Oleh:
Dahlan Iskan
SAYA selalu kagum dengan kesehatan Pak Tanri Abeng. Di usia 82 tahun masih terlihat gesit. Kami ngobrol asyik di Semarang. Mungkin empat bulan lalu. Atau lima.
Tidak ada tanda-tanda ia mengidap satu jenis penyakit. Badannya terjaga: tidak gemuk. Maka ketika mendengar Pak Tanri meninggal dunia kemarin, rasanya tidak begitu percaya.
Memang hari itu kami bertemu di klinik. Tapi tidak untuk berobat. Kami justru sedang berusaha agar tetap sehat: sama-sama melakukan stem cell.
Pak Tanri ketahuan tidak sehat baru dua bulan lalu. Tepatnya tanggal 5 bulan 5. Hari itu ia memimpin rapat sejak pagi sampai sore. Di rumahnya. Di kawasan elite Simpruk Jakarta.
Yang hadir di rapat itu adalah seluruh pimpinan universitas yang ia adalah rektornya.
Pak Tanri memang mendirikan lembaga pendidikan tinggi menggunakan namanya: Tanri Abeng University. Di daerah Ulujami, Jakarta.
Usai rapat itu Pak Tanri merasa lelah. Capek. Lemes. Lalu dibawa ke RS Pertamina.
Ketahuanlah: hb darahnya turun. Trombositnya rendah. Malam itu juga dilakukan tranfusi. Keadaannya pun membaik. Keesokan harinya diterbangkan ke Singapura.
Hampir empat minggu Pak Tanri menjalani pengobatan di RS Mount Elizabeth. Di sana diketahuilah bahwa Pak Tanri mengidap leukimia.
Diobati.
Setelah merasa kondisinya membaik ia minta pulang. Maka tanggal 4 Juni lalu Pak Tanri kembali ke Jakarta.
Baru saja mendarat di bandara kondisi tubuhnya memburuk. Pak Tanri langsung dimasukkan ke RS Medistra Jakarta.
Di situ ia dirawat. Sampai akhirnya meninggal kemarin dini hari.
Berarti Pak Tanri mengurus lembaga pendidikan sampai di akhir hayatnya. Pendidikan adalah panggilan jiwanya. Ia terinspirasi dari guru-gurunya yang hebat di SMK di Makassar. Saking kagumnya pada para guru itu sampai Pak Tanri punya cita-cita jadi guru.
Pak Tanri sebenarnya lahir di Selayar, sebuah pulau miskin di selatan Sulawesi. Untuk ke kota Makassar diperlukan naik kapal satu malam penuh.
Usia 12 tahun Tanri kecil pindah ke Makassar. Ikut keluarga. Itu karena ayahnya meninggal dunia.
Di sekolah menengah kejuruan itulah Tanri mendapat kesempatan ikut pertukaran pelajar ke Amerika. Waktu itu Tanri aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) –sering disebut sebagai “adik”-nya HMI.
Di Amerika itulah jalan pikiran Tanri berubah. Tidak ingin lagi jadi guru. Ia ingin jadi profesional. Itu sesuai dengan nasehat orang tua angkatnya di Amerika.
“Dengan menjadi profesional kamu bisa punya uang. Setelah kaya baru terjun ke dunia pendidikan. Hasilnya lebih banyak.” Begitu kurang lebih nasehat sang ortu angkat.
Pulang dari Amerika Pak Tanri kuliah di Universitas Hasanuddin. Hanya lima semester. Ia mendapat beasiswa untuk kuliah di salah satu universitas di Buffalo, tidak jauh dari air terjun terbesar di dunia: Niagara.
Dengan gelar MBA Pak Tanri direkrut oleh perusahaan Amerika di Indonesia: Union Carbide. Itu perusahaan kimia berskala global. Karirnya terus menanjak di situ.
Di dunia profesional itu Pak Tanri membuat sejarah: ia-lah orang pertama yang mendapat gelar ‘Manajer Rp 1 miliar’. Baru di sosok Pak Tanri ada seorang manajer bergaji Rp 1 miliar setahun. Saat itu nilai Rp 1 miliar serasa seperti Rp 100 miliar hari ini.
Banyak yang menyangka itu karena gelar Pak Tanri bukan Drs, SH atau Ir. Gelar Pak Tanri adalah MBA. Agak langka saat itu.
Maka gelar MBA terasa menjadi seperti di atas S-1. Anak muda pun seperti berlomba mengejar gelar MBA. Pun bagi yang sudah bergelar S-1. Kini Anda merasakan gelar MBA tidak lagi punya keistimewaan seperti di zaman Pak Tanri.
Yang menghebohkan adalah ketika Pak Tanri menerima tawaran menjadi CEO perusahaan bir: Bir Bintang. Padahal latar belakang pribadinya sangat Islam: aktifis PII dan kemudian juga HMI.
Yang jelas Pak Tanri kemudian identik dengan manajer profesional yang hebat. Ilmu manajemen seperti tiba-tiba menjadi sangat penting. Para insinyur ITB dan IPB pun mengejar karir di manajerial.
Pun sampai Presiden Suharto: mengagumi Pak Tanri. Pak Harto memanggilnya. Diajak diskusi mengenai pengelolaan perusahaan negara.
Saat itulah Pak Tanri mengajukan ide pembentukan kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Lalu Pak Tanri menjadi menteri BUMN yang pertama.
Sebelum itu perusahaan negara berada di bawah kementerian teknis masing-masing. Perbankan di bawah menteri keuangan. Industri di bawah menteri perindustrian. Sebangsa Panca Niaga di bawah menteri perdagangan. PLN di bawah menteri PU. Dan seterusnya.
Sejak zaman Pak Tanri itulah kekuasaan para menteri atas perusahaan negara dicabut. Semua dialihkan ke kementerian BUMN.
Pak Tanri, dengan demikian, adalah ‘Bapak BUMN’. Jabatan menteri BUMN tetap di tangannya saat presiden berganti ke Prof BJ Habibie.
Lalu pindah ke Laksamana Sukardi di zaman Gus Dur. Hanya sekedipan mata. Pak Laks diganti oleh orang NU –saya lupa namanya.
Di zaman Bu Megawati jadi presiden, Pak Laks kembali diangkat menjadi menteri BUMN.
Setelah tidak jadi menteri Pak Tanri tetap laris: diminta jadi CEO Grup Bakrie. Lalu jadi Komut Pertamina. Jadi CEO di kelompok usaha OSO. Bahkan saat meninggal pun masih menjadi komisaris di salah satu BUMN.
‘Dendam’-nya untuk terjun ke dunia pendidikan dituntaskan di tahun 2011. Saat usianya 70 tahun. Pak Tanri menjual sahamnya di hotel Aryaduta Makassar. Hasilnya: untuk membangun Tanri Abeng University di Jakarta. Ia yang jadi rektornya, sampai meninggal dunia.
Pak Tanri memang bertekad harus ia yang langsung memimpin universitas itu. Misinya: agar lulusannya bisa menjadi manajer yang hebat. Atau jadi pengusaha. Atau menjadi seorang pemimpin.
Di universitas itulah Pak Tanri kehilangan isterinya: Farida Nasution. Farida meninggal di tahun 2016 dengan dua anak: Emil Abeng dan Edwin Abeng. Dari mereka lahir 4 cucu.
Di universitas itu pula Pak Tanri menemukan pengganti Farida. Dia seorang dosen komunikasi: Kartika Harijono. Dipanggil Chika. Janda satu anak. Pak Tanri dan Chika menikah tanggal 4 bulan 5 tahun 2019.
Saya tidak bisa melayat kemarin. Saya minta tolong Mas Irwan Setiawan untuk mengucapkan duka. Mas Irwan adalah pimpinan Jawa Pos di Jakarta pada masanya. Kini ia menjadi dosen komunikasi di Tanri Abeng University.
Tentu pada dasarnya Pak Tanri tidak memerlukan gelar apa pun selain MBA. Tapi pada akhirnya beliau kuliah S-3 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sampai bergelar doktor. Itu semata-mata karena peraturan: untuk bisa jadi rektor harus bergelar doktor.
Pak Tanri adalah contoh “sekali hidup banyak berbuat”. Juga “banyak membuat sejarah”.(*)
Comment