Gorontalopost.co.id, JAKARTA — Skandal korupsi minyak pada PT Pertamina Patra Niaga, membuat marah warga. Apalagi, dampak korupsi itu diduga tak hanya merugikan negara, tapi juga menipu warga dengan adanya BBM oplosan, Pertalite rasa Pertamax.
Pertamina membantah adanya BBM oplosan seperti kabar yang beredar di masyarakat. Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero), melalui pertanyaan tertulis yang diterima Gorontalo Post, Rabu (27/2) menegaskan, tidak ada pengoplosan BBM Pertamax. Kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.
“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujar Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari, Selasa (25/2).
Heppy melanjutkan, treatment yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat. Selain itu juga ada injeksi additive yang berfungsi untuk meningkatkan performance produk Pertamax. “Jadi bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” jelas Heppy.
Pertamina Patra Niaga melakukan prosedur dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan kegiatan Quality Control (QC). Distribusi BBM Pertamina juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
“Kami menaati prosedur untuk memastikan kualitas dan dalam distribusinya juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Migas,” tutur Heppy. Heppy melanjutkan, Pertamina berkomitmen menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) untuk penyediaan produk yang dibutuhkan konsumen.
KERUGIAN BISA BERTAMBAH
Hasil penghitungan awal Kejaksaan Agung (Kejagung) atas kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina mencapai Rp 193,7 triliun. Namun, angka kerugian negara itu sangat mungkin bertambah.
Mengingat, Kejagung baru menghitung kerugian negara pada 2023. Sementara praktek kotor yang dilakukan Dirut PT Pertamina Patra Niaga dan komplotanya itu, sudah berlangsung sejak tahun 2018 hingga 2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menyampaikan hal itu saat diwawancarai oleh awak media pada Rabu (26/2). Dia mengakui, angka kerugian negara dalam kasus tersebut bisa lebih dari Rp 193,7 triliun. Keterangan itu dia sampaikan karena penyidik mengusut kasus tersebut medioa 2018-2023.
”Terkait kerugian, kami sampaikan bahwa yang dihitung sementara, kemarin yang sudah disampaikan dirilis itu Rp 193,7 triliun. Itu tahun 2023. Kami sampaikan secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih (besar dari itu),” terang Harli.
Untuk memastikan hal itu, penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagaung melakukan pendalaman. Mereka juga meminta bantuan dari para ahli untuk menghitung angka kerugian negara yang lebih terperinci. Untuk sementara, Harli menyampaikan bahwa dugaan awa kerugian negara dalam kasus tersebut menembus Rp 193,7 triliun.
Angka itu berasal dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp 9 triliun, kerugian pemberian kompensasi 2023 sekitar Rp 126 triliun, dan kerugian pemberian subsidi 2023 Rp 21 triliun. Pendalaman terus dilakukan untuk memastikan komponen kerugian itu terjadi pada 2028-202 atau tidak.
”Karena, ini adalah awal kami sampaikan, ini adalah perkiraan antara penyidik dengan ahli sementara. Rp 193,7 triliun itu ada beberapa komponen. Sudah disampaikan setidaknya ada lima komponen. Apakah setiap komponen di 2023 itu juga berlangsung di 2018, 2019, 2020, dan seterusnya. Kan juga harus dilakukan pengecekan,” terang dia.
Namun demikian, Harli memastikan bahwa angka kerugian negara dalam kasus itu tidak lebih sedikit dari hasil hitungan awal. Dalam kasus tersebut, Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan turut menjadi tersangka bersama enam tersangka lainnya. Salah satu modus korupsi itu adalah membeli BBM RON 90 dengan harga BBM RON 92 dan mencapur kedua jenis BBM itu di depo. (tro/jp)










