Oleh :
Hamka Hendra Noer
SEJAK awal kemerdekaan, Pancasila dan demokrasi telah diletakkan sebagai fondasi utama dalam membangun sistem ketatanegaraan Indonesia. Pancasila, yang digali dari nilai-nilai budaya dan kearifan lokal nusantara, menjadi dasar ideologis yang merekatkan keberagaman dalam satu kesatuan bangsa.
Di sisi lain, demokrasi dipilih sebagai sistem politik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, memberikan ruang bagi partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan, serta menjamin hak-hak sipil secara adil. Secara ideal, keduanya saling melengkapi. Pancasila memberikan arah moral dan etika bagi demokrasi, sedangkan demokrasi menjadi sarana untuk mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam praktik kehidupan bernegara.
Namun dalam realitas praktik politik sehari-hari, hubungan antara Pancasila dan demokrasi kerap kali tidak berjalan selaras. Demokrasi di Indonesia masih dominan bersifat prosedural: pemilu diselenggarakan secara rutin, kebebasan berpendapat dijamin secara hukum, dan partai politik tumbuh dalam jumlah besar.
Sayangnya, substansi demokrasi—yakni keadilan sosial, musyawarah mufakat, persatuan, dan penghargaan terhadap kemanusiaan—belum sepenuhnya terwujud dalam perilaku dan kebijakan para pemangku kekuasaan. Maraknya politik identitas, praktik politik uang, serta dominasi kepentingan elite menjadi cerminan dari demokrasi yang kehilangan akar etisnya dalam nilai-nilai Pancasila.
Kondisi ini semakin diperparah oleh dinamika sosial yang kian kompleks. Perkembangan teknologi informasi dan meluasnya penggunaan media sosial menciptakan ruang publik digital yang rawan polarisasi, disinformasi, dan ujaran kebencian. Dalam situasi ini, etika publik sebagai perwujudan nilai-nilai Pancasila seperti toleransi, gotong royong, dan saling menghargai mengalami erosi.
Banyak elite politik dan aktor publik justru mengeksploitasi isu sektarian demi kepentingan elektoral, alih-alih membangun dialog kebangsaan yang sehat dan inklusif. Akibatnya, demokrasi berubah menjadi sekadar ajang kontestasi kekuasaan yang pragmatis dan jauh dari semangat keadilan sosial.
Di tengah realitas tersebut, muncul pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan oleh seluruh elemen bangsa. Apakah demokrasi Indonesia saat ini masih berakar pada nilai-nilai Pancasila? Ataukah ia telah tersesat menjadi demokrasi yang hanya mengejar legitimasi elektoral tanpa tanggung jawab moral? Bangsa ini berada di persimpangan jalan, menghadapi tantangan antara mempertahankan demokrasi substansial yang berakar pada nilai luhur, atau melanjutkan demokrasi prosedural yang hampa makna.
Pertanyaan berikutnya, apakah kita akan membiarkan demokrasi berjalan tanpa substansi, terjebak dalam sirkulasi kekuasaan yang elitis dan eksklusif? Ataukah kita mampu mengembalikan demokrasi kepada akarnya—sebagai wujud kedaulatan rakyat yang berkeadaban, inklusif, dan menjunjung tinggi keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan dalam setiap sila Pancasila?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, artikel ini akan mengulas secara kritis bagaimana eksistensi Pancasila dan demokrasi dijalankan dalam praktik bernegara. Fokus utama akan diarahkan pada sejauh mana nilai-nilai Pancasila masih menjadi landasan moral demokrasi Indonesia, serta tantangan apa saja yang dihadapi dalam upaya mengharmonikan keduanya di tengah dinamika sosial-politik yang terus berubah.
PANCASILA: FONDASI ETIS DEMOKRASI
Pancasila bukan sekadar slogan politik atau formalitas konstitusional. Sebagai dasar negara, Pancasila memuat nilai-nilai universal yang dirumuskan dari kearifan lokal dan pengalaman historis bangsa Indonesia. Kelima silanya bukan sekadar deretan kata, melainkan struktur nilai yang saling terkait dan membentuk sistem etika sosial-politik yang komprehensif.
Bila dipahami secara mendalam, Pancasila menyediakan kerangka bagi demokrasi yang tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga substansial—yakni demokrasi yang berorientasi pada kebijaksanaan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
Menurut Notonagoro (1975, h. 16), sila-sila Pancasila tersusun secara hierarkis dan sistematis: sila pertama sebagai fondasi spiritual, dan sila kelima sebagai tujuan akhir kehidupan berbangsa. Dalam pandangan ini, Ketuhanan bukan hanya mencerminkan dimensi keagamaan, tetapi juga menjadi dasar moral dalam setiap tindakan politik.
Demokrasi dalam kerangka Pancasila berarti menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menjembatani perbedaan dalam semangat persatuan, dan mendahulukan musyawarah dalam pengambilan keputusan Asshiddiqie (2006, h. 234). Demokrasi yang berakar pada Pancasila menghendaki hadirnya kepemimpinan yang bermoral, bukan sekadar kompetisi elektoral semata.
Dalam konteks tersebut, demokrasi Pancasila berbeda secara mendasar dari demokrasi liberal. Jika demokrasi liberal lebih menekankan kebebasan individu dan suara mayoritas, maka demokrasi Pancasila berfokus pada partisipasi kolektif yang deliberatif dan etis.
Musyawarah mufakat bukan hanya metode teknis, tetapi cerminan upaya mencari keadilan bersama dalam suasana kebersamaan. Demokrasi semacam ini sangat relevan dalam konteks Indonesia yang plural, dimana keputusan yang adil membutuhkan lebih dari sekadar hitungan angka—tetapi juga empati, kearifan, dan tanggung jawab sosial.
Sayangnya, dalam praktik politik kontemporer, nilai-nilai Pancasila seringkali tersingkir oleh logika pragmatis kekuasaan. Demokrasi memang berjalan secara prosedural—dengan pemilu berkala, kebebasan pers, dan sirkulasi elite—namun esensi nilai seperti keadilan sosial, solidaritas, dan penghormatan terhadap kemanusiaan belum terinternalisasi dengan kuat. Politik uang, eksploitasi isu SARA, dan konflik kepentingan antar elite menunjukkan betapa demokrasi kita masih jauh dari cita-cita Pancasila.
Permasalahan ini diperparah oleh lemahnya literasi nilai di kalangan masyarakat maupun elite. Pancasila belum sepenuhnya berfungsi sebagai penuntun etika dalam komunikasi publik, perilaku elite, dan arah kebijakan negara. Dalam ruang publik digital, disinformasi dan ujaran kebencian kerap mengalahkan dialog yang berbasis musyawarah dan akal sehat. Akibatnya, demokrasi kehilangan rohnya sebagai alat memperkuat kebersamaan dan membangun kesejahteraan kolektif.
Situasi ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tengah berada di titik kritis. Pertanyaan penting yang harus kita ajukan Bersama. Apakah kita akan membiarkan demokrasi berjalan tanpa orientasi nilai, sekadar sebagai mekanisme elektoral? Ataukah kita memiliki tekad untuk meneguhkan kembali demokrasi yang berjiwa Pancasila—demokrasi yang menjunjung tinggi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial? Tanpa orientasi nilai, demokrasi hanya akan menjadi alat kekuasaan yang membungkus kepentingan golongan tertentu dan mengkhianati prinsip dasar kedaulatan rakyat.
Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan demokratis bukan sekadar tugas simbolik, melainkan misi kebangsaan yang memerlukan komitmen nyata di semua lini. Pendidikan politik yang berbasis nilai, penguatan etika publik dalam kepemimpinan, serta kontrol masyarakat sipil yang aktif dan kritis adalah prasyarat penting.
Di samping itu, media massa dan lembaga pendidikan harus memainkan peran sentral dalam menanamkan kesadaran bahwa demokrasi sejati bukan hanya tentang memilih pemimpin, melainkan juga tentang menciptakan keputusan yang adil dan bermartabat (Alfian, 1981, h. 89)
Oleh karena itu, Pancasila dan demokrasi harus senantiasa berjalan dalam satu tarikan nafas. Demokrasi tanpa nilai akan hampa dan mudah diselewengkan. Sebaliknya, Pancasila tanpa implementasi hanya akan menjadi narasi kosong.
Masa depan bangsa ini akan ditentukan oleh sejauh mana kita mampu menjaga keseimbangan antara sistem politik yang terbuka dengan nilai-nilai dasar yang kokoh. Hanya dengan itulah, demokrasi Indonesia akan tumbuh sehat—berakar dalam kebudayaan bangsa, namun tetap adaptif dalam menjawab tantangan zaman.
DEMOKRASI PROSEDURAL VS SUBSTANSIAL
Pasca Reformasi 1998, Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah politiknya—sebuah era yang ditandai oleh desentralisasi kekuasaan, pemilu langsung, kebebasan pers, dan munculnya multipartai sebagai wujud keterbukaan demokrasi. Berbagai regulasi pun disusun untuk menjamin hak sipil dan memperkuat akuntabilitas politik.
Secara prosedural, capaian ini merupakan lompatan signifikan dari sistem otoriter masa Orde Baru. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan mendasar: apakah demokrasi yang kini berjalan benar-benar mencerminkan keadaban politik sebagaimana diamanatkan oleh nilai-nilai Pancasila?
Fakta empiris justru menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia cenderung terjebak dalam formalitas prosedural. Pemilu memang terselenggara secara rutin, namun kualitasnya kerap dipertanyakan. Politik transaksional menjelma menjadi penyakit kronis di hampir semua level kompetisi elektoral.
Fenomena ini juga diaminiLay (2012, h. 47), uang, popularitas, dan pencitraan menjadi faktor dominan dalam meraih suara, sementara visi, integritas, dan rekam jejak calon sering kali terpinggirkan. Pemilu pun lebih menyerupai “pasar gelap kekuasaan” ketimbang ruang deliberatif untuk memilih pemimpin terbaik bagi rakyat.
Salah satu manifestasi dari demokrasi yang kehilangan nilai adalah menguatnya politik identitas. Alih-alih membangun narasi kebangsaan yang inklusif, kampanye politik justru kerap mengeksploitasi isu-isu sensitif seperti agama, etnisitas, dan ideologi. Strategi semacam ini tidak hanya memperdalam fragmentasi sosial, tetapi juga menggerus rasa saling percaya antarwarga negara. Dalam jangka panjang, praktik ini bertentangan dengan semangat persatuan dalam sila ketiga Pancasila dan berpotensi menciptakan jurang sosial yang semakin lebar.
Di sisi lain, politik uang turut merusak fondasi akuntabilitas demokrasi. Ketika jabatan publik diraih bukan karena kapasitas dan komitmen, melainkan karena kekuatan finansial, maka kepentingan rakyat berisiko dikorbankan demi kepentingan modal politik. Dalam sistem seperti ini, semangat musyawarah dan partisipasi deliberatif—yang menjadi roh sila keempat Pancasila—hanya menjadi simbol belaka. Kebijakan publik pun lebih sering lahir dari kompromi elitis ketimbang hasil partisipasi rakyat secara bermakna.
Ma’arif (2008, h. 5) menyebut kondisi ini sebagai bentuk “kemunduran etika politik”—ketika demokrasi kehilangan pondasi moral dan berubah menjadi sekadar ritual elektoral tanpa substansi. Pancasila, yang seharusnya menjadi kompas nilai dan etika berpolitik, justru tergeser oleh pragmatisme dan populisme. Akibatnya, demokrasi yang seharusnya menjawab kebutuhan keadilan sosial, mengurangi kesenjangan ekonomi, serta memperluas perlindungan hak-hak sipil, malah menjadi alat kekuasaan segelintir elite.
Krisis ini menegaskan pentingnya transisi menuju demokrasi substansial sebagai koreksi atas proseduralisme yang kering dari nilai. Demokrasi substansial bukan hanya soal mekanisme pemilu, tetapi lebih dalam dari itumenekankan keadilan sosial, kesetaraan hak, partisipasi bermakna, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Paradigma ini sejalan dengan Pancasila, karena mengangkat manusia sebagai subjek utama politik yang bermartabat, bukan sekadar angka dalam bilik suara.
Untuk mewujudkan demokrasi substansial, dibutuhkan kerja kolektif dari berbagai elemen bangsa. Partai politik perlu bertransformasi menjadi ruang pendidikan politik dan etika, bukan sekadar mesin elektoral. Media massa harus memainkan peran edukatif dan konstruktif, bukan memelihara polarisasi.
Lembaga pendidikan wajib mengintegrasikan pendidikan kewargaan berbasis nilai Pancasila, agar generasi muda tidak hanya tahu cara memilih, tetapi juga memahami makna dan tanggung jawab dari pilihan politiknya. Masyarakat sipil pun harus aktif menjadi pengawas moral atas kebijakan publik.
Dengan demikian, demokrasi prosedural harus ditransformasikan menjadi demokrasi substansial yang berakar pada nilai-nilai Pancasila. Tanpa fondasi nilai, demokrasi hanya akan menjadi instrumen legitimasi kekuasaan, bukan sarana untuk menyejahterakan rakyat.
Indonesia tidak boleh puas hanya dengan keberhasilan formil demokrasi. Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang berakar dalam keadaban, menjunjung tinggi musyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial—nilai-nilai yang telah lama hidup dalam roh Pancasila dan budaya bangsa.
PENUTUP
Pancasila dan demokrasi sejatinya merupakan dua pilar fundamentatif yang saling melengkapi dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila berperan sebagai kompas moral yang menuntun arah praktik politik dan pemerintahan, dengan menanamkan nilai-nilai dasar seperti keadilan, kemanusiaan, persatuan, dan musyawarah.
Sementara itu, demokrasi menyediakan ruang partisipatif serta mekanisme konstitusional yang memungkinkan nilai-nilai luhur tersebut diwujudkan dalam kebijakan publik dan sistem pemerintahan yang inklusif.
Menjaga kesinambungan antara demokrasi dan Pancasila bukan sekadar tugas elite politik, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh warga negara. Demokrasi tidak boleh dipahami secara sempit sebagai sebatas pemilu lima tahunan atau kebebasan berbicara semata.
Sementara ketimpangan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dan erosi kepercayaan publik terus menggerogoti fondasi negara. Demokrasi yang sejati harus mampu melahirkan tata kelola pemerintahan yang berkeadaban dan berorientasi pada keadilan sosial.
Untuk mewujudkannya, dibutuhkan komitmen pemerintah yang transparan, partai politik yang edukatif, media yang mencerdaskan, lembaga pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kewargaan, hingga masyarakat sipil yang aktif dan kritis.
Menyatukan nilai dan sistem bukanlah sekadar proyek idealisme, melainkan langkah strategis untuk memastikan masa depan demokrasi Indonesia tetap berpijak pada etika, inklusivitas, dan keberpihakan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sejati. Selamat Hari Lahir Pancasila ke-80, 1 Juni 2025. (*)
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP,
Universitas Muhammadiyah Jakarta










Discussion about this post