Pilkada dan Imajinasi yang Kering

Oleh:
Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu

 

DALAM momentum Pilkada, semua tema dan klaim bisa jadi “tumpangan” personal. Alih-alih menawarkan imajinasi baru bagi kemajuan bersama, hal lumrah yang justru meluas-mengepung (pandangan) kita adalah jargon yang di-copy dari penalaran yang tak sepenuhnya teruji dan yang bisa kita andalkan ke masa depan.

Begitu banyak jargon yang dipakai dalam Pilkada, tetapi maknanya begitu kering dalam menyapa dan dalam memerankan diri dalam perubahan besar yang semakin kompleks di abad ini. Sangat banyak pertemuan, tetapi nyaris tidak ada percakapan mendalam dan pembahasan memadai…

Waswas meluas, tetapi wawasan terbuka kepada dunia yang berlari cepat tampak kempes di mana-mana. Tarikan masa lalu cenderung mengemuka. Generasi “terus-menerus” –-yang tak mengenal pensiun!– hendak berkuasa secara berulang dan secara nyata melumpuhkan generasi “penerus” yang selama ini dijargonkan.

Demikianlah yang terjadi di banyak tempat di negeri ini: jejaring elite (pembela) status quo yang terbiasa nyaman dengan fasilitas negara dan seremoni jabatan, cenderung menjadi-jadi untuk tampil heroik merebut kekuasaan.

Bagi Gorontalo, jumlah penduduk yang relatif ‘kecil’ dengan bentangan geografis yang cukup besar, dilingkari beberapa titik wilayah perbatasan pulau/pesisir dan kawasan pergunungan/Cagar Alam, Gorontalo mestinya lihai mendayagunakan aset-aset utamanya, yakni “manusia Gorontalo” itu sendiri –-dalam pengertian yang seluasnya–. Merekalah “penguasa” dan “investor” masa depan yang sesungguhnya.

Masalahnya, siapakah “manusia Gorontalo” yang sebenarnya itu? Siapakah mereka yang sungguh-sungguh punya jiwa “berkorban”, yang punya jejak-kerja dan jejak-gagasan untuk perbaikan dan percepatan kemajuan daerah ini yang benar-benar nyata.

Siapakah yang punya imajinasi masa depan yang bisa kita andalkan konsistensinya? Siapakah yang punya energi kerja untuk sebuah visi luhur bagi perbaikan keadilan dan kesejahteraan bersama?

Gorontalo tak selamanya tepat diartikulasi sebagai kategoti etnis-kesukuan-kedaerahan, tapi bisa lebih jauh dari itu, yakni sebagai sebuah region, kawasan rempah, perlintasan niaga maritim, pusat unggulan komoditas, penyangga regional di sektor keamanan dan stabilitas ekonomi, dst.

Lebih jauh, Gorontalo adalah penyangga kebudayaan yang sewajarnya memantulkan perannya yang lebih besar dan bermakna ke masa depan. Ilmu yang memberi solusi dan kebijakan pembangunan yang memacu terobosan perubahan mestinya dikerjakan besar-besaran di daerah ini.

Gorontalo bahkan bisa diletakkan dalam konteks yang lebih luas: sebagai pusat rujukan keilmuan dan kebudayaan dunia (konfederasi/demokrasi pra-Indonesia, oral tradition, nasionalisme kebangsaan, lanskap alam dan kegempaan, danau/endemik, sufisme Islam, keanekaragaman hayati, perjumpaan budaya (Arab, Jawa, Tionghoa, Eropa, Sulawesi/Maluku, dst). Dengan begitu, tumbuhlah perspektif yang kaya tentang ke-Gorontalo-an di abad ini.

Kepemimpinan yang imajinatif dan berwawasan masa depan adalah kebutuhan mendesak. Kita berharap, prosesi-prosesi politis dan tata-kelola kelembagaan di daerah bisa menggemakan sense of direction yang lebih segar dan membumi di sektor pemerintahan, pembangunan, dan kebudayaan.

Fakta demografis Gorontalo sewajarnya menjadi acuan serius dalam rancang-bangun daerah ini. Kita adalah daerah yang punya bonus demografi sampai tahun 2035: mencapai lebih 71% usia produktif (15-64 tahun). Ini beririsan dengan penduduk usia lanjut yang juga membesar (7.98%). Tantangannya, kita belum punya aging studies yang kokoh di universitas.

Mari kita tengok Sensus Penduduk (SP) 2020 (publikasi BPS, 2021) yang menggambarkan sebaran penduduk yang relatif konstan di Provinsi Gorontalo. Penduduk terbesar adalah di Kabupaten Gorontalo, 393.107 jiwa. Selanjutnya Kota Gorontalo (198.539 jiwa), Bone Bolango (162.778 jiwa). Disusul Pohuwato (146.432 jiwa), Boalemo (145.868 jiwa), dan Gorontalo Utara (124.957 jiwa).

Kita bisa koneksikan dengan data nasional. SP 2020 mencatat terdapat 270,2 juta jiwa penduduk Indonesia. Komposisinya unik karena sangatlah tampak penduduk Indonesia didominasi generasi Z (1997-2012) sebesar 27,94 persen atau 74,93 juta jiwa; milenial (1981-1996) sebesar 25,87 persen atau 69,38 juta jiwa; dan generasi X (1965-1980) sebesar 21,87 persen atau 58,65 juta jiwa.

Hal ini didukung lebih jauh lagi oleh Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2021. Kontribusi tertinggi pada angkatan kerja nasional pada tahun kedua pandemi adalah milenial (24-39 tahun) sebesar 37,37 persen, dan gen X (40-55 tahun) sebesar 34,52 persen (Saputra, 2021).

Jangan biasa-biasa saja! Jika tidak, kita hanya akan saling mengecoh kesibukan, unjuk citra diri, dan keributan puja-puji yang tak mengantarkan kita loncat jauh ke depan. Daerah terbuai dengan rutinitas yang tak lagi kita pertanyakan keterhandalannya bagi masa depan. Yang terjadi adalah, sadar atau tidak, negara/pemerintah hanya “mewadahi” pembesaran kluster-kluster (kemakmuran) berjenjang bagi kelompok elite atau golongan tertentu.

Kini kita makin terbiasa menyebut angka-angka (persentasi) kemiskinan masyarakat tapi cenderung gagap memastikan kekayaan yang terus bertambah, menyebar dan menumpuk pada sekelompok orang dan/atau kelompok. Di sisi lain, pergerakan arus penduduk, modal, barang dan teknologi antar wilayah, fokus kebijakan antara kota dan perdesaan, kesemuanya abai ditelaah dan dipetakan dengan jujur.

Kenyataan sehari-hari tak sepenuhnya diniatkan sebagai rujukan pembangunan. Gagasan terlalu mendikte, tapi tidak dengan motif yang otentik. Gagasan muncul bersilang-silangan hanya untuk memenuhi hasrat sepihak dari kalangan atas, sebagian oleh kelas menengah yang kreatif mengais peluang-peluang jangka pendek, secara dominan sebagai “pemburu rente” dalam pasar (kebijakan dan wacana) pembangunan.

Jangan sampai kita menjadi daerah yang sukses menumpuk keramaian acara-acara ‘pembangunan’, tetapi pada skala masyarakat dan rangkaian perbaikan ke masa depan belumlah menjawab keadilan bersama dan kemajuan yang bermakna: membahagiakan, berkelanjutan, dan mencerdaskan. ***

Comment