidana, melainkan dari pelanggaran kontrak sosial tidak tertulis antara pemimpin dan rakyat.
Lebih dari itu, fenomena ijazah palsu mencerminkan erosi nilai meritokrasi dalam demokrasi. Dalam pandangan Markovits & Reeves (2020, h. 211), meritokrasi menekankan seseorang menduduki posisi berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan asal-usul atau manipulasi. Ketika politisi menggunakan ijazah palsu, mereka tidak hanya merusak tatanan administratif, tetapi juga menghancurkan prinsip kesetaraan peluang. Anak muda yang telah berjuang menempuh pendidikan dengan jujur akan merasa frustrasi melihat kebohongan melenggang dalam panggung kekuasaan.
Kondisi ini menegaskan lemahnya sistem rekrutmen politik di Indonesia. Partai politik seharusnya menjadi filter utama yang menyeleksi calon-calon pemimpin dengan memperhatikan integritas dan rekam jejak, bukan semata popularitas atau kelengkapan dokumen administratif. Namun dalam praktiknya, banyak partai justru membiarkan, bahkan mendukung kandidat yang menggunakan ijazah bermasalah, selama kandidat tersebut dianggap memiliki potensi menang dalam pemilu. Ini menunjukkan bahwa dalam politik elektoral, substansi sering dikalahkan oleh kalkulasi dukungan suara.
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi politik melemah. Masyarakat mulai mempertanyakan integritas tokoh yang mereka pilih, bahkan kehilangan harapan terhadap sistem demokrasi yang seharusnya menjunjung kejujuran. Ketika ijazah—simbol pengetahuan dan dedikasi—disalahgunakan demi kekuasaan, maka demokrasi pun menjadi korban. Demokrasi yang sehat membutuhkan pemimpin yang sah secara hukum sekaligus diterima secara moral.
Peran media dan masyarakat sipil menjadi penting dalam membongkar kebohongan ini. Investigasi terhadap keabsahan ijazah, pendidikan publik mengenai pentingnya rekam jejak calon pemimpin, serta dorongan terhadap transparansi institusi pendidikan dan pemilu adalah kunci untuk memperbaiki keadaan. Selain itu, penegakan hukum yang konsisten terhadap pemalsuan ijazah harus dilakukan tanpa pandang bulu agar memberi efek jera dan mengembalikan marwah institusi akademik.
Dengan demikian, pemulihan makna simbolik ijazah hanya mungkin terjadi jika ada komitmen kolektif untuk menempatkan integritas di atas ambisi kekuasaan. Ijazah yang sah harus menjadi hasil dari proses yang jujur, bukan rekayasa. Di tengah krisis kepemimpinan dan banalitas politik, bangsa ini membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin bergelar. Indonesia membutuhkan pemimpin yang jujur bukan hanya berkata benar, tetapi juga tentang walk the talk—melakukan apa yang dikatakan.
ETIKA DAN KEPERCAYAAN PUBLIK
Berbeda dengan legalitas yang berbasis aturan tertulis, legitimasi merupakan konstruksi sosial berbasis kepercayaan publik. Seorang pemimpin dinilai sah bukan hanya memenuhi syarat administratif, tetapi karena dianggap layak dan pantas oleh rakyat yang dipimpinnya. Weber (1978, h. 215), membagi legitimasi dalam tiga tipe; tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Dalam masyarakat modern, legal-rasional menjadi bentuk dominan, dimana otoritas memperoleh legitimasi melalui proses hukum dan sistem birokrasi yang sah. Namun, dalam sistem ini, substansi kepercayaan tetap menjadi fondasi utama.
Dalam konteks kontemporer, legitimasi tidak lagi soal siapa yang sah secara hukum, tetapi siapa yang dipercaya dan diterima oleh masyarakat. Pemimpin yang terbukti menggunakan ijazah palsu boleh jadi lolos dari jeratan hukum karena lemahnya penegakan regulasi. Namun di mata publik, tindakan tersebut telah mencederai kejujuran dan meruntuhkan kredibilitas. Ketika masyarakat merasa dibohongi, maka yang runtuh bukan hanya reputasi personal, melainkan dasar etis dari kekuasaan itu sendiri.
Kehilangan legitimasi berarti kehilangan pegangan moral dalam menjalankan otoritas. Pemimpin seperti ini akan menghadapi resistensi, baik dalam bentuk ketidakpercayaan publik, aksi protes, atau delegitimasi sosial bersifat masif. Legitimasi yang rapuh membuat kebijakan yang dikeluarkan tidak lagi mendapatkan dukungan penuh—sebaik apapun substansi kebijakan itu. Dalam jangka panjang, krisis legitimasi dapat berujung pada ketidakstabilan politik dan melemahnya institusi demokrasi.
Kepercayaan publik adalah “mata uang” paling berharga dalam sistem demokrasi. Ijazah hanyalah simbol, tetapi mengandung makna mendalam tentang proses, usaha, dan kejujuran. Ketika simbol dipalsukan, maka makna yang terkandung di dalamnya ikut rusak. Masyarakat tidak lagi menilai pemimpin dari banyaknya gelar atau tinggi sekolah yang ditempuh, melainkan dari integritas dan keteladanan yang nyata. Dalam situasi ini, ijazah tanpa moral hanya menjadi ornamen kosong.
Kehilangan legitimasi moral juga berdampak luas terhadap partai politik yang mengusung calon tersebut. Partai dianggap lalai, bahkan turut berkonspirasi, ketika gagal menapis latar belakang kandidat. Akibatnya, bukan hanya individu tercoreng, tetapi juga institusi politik yang menaunginya. Di tengah kekecewaan masyarakat terhadap elite politik, kasus seperti ini hanya memperkuat persepsi bahwa politik adalah arena kebohongan yang dilegalkan.
Tidak hanya itu, krisis legitimasi memperkuat sikap apatis publik. Ketika rakyat tidak percaya pemimpin layak secara moral, partisipasi politik akan menurun. Pemilu tidak lagi dilihat sebagai mekanisme demokratis yang bermakna, melainkan sebagai panggung manipulasi. Ini berbahaya bagi kelangsungan demokrasi, karena demokrasi yang kehilangan partisipasi aktif rakyat akan mudah dibajak oleh kekuatan oligarki semu.
Untuk itu, penting bagi semua pihak—partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, media, dan masyarakat sipil—untuk menjadikan legitimasi publik sebagai indikator keberhasilan politik, bukan hanya legalitas administratif. Integritas dan kejujuran harus menjadi bagian dari proses rekrutmen politik, bukan sesuatu yang bisa dikompromikan demi elektabilitas. Penegakan hukum yang tegas terhadap pemalsuan ijazahmenjadi bentuk konkret dalam menjaga kepercayaan publik.
Akhirnya, legitimasi adalah soal hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan dibangun atas dasar transparansi, etika, dan konsistensi nilai. Ketika fondasi rusak dalam bentuk manipulasi dokumen akademik, maka krisis kepercayaan adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Di era digital yang serba cepat, publik semakin cerdas dan kritis. Dan mereka tahu, bahwa kepemimpinan sejati tidak ditentukan oleh gelar di balik nama, tetapi oleh kejujuran yang dibuktikan dalam tindakan.
PENUTUP
Ijazah penting sebagai simbol capaian pendidikan dan validasi kompetensi seseorang. Namun dalam praktik kepemimpinan, ijazah tidak bisa menggantikan nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab moral. Demokrasi yang sehat tidak hanya memerlukan pemimpin yang memenuhi syarat administratif, tetapi mampu menunjukkan rekam jejak yang transparan dan konsisten. Ketika rakyat memilih pemimpin, tidak hanya mempertimbangkan gelar akademik, melainkan siapa sosok di balik gelar tersebut. Apakah ia layak dipercaya dan benar-benar mewakili aspirasi rakyatnya.
Dalam konteks itulah, legalitas dan legitimasi tidak dapat dipisahkan. Legalitas yang diperoleh tanpa proses yang jujur akan menghasilkan otoritas yang rapuh, mudah dipertanyakan, dan rentan kehilangan kepercayaan publik. Sementara, legitimasi yang tidak disertai legalitas formal membuka peluang manipulasi dan pelanggaran hukum. Oleh itu, keduanya harus berjalan beriringan sebagai fondasi kepemimpinan yang kredibel. Ke depan, demokrasi Indonesia hanya akan bertahan jika mengedepankan proses yang bersih dan menempatkan kejujuran di atas segalanya. Akhirnya, kepercayaan rakyat adalah ijazah tertinggi bagi seorang pemimpin. (*)
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP,
Universitas Muhammadiyah Jakarta










Discussion about this post