Oleh:
Yusran Lapananda
PERDA KOMPILASI HUKUM ADAT GORONTALO
Hukum adat atau adatrecht bukanlah frasa yang lahir dari bangsa Indonesia sendiri. Adatrecht (hukum adat) lahir dari pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje (8 Februari 1857-26 Juni 1936), seorang sarjana Belanda bidang budaya Oriental & bahasa & Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda. Istilah Adatrecht lahir dari hasil penelitiannya pada masyarakat Aceh (1891-18920). Istilah Adatrecht menjadi perhatian berbagai kalangan ketika dipopulerkan oleh seorang ahli hukum & antropolog Belanda Cornelis van Vollenhoven sehingga menjadi ilmu pengetahuan hukum adat.
Dalam perkembangannya pengertian hukum adat tak lepas dari pengaruh pemikiran & pandangan penulis Barat, yang intinya hukum adat identik dengan hukum tidak tertulis. Pandangan ini mendasarkan hukum adat dari segi formalnya tanpa melihat segi materiilnya, isi & makna hukum adat. Tengoklah rumusan hukum adat dari para pemikir & penulis Barat. Christiaan Snouck Hurgronje mendefinisikan hukum adat sebagai adat yang mempunyai sanksi hukum berlainan dengan kebiasaan atau pendirian yang tidak membayangkan arti hukum. Sedangkan Cornelis van Vollenhoven mendefinisikan hukum adat sebagai keseluruhan aturan tingkah laku sebuah masyarakat yang berlaku serta memiliki sanksi & juga belum dikodifikasikan. Lain halnya, Sukanto mendefiniskan hukum adat sebagai sebuah kompleks adat yang pada umumnya tidak ditulis atau dikitabkan, tidak dikodifikasikan serta memiliki sifat memaksa. Hukum ini juga memiliki sanksi, ada pula akibat hukumnya.
Dari rumusan hukum adat yang dikemukakan diatas & pendapat kebanyakan orang, hukum adat identik dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat & menjadi pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat yang berkembang & dipertahankan, mengikuti dinamika masyarakat, mempunyai sanksi atau mempunyai akibat hukum. Rumusan inilah yang membedakan antara penerapan Adat Istiadat (Tata Upacara Adat Gorontalo) dengan Hukum Adat Gorontalo. Jika Hukum Adat Gorontalo mempunyai sanksi atau mempunyai akibat hukum, namun Adat Istiadat (Tata Upacara Adat Gorontalo) sifatnya hanya mengatur & menjadi panduan dalam pelaksanaannya tanpa sanksi atau tak mempunya akibat hukum.
Dari referensi yang ada terdapat struktur & pembidangan hukum adat yang diperkenalkan oleh beberapa pemikir & penulis, antara lain: (1). Soepomo, dalam Het Adatprivaatrecht van West Java mengemukakan pembidangan hukum adat: (a). Hukum Keluarga; (b). Hukum Perkawinan; (c). Hukum Waris; (d). Hukum Tanah; (e). Hukum Piutang; (f). Hukum Pelanggaran. (2). Cornelis van Vollenhoven, membagi pembidangan hukum adat: (a). Bentuk-bentuk Masyarakat Hukum Adat; (b). Tentang Pribadi; (c). Pemerintahan dan peradilan; (d). Hukum Keluarga; (e). Hukum Perkawinan; (f). Hukum Waris; (g). Hukum Tanah; (h). Hukum Hutang Piutang; (i). Hukum Delik; (j). Sistem Sanksi.
Rumusan & pemaknaan hukum adat identik dengan hukum tidak tertulis, berubah pada beberapa tahun terakhir ini. Dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan & Perlindungan Masyarakat Hukum Adat telah merumuskan Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang senantiasa ditaati & dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat, & mempunyai akibat hukum atau sanksi.
Saat ini, banyak daerah-daerah yang telah membentuk Perda Hukum Adat atau Perda Kompilasai Hukum Adat. Perda menjadi pilihan bagi daerah-daerah menjadikan Hukum Adat sebagai hukum tertulis. Sejak tahun 2000 melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum & Tata Urutan Peraturan Undang-Undang, menjadikan Perda sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan. Kemudian, UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diganti dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjadikan Perda sebagai bagian dari jenis & hierarki peraturan perundang-undangan RI. Selain itu, daerah mempunyai kewenangan untuk membentuk Perda. Hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah & UU Nomor 12 Tahun 2011, hingga Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah beserta perubahannya.
Di daerah Gorontalo terdapat hukum adat yang tumbuh & berkembang mengatur tingkah laku masyarakat Gorontalo yang diwariskan secara turun temurun, dijalankan & ditaati, mempunyai akibat hukum atau sanksi. Untuk menuliskan soal Redefinisi Lembaga Adat khususnya Perda Kompilasi Hukum Adat Gorontalo tak banyak referensi yang ditemui, yang ada hanyalah informasi lisan atau referensi, Buku Sekuntum Bungu Kebudayaan Limo Lo Pohalaa Gorontalo, 1968, K. Kaluku, Penerbit Rumah Sangkar Gelatik Telaga Gorontalo.
Menurut K. Kaluku, sebagai pedoman untuk melaksanakan hukum adat adalah wuudu (ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan adat), bubalata tinepo (kebijaksanaan), & tombulao (penilaian baik, pertimbangan yang tepat). Sedangkan untuk Agama Islam dipergunakan pelbagai hukum fakih, sjareat Nabi Besar Muhammad s.a.w. dengan tidak bertentangan dengan Kitabullah-AlQur’anil Karim. Dengan adanya V.O.C. dan kemudian Pemerintahan Belanda dipakailah Hukum Perdata & Hukum Pidana Belanda. Beberapa pelanggaran & perkara perdata tidak terdapat dalam Hukum Belanda, maka pembesar-pembesar dalam daerah Limo Lo Pohalaa beramai-ramai menuntut, supaya “in het genot gelaten in zijn eigen rechtspraak”. Dalam hukum adat Gorontalo, dalam melakukan pembahagian harta pusaka didahulukan “adat” dari hukum Faraid, & dalam hukum pidana, selain seorang dihukum dengan KUHP tetap dihukum oleh adat & agama Islam.
Selain dari pada yang disebutkan diatas, maka untuk memelihara pergaulan masjarakat, adat telah menetapkan beberapa hal sebagai pelanggaran & dihukum seimbang dengan kesalahan-kesalahan perbuatan (tinepo wawu tombulao). (a). Totala lambango-kesalahan melampaui batas, masuk pekarangan orang dengan tidak seizin yang empunya ataupun masuk kamar seorang wanita (moo lato); (b). Totala bajalo-menghina, mempermalukan, mengata-ngatai dihadapan orang banyak, mencaci maki; (c). Totala luntalo-sesuatu kesalahan dengan ucapan mempersamakan yang lain dengan seekor binatang; (d). Totala lumadu-pelanggaran terhadap pekerti orang lain; (e). Totalo butolo-melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan adat: seorang Kepala Kampung yang tidak memberi salam (molubo) pada pembesar negeri yang wajib dihormati atau sebaliknya seorang pembesar yang tak menghiraukan membalas tubo (bubalata) dalam keadaan yang patut; (f). Totala huta-hutango-pelanggaran membuka sesuatu rahasia kepada orang lain atau dihadapan umum, sedang hal itu harus didiamkan.
Selain apa yang ditulis oleh K. Kaluku, terdapat 11 Larangan (Totala) yang secara lisan & dikompilasi melalui goresan tulisan, yakni: (a). Totala Lambango-Kejahatan melanggar keamanan negeri, keamanan raja, melanggar asusila, membunuh, mencuri dll; (b). Totala Batalo-Penghinaan, fitnah dll; (c). Totala Butola-Melawan perintah pejabat, melawan perintah menanam padi, membersihkan kebun; (d). Totala Huntala-Sumpah palsu, melanggar susila, pemerasan dll; (e). Totala Lumudu-Mencemarkan nama pejabat atau penghinaan yang tak langsung; (f). Totala Huta Hutanga-Membuka rahasia orang, merusak tanaman sendiri, perceraian dll; (g). Totala Balango-Perkosaan, melanggar hak orang lain dll; (h). Totala Balalo-Selalu suka ribut, berkata tidak sopan, dengki terhadap sesama, gila hormat dll; (i). Totala Nungo-Mengambil ternak tanaman orang lain dalam perjamuan; (j). Totala Lumbulo-Termasuk segala kesalahan yang tidak sengaja yang bersifat ringan; (j). Totala Bunulo-Sengaja berbuat kesalahan.
Selain itu, terdapat berbagai norma dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat adat Gorontalo yang tersebar baik yang tertulis maupun tidak tertulis (tutur) yang diwariskan secara turun temurun mempunyai akibat hukum atau sanksi, namun belum terkompilasi. Olehnya, dari referensi yang ada maka pembidangan hukum adat Gorontalo & menjadi rumusan Bab-Bab dalam Perda Kompilasi Hukum Adat Gorontalo, yakni: (a). Hukum Kekeluargaan; (b). Hukum Perkawinan; (c). Hukum Waris; (d) Hukum Tanah (transaksi tanah); (e). Hukum Hutang Piutang; (f). Hukum Pemerintahan; (g). Hukum Delik Adat; (h). Pengadilan Adat.
Pengadilan Adat Gorontalo
Untuk menjalankan hukum adat Gorontalo dalam memeriksa & memutus hukum kekeluargaan, hukum perkawinan, hukum waris, hukum tanah (transaksi tanah), hukum hutang piutang, hukum pemerintahan & hukum delik adat, tentunya harus ada lembaga yang melakukannya. Menurut K. Kaluku, sejak bangsa Pertugis dan Belanda datang didaerah Limo Lo Pohalaa dalam abad ke 16 dan berikutnya, maka disamping & buat mengganti hukum asli yang tidak gecodificeerd (tidak dikodifikasi), dipakailah hukum Eropa yang gecodificeerd. Tetapi bagaimanapun juga, pembesar-pembesar Limo Lo Pohalaa mempertahankan haknya, yaitu “in het genot gelaten in zijn eigen rechtspraak” atau yang lazim disebut “Madjelis Ketjil”, sedang mengenai perkara pidana yang dalam bahasa Belanda “zware mis drijven”, diserahkan pada “Madjelis Besar”. Dalam kedua Madjelis ini duduk serta seorang-dua Wuleja lo lipu, dua penasehat untuk agama Islam dan Adat-Istiadat.
Menurutnya, Pengadilan Negeri pada zaman Radja terbahagi atas dua bahagian: (a). Bahagian Adat-Istiadat dipimpin oleh Wuleja Wuwabu, didampingi olerh seorang wuleja lain, dan seorang Bate-bate sebagai penuntut. (b). Bahagian Agama Islam dengan pimpinan Kadli didampingi oleh Mufti & Hakimu berturut-turut sebagai penasihat & penuntut.
Dalam kenyataannya, hukum adat Gorontalo dalam pembidangan hukum adat, kurang informasi & kurang kompilasi hukum adat tertulis. Sehingga nantinya, dalam mengkompilasi hukum adat Gorontalo butuh kerja ekstra dalam merumuskannnya. Namun demikian, Perda Kompilasi Hukum Adat sangat penting untuk dibentuk.(*)
Penulis adalah Penulis Buku Hukum Pengelolaan Keuangan Desa










Discussion about this post