Oleh:
Basri Amin
SECARA teori demokrasi, prinsip bahwa “Anggota Dewan” adalah “wakil kita” di lembaga legislatif adalah benar. Karena itulah maka rasa diwakili hendaknya selalu kita segarkan setiap saat. Dalam faktanya, daftar kekecewaan rakyat kepada wakil-wakilnya makin membesar belakangan ini.
Heroisme Pemilu tidak selalu sejalan-seiring dengan hasil-hasil kemajuan yang memerdekakan aspirasi rakyat. Pemilu di negeri ini memang selalu melahirkan elite-elite politik, tetapi belum menampakkan pencerdasan bangsa yang sesungguhnya dan belum menghasilkan pemerintahan yang bersih, yang memihak dan yang berwibawa.
Demokrasi kita terkesan semakin boros dan elitis. Pemerintahan kita terasa semakin cerdas kata-katanya di permukaan tetapi ruang-ruang keadilan di berbagai bidang masih sulit dirasakan golongan bawah dan menengah yang rentan.
Moralitas dan kapasitas elite-elite kita masih cenderung terjebak di “gaya” dan belum sepenuhnya mengerjakan ide-ide besar yang membesarkan cita-cita Kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya bagi semua golongan dan generasi.
Kita berharap bahwa “rasa mewakili” seharusnya benar-benar tertanam-kokoh di dalam nalar dan nurani setiap Anggota Dewan yang hari-hari ini, beberapa hari lalu dan di hari-hari mendatang, menyatakan Sumpah Jabatannya di hadapan semua orang dan di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Rasa “mewakili” dan moral “bersumpah” di hadapan Tuhan –sebagaimana tampak pada kehadiran Kitab Suci-Nya di atas kepala mereka merupakan dua pilar utama yang menentukan kokoh-tidaknya mereka mengemban amanah dan menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang akan mereka lalui sekian tahun ke depan.
Tanpa rasa dan moral, nalar dan nurani akan goncang setiap saat di tengah-tengah hembusan kekuasaan dan rembesan materi yang mengitari kekuasaan yang (kini) sudah di genggaman. Bukankah nyaris setiap waktu negeri ini menyaksikan kejatuhan dan kehinaan karena faktor itu?
Bangsa kita menjadi lemah karena mentalitas kita hancur dengan uang dan prestasi palsu!
Negeri ini selalu jatuh martabatnya karena tabiat menjilat kuasa subur di mana-mana!
Republik ini rentan dicemooh negara-negara lain karena nepotisme, korupsi, dan kolusinya!
Kita rindu wakil rakyat yang bersih dan berwibawa. Bagaimana pun, jika kita cermati saksama hasil-hasil Pemilu yang pernah ada, kita masih banyak menyaksikan wakil-wakil kita di lembaga perwakilan yang memilukan hati. Aroma uang, dinasti politik, dan transaksi kuasa demikian dominan.
Ongkos di pertarungan Pemilu atau Pilkada dianggap pemicu yang mengondisikan orang-orang yang memilih berjuang di lapangan politik menjadi sangat rentan jatuh dalam perkara uang: sogokan, korupsi, suap, jual-beli jabatan, komplotan proyek, transaksi regulasi, dst. Belakangan, Narkoba dan bentuk kesenangan hedonistik dan gaya hidup lainnya juga terbukti banyak merenggut nama baik.
Semua tahu, Anggota Dewan kita berasal dari latar hidup dan penghidupan yang berbeda-beda. Ada di antara mereka yang sejak awal berkarier adalah figur-fugur yang memang punya gagasan, idealisme perbaikan, dan terang-benderang memihak dan membela hak-hak orang banyak dan generasi mendatang.
Tetapi, kita juga harus jujur mengakui bahwa ada banyak pula di antara mereka (?) yang sekian tahun “tak pernah muncul” dalam percakapan-percakapan public, tak begitu jelas pikiran-pikiran cerdasnya untuk daerah/negara, serta tampak “belum pernah berbuat sesuatu” tetapi tiba-tiba memilih partai tertentu dan beroleh suara signifikan, dan kini terpilih/terlantik sebagai Anggota Dewan.
Tercatat pula ada beberapa tokoh/figur yang sudah terpilih secara “berulang”, mungkin sudah 2-4 kali Pemilu, tapi (mungkin) mereka tanpa legacy yang berarti, selain kerja-kerja rutin biasa saja di parlemen. Saya kira, semua keadaan ini, adalah relatif sifatnya. Pasti semua ada ceritanya dan klaimnya masing-masing. Dan tak harus menjadi pembenaran tunggal, karena semua orang ber-hak menjadi “wakil rakyat”, baik “Wakil” (dengan “W” besar), atau “wakil” (dalam makna “w” kecil). Biarlah waktu dan rakyat yang akan mengujinya di alam nyata.
Status hidup selalu mendayung di antara kesementaraan dan keabadian. Menjadi “Anggota Dewan”, saya kira, juga demikian adanya. Status adalah kondisi sekaligus. Persis sama dengan kekuasaan itu sendiri. Ia tak pernah sepenuhnya bisa stabil dari waktu ke waktu. Bagi mereka yang memilih hidup dan melakoni pengabdian di bidang ini, sungguh patut berbangga karena mereka akan benar-benar menempa/menguji kejatidiriannya demikian intens.
Pergaulan keseharian yang selalu membahas “anggaran”, “pembangunan”, “pemerintahan”, “kemasyarakatan” dan “kebijakan”, serta akan diisi begitu padat dengan fungsi-fungsi lainnya seperti “budgeting”, “legislasi” dan “pengawasan”, semuanya bercampur-baur dengan sejumlah kordinasi, kegiatan “dengar pendapat”, sidang paripurna, rapat badan anggaran, komisi, fraksi, kunjungan, “studi banding”, dst. Dengan kesibukan yang tampak ramai seperti itu, publik lalu menyangka bahwa “apa saja” yang dikerjakan oleh Anggota Dewan dengan istilah yang macam-macam tersebut, semuanya “dibayar” oleh negara dengan uang yang tidak sedikit.
Wakil rakyat adalah sekaligus sebagai juru bicara kita. Mereka adalah penyambung lidah dan pikiran kita. Bicaralah yang banyak! Tapi, dengan terlebih dahulu berpikir dan menimbang yang banyak. Cara bicara dan isi pembicaraan Anda hendaknya ber“bicara dengan pikiran dan cita-cita publik!”. Semoga dengan begitu Anda juga menunjukkan kapasitas lebih yang sama-sama dirindukan rakyat, bahwa Anda juga mampu “memikirkan pembicaraan”. Sungguh ideal kalau wakil-wakil rakyat kita adalah orang-orang yang sukses mengombinasi tiga arena dan aroma: pikiran, wicara, dan acara (aksi nyata!). Pada ketiga domain kenegarawanan itulah sesungguhnya moral politik, ideologi dan cita-cita partai dikerahkan demi martabat bangsa dan kemakmuran bersama.***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Pos-el: basriamin@gmail.com










Discussion about this post