Republik “Upacara” dan Dunia yang Susah Damai

Oleh : 
Basri Amin
Parnerdi Voice of Hale-Hepu

 

NEGERI ini memikul warisan peradaban dunia yang besar. Dan uniknya, negeri ini memilih “burung” sebagai lambang negara. Tak banyak negara di dunia yang mengukuhkan identitasnya dengan semangat “terbang tinggi”, setinggi garuda atau elang rajawali. Ketika kita (kembali) mengerjakan Pemilu,jiwa “terbang tinggi” itulah yang mestinya kita hayati bersama.

Sejarah kita yang panjang tidaklah menjamin kekuatan kita di persaingan global. Beragam percobaan monumental pada periode awal kebangsaan kita, terutama dalam mengambil peran di kawasan Asia pada era Perang Dingin (1947-1991) dan pada periode setelahnya, berhasil menunjukkan bahwa Indonesia memang adalah “negara besar”. Tak ada yang meragukanbahwakitaselalumenjadipemainpenting di dunia, terutama di Asia Tenggara.

Jika ada yang cenderungkitasesali, halituadalahkarenademikianberatnyabenturan-benturan internal yang dialami Indonesia pada masa awalkemerdekaannya (1947-1950). Bahwakesempatanmengerjakan “pembangunan” selama 30 tahunlebih (Orde Baru, 1966-1998) yang berlangsungintensif, kitamemangmencapaiperbaikaninfrastrukturdasar, ketersediaanpangan dan pendidikanhinggakedesa-desa.

Sayang sekali, kekayaanalamkitaterlaludigerusberlebihan dan tidaksepenuhnyaterkelola “cerdas” untukkepentinganjangkapanjang yang lebih fundamental. Untukwaktu yang cukup lama, mutuhidup rakyat dan dayakompetisimanusia Indonesia tidakmeratasecaraberarti. Di luar itu, kebebasan sipil dibatasi sedemikian rupa dan pendekatan militerisme demikian dominan.

Reformasi 1998 nyaris mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang kalah dan “pecah” karena masalah identitas, aspirasi politik dan friksi ekonomi yang berkepanjangan. Kebebasan meledak di banyak arena dan panggung. Kekuatan kontrol atas kekuasaan negara meluas. Media dan perhimpunan masyarakat sipil meluas di mana-mana.

Bahkan ada suatu masa, kehadiran surat kabar dan LSM menjamur di daerah-daerah. Di awal tahun 2000-an, koalisi elite baru dan perkumpulan organisasi sosial adalah pelaku kunci yang meretas kebekuan otonomi daerah. Ketimpangan pembangunan menjadi tema utama di banyak wilayah. Dan, hasilnya adalah pembentukan provinsi dan kabupaten-kabupaten baru.

Di manakah Indonesia? Ketika Indonesia Raya, Merah Putih dan Garuda Pancasila kita hendak tegakkan dan kukuhkan kembali saat ini, di manakah tempatnya? Sangat terasa bahwa “getaran” dan warna keindonesiaan itu tak lagi sama frekuensinya di antara kita semua. Ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin tidak banyak berubah di negeri ini.

Otonomi daerah yang kita bangun bersama tampaknya belum sepenuhnya dibangun di atas “moral” yang memihak kepada (nasib) daerah itu sendiri. Yang terjadi adalah kita terburu-buru “menjual” daerah dan “mengambil manfaat” dengan cara-cara sepihak.

Tekad untuk melakukan Revolusi yang sesungguhnya, yakni pada fondasi utama kebangsaan kita, yakni spirit pengorbanan dan kegotong-royongan, serta perjuangan gagasan dan gerakan yang menguatkan etos kepeloporan, terkesan masih sesak-nafas. Karena itu, negeri tercinta ini membutuhkan sebuah titik balik untuk menggugat kembali cita-citanya yang dengan penuh kehormatan memproklamasikan kemerdekaannya. Sejak itu, Indonesia bersuara lantang kepada dunia; sembari kita menebar suara kemerdekaan itu ke benua Afrika dan negara-negara lainnya di Asia.

Persatuan Indonesia sebagai negara-bangsaadalahtantanganseriuskitadewasaini. Jika kitamenolehsedikitkebelakang, marilahsadarbahwa Indonesia bukanlahsebuh negara-bangsa yang perjalanannyaberjalanmulus. Apa yang kinikitaberi “hargamati”, dengantekad Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI) pernahmengalamigoncangan yang hebat. Untuksekianwaktukitapernahmengenal negara Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949 dan kemudiandibubarkan pada 17 Agustus 1950.

Ketika Negara Indonesia Timur (NIT) terbentuk, sebuahsidangbesar dan pentingdigelar. Sidangparlemen NIT iniberjalancukup lama dan alot, sejaksidanginidibuka oleh ketuanya pada 22 April 1947 di Makassar. Selama 40 hari persidangan ini berjalan dengan penuh debat yang seru. Ini terjadikarenasengitnyapergesekangagasan di antaratokoh-tokoh Indonesia Timur. Mereka terbelahkedalamaliranprovinsialis dan republik. Meskiwaktunyacukupsingkat, federalismeadalahsebuahgagasan yang pernahsecaranyaringdiperjuangkan oleh tokoh-tokohbangsakita di masa lalu. Lalu, bagaimana dengan republikanisme? Inilah yang (seharusnya) kita rayakan: mentalitas republik! Bukan feodalisme acara dan ritualisme upacara.

Tapi, dunia hari-hari ini memintakan kesadaran yang lain dan pencermatan yang meniscayakan aksi global. Sulitnya karena dunia tengah dililit pragmatisme (politik) kawasan dan paradoks (ekonomi) yang lumpuh ketika berhadapan dengan penistaan terhadap kemanusiaan dan keadilan. Begitulah yang terpantul dari “sejarah kematian” yang begitu panjang di Bumi Palestina. Bahkan penjelasan atas nama Agama dan tafsir kemanusiaan paling purba pun masih (terasa) pincang mengguncang kecaman di mana-mana kepada Israel. Semua belahan dunia saat ini tengah menyiasati kecemasan sejarahnyamasing-masing. ***

Comment