Gorontalopost.co.id, GORONTALO — Pernyataan salah seorang kepala sekolah di Gorontalo, AP bahwa persoalan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) atas Tunjangan Profesi Guru (TPG) buntut dari kelalaian Guru itu sendiri dibantah para Guru lainnya. Para guru mengatakan, pernyataan Kepsk tersebut asal bunyi (Asbun) tanpa dasar dan fakta.
Seperti yang disampaikan Yisnita J Hilala, yang juga merupakan Guru yang termasuk dalam TGR tersebut mengatakan bahwa, saat ini 164 Guru, tengah berjuang agar terlepas dari TGR, bahkan beberapa cara telah mereka tempuh, baik melalui Inspektorat, Dinas, BPK dan juga membawa hal ini ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Gorontalo, namun hingga saat ini juga tidak memiliki titik terang.
“Apa yang dikatakan sangat berbanding terbalik dari apa yang kami 164 Guru perjuangkan, banyak yang sudah kami lakukan untuk terbebas dari TGR, bahkan sudah meminta bantuan ke beberapa pemangku kepentingan, jadi kami tekankan perjuangan Guru saat ini belum selesai,” jelasnya dengan penuh kecewa.
Lanjut Yisnitamengatakan, bahwa setiap guru berbeda permasalahan yang mereka hadapi, ada yang kemungkinan memang bersalah karena mencoba mengedit prin out aplikasi Siransinja tersebut, tapi bukan berarti menuduh seluruh Guru melakukan hal yang tidak terpuji tersebut. Dirinya pun menilai adanya masalah kebijakan yang dibuat sepihak.
“Dimana aplikasi ini dijadikan ukuran beban kerja guru 37,5 jam/minggu, bisa-bisa saja untuk mendisiplinkan guru tetapi jangan dibuat untuk kebijakan memotong gaji TPG satu bulan ketika diaplikasi tersebut hanya satu kali tanpa keterangan,” tambah Guru SMKN 1 Bulango Selatan itu,
Tak hanya itu menurut Yisnita, pembuatan Standar Operasional Prosedur (SOP) cacat hukum, karena dalam pembuatan kebijakan menyangkut kesejahteraan orang banyak itu tidak boleh sembarangan, tetapi harus melalui tahapan yang tidak gampang. Harus menghadirkan pakar hukum, utusan yang ditunjuk mewakili para Guru, karena apa yang terjadi di lingkungan Guru hanya mereka yang lebih memahami.
“Peraturan ini akan diberlakukan kepada Guru, jadi wajar dalam pembuatan harus ada guru yang mewakili untuk mengkaji peraturan itu setelah itu harus ada uji pablik terlebih dahulu tidak boleh asal menerapkan dan saat itu langsung di berlakukan,” jelasnya lagi
Karena, anggaran yang berasal dari APBN, yang datang dari Pemerintah Pusat untuk tunjangan provesi sama halnya dengan tunjangan provesi Dokter, tunjangan provesi dosen di seluruh Indonesia. Maka tidak sembarangan Pemerintah Daerah membuat peraturan untuk menggangu apa yang sudah diterapkan oleh Pemerintah Pusat. Harus ada acuan yang jelas berdasarkan peraturan yang lebih tinggi sesuai tata urutan perundangan-undangan.
“Dan tidak ada dalam peraturan manapun dari Kemendikbud yang kami cari ketika orang tersebut tidak hadir satu hari tanpa keterangan maka dia tidak berhak menerima tunjangan satu bulan. Coba pakai akal sehat dan hati nurani, sekelas Pemerintah Pusat tidak ada yang membuat peraturan yang sangat kejam seperti itu terhadap Guru,”
Sama halnya Yisnita, Sakina Hamid Guru SMK Negeri 2 Limboto, menambahkan bahwa hal ini berbeda dengan tunjangan yang berasal dari APBD yaitu Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo bisa membuat peraturan ketika pegawai tidak ada keterangan satu hari saja tidak hadir maka satu bulan jangan menerima TPP, karena ini bicara dilingkungan Pemerintah sendiri dan anggaran daerah.
“Tidak masuk akal saja tunjangan dari APBN murni itu adalah tunjangan Provesi guru di seluruh indonesia hanya di provinsi Gorontalo saja satu-satunya provinsi dari seluruh Indonesia yang berani mengambil keputusan dan kebijakan seperti itu terhadap Guru. tak wajarlah hanya karna aplikasi MOOLOHU satu hari tanpa keterangan di aplikasi ini Guru kena TGR gaji satu bulan TPG,” jelas Sakina
Untuk itu, aplikasi Siransinja yang diubah ke nama aplikasi MOOLOHU, perlu diperjelas lagi bahwa aplikasi ini hanya ada di Provinsi Gorontalo saja, tidak ada provinsi lain yang menerapkan aturan yang sangat membebani guru sehingga 164 guru tidak fokus dengan kerjanya saat ini.
“Ada 3 guru menyadari kesalahannya yang kami ketahui mereka mengakui memang benar-benar bersalah tapi sebagian besar guru terjebak bersama guru-guru yang benar-benar bersalah dan mengakui kesalahannya sendiri, tapi jelas dalam setiap proses yang kami lalui kami tidak mencari siapa yang salah tapi kami memperjuangkan nasib kami yang benar-benar tidak bersalah,” pungkasnya.
Terakhir dirinya berharap sebagai pendidik, dalam kondisi apapun harusnya lebih cerdas menyikapi berbagai masalah ini kami memiliki harga diri ketika kami di salahkan atas perbuatan yang tidak kami lakukan maka kami akan tetap memperjuangkan. (Tr-76)











