Oleh:
Basri Amin
KITA belum sepenuhnya menyaksikan pemimpin yang punya gagasan jernih dan yang konsisten menggerakkan loncatan kemajuan di banyak daerah. Kita makin jarang menyaksikan kepemimpinan yang rela berkorban untuk kemajuan bersama. Apa yang disasar lebih banyak berupa “gaya hidup” dan kenyamanan fasilitas negara di pemerintahan, dari periode ke periode.
Generasi baru di sektor kepemimpinan politik dan publik belum bergerak jauh dari apa-apa yang begitu heroik pertaruhkan di “kotak suara”. Mereka bahkan terjegal oleh rombongan elite (lokal/nasional) yang mapan jaringan kerja, pencitraan publik, dan sebaran pengaruh materi-nya dari periode ke periode.
Elite yang banyak terbentuk adalah elite yang sudah lama keenakan dengan “aspirasi palsu” dari masyarakat, tetapi selalu lihai mendayagunakan “sekian persen” saja dari keuntungan material pribadinya (melalui) kerja-kerja politik, gaji/tunjangan, akses kebijakan, dan fasilitas (negara) yang mengatas-namakan “kerja untuk publik”.
Negeri ini tidak mungkin berdaya-saing jika pemimpinnya berkemampuan alakadarnya. Di berbagai tingkatan, kecenderungan untuk “memberi ruang” bagi para oportunis, penjilat jabatan, dan pecundang cita-cita sepertinya masih terus dibuka. Nyaris belum terbentuk massa kritis yang memiliki daya tahan menolak gejala seperti ini.
Nalar kolektif yang mendeteksi tabiat-tabiat kelompok dan perorangan yang inginnya hanya menikmati kesenangan sepihak di arena kekuasaan pun belum begitu tampak. Keadaan ini sangat jelas akan memberi dampak berupa hilangnya perdebatan dan daya tawar masyarakat dalam memastikan nasibnya, terutama nasib dalam arti yang sangat nyata: layanan dasar buat mereka, ruang publik yang otonom, dan artikulasi sumberdaya insaninya untuk berkarya dan memberi dampak luas bagi keadilan.
Kelas menengah, yang sering dilabeli sebagai kelompok yang relatif terdidik dan mempunyai sumberdaya organisasi, serta dianggap memiliki daya tawar karena nalar masyarakat sipil-nya, tampaknya (masih) terjebak dengan ritual mereka sendiri. Tak jarang mereka membentuk kerumunan organisasional dan virtual yang tanpa arah.
Atau, mereka lebih sering memilih budaya “mengapung” di antara kekuatan-kekuatan (ekonomi/politik) yang ada, sambil memproduksi gaya dan wacana yang sok kritis dan sok moral, padahal mereka tak pernah merdeka dari pola “permainan” elite-elite di sekitarnya. Mereka, kelas menengah-yang pecundang ini, beroleh manfaat berlapis karena cerdik “nempel” kepada sejumlah tokoh yang terlanjur besar (birahi) kuasa-nya di sektor-sektor pemerintahan dan politik.
Dengan pengetahuan teknis yang sedang-sedang saja, kelas-menengah yang hipokrit selalu berhasil “menggoda”, tampak otentik “menyodorkan” dan cerdas “melaporkan” kerja-kerja teknis-nya yang artifisial kepada elite lokal/regional yang memang sejak awal tak punya komitmen tinggi dan integritas besar menjadi pembaru kemajuan yang sebenarnya.
Sebagai hasilnya, keadaan kita di alam nyata lebih banyak dimanipulasi oleh pemberitaan sepihak yang tidak teruji secara faktual dan tidak berdampak-besar bagi kemakmuran yang berkelanjutan. Pemberitaan media yang distortif kemudian dilapisi oleh citra baik melaui acara demi acara. Sambut-menyambut dan saling memuji. Selebrasi foto dan parade pemberitaan!
Pemimpin masa depan haruslah memahami postur-postur pergaulan lintas kelompok dan bagaimana komposisi setiap profesi produktif di masyarakat.
Dari sanalah beragam kepentingan dan ketimpangan kelompok dihayati, selanjutnya kebajikan bersama (publik) disusun dan perjuangkan. Memang, tak mungkin semua bisa terterima semua pihak, tapi yang terpenting adalah negosiasi yang konsisten mendorong perbaikan.
Di banyak arena perbaikan, yang dibutuhkan bukanlah kuasa tunggal melainkan “pembagian” kekuasaan dalam aksi nyata di sektor-sektor yang beragam. Jika ini visi kita, berikutnya yang jadi pegangan bersama adalah sikap sadar bahwa “semua orang adalah penting. Semua kelompok adalah penentu perbaikan”. Bagaimana bentuknya? Sangat ditentukan oleh alam nyata yang konsisten kita gerakkan.
Belakangan ini isu nasional dan lokal terlalu banyak yang mengepung percakapan kita. Ini perlu dicermati agar tidak “menutupi” isu besar yang di tingkat lokal/regional. Saya percaya bahwa ketajaman kita melihat kondisi lokal belum sepenuhnya memadai.
Terlalu banyak data atau informasi yang kabur di tingkat lokal. Kita punya tabiat untuk tidak sabar dan sungguh-sungguh bernalar terhadap banyak kasus lokal, baik yang sifatnya laten maupun yang sifatnya rutin. Kita masih terbiasa untuk abai dengan perkara-perkara kecil, padahal di balik itu semua menggambarkan “ledakan” serius dalam jangka panjang.
Konflik lahan, tata-kelola sumberdaya alam, hubungan antar kelompok, ketimpangan pendapatan dan pembangunan infrastruktur, bencana, kebocoran anggaran, dst semuanya potensial berujung kepada konflik dan kemiskinan.
Jika kita cermati beberapa tahun terakhir ini, tingkat konflik di masyarakat kita makin membesar dan meluas. Belum lagi dengan gempuran perilaku menyimpang dan kebebasan yang makin liar. Mudah menyaksikannya: di jalan raya, di perkampungan, di sudut-sudut perkotaan dan di permukiman-permukiman kita. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Surel: [email protected]