Oleh :
Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
Kendati Buya Hamka pernah mengunjungi Gorontalo, tetapi impresi beliau tentang Islam (di) Gorontalo tidak begitu tampak dalam karya utamanya, Sejarah Umat Islam (BB, 1951 [1961], 388 halaman). Sejauh ini, secara tertulis, Hamka menulis kata “Gorontalo’ hanya pada dua tempat yang unik. Yang satu, Hamka sangat tepat, tetapi di karyanya yang lain Hamka sepertinya keliru mengolah informasi yang beliau peroleh. Uniknya, Hamka justru memberi impresi yang unik tentang Islam di Bolaang Mongondow, bahkan menyebut-nyebut Manado, Bolaang Uki, Minahasa, dan Sangir-Talaud.
Hamka memberi pengantar khusus untuk karya besar H.B. Jassin, Bacaan Mulia (1982: xiv). Atas karya Jassin ini, pada edisi pertamanya tahun 1977, Hamka menulis: “…pengetahuan saya yang sedikit tentang pengaruh Islam dalam kehidupan orang-orang yang berasal dari Gorontalo…meskipun di luar barangkali kelihatan pasif, namun suatu waktu bila Islam-nya memanggil, mereka akan menyahut...”. Hubungan kedua tokoh besar ini, Hamka dan Hans BaguE Jassin, sangat unik.
Untuk kawasan Sulawesi, Hamka terlihat sangat menekankan Islamisasi melalui jalur Makassar/Bugis dan Minangkabau –-yang mengembara ke Bugis, Ambon, Serawak, Brunai, Mindanao, semenanjung Melayu/Negeri Sembilan–. Hamka di buku sejarahnya yang lain, Dari Pembendaharaan Lama (1963 [2017]), menulis panjang lebar tentang Maluku Utara, jalur Ternate pada khusunya, terutama dalam konteks islamisasi poros Jawa – Maluku yang intens sejak abad ke-15.
Sejauh data yang tersedia, Hamka berada di Indonesia Timur dalam dua momentum penting: di Makassar dan sekitarnya pada 1931-1934 dan pada tahun 1955. Ikatan batinnya dengan Islam (di) Indonesia Timur sangatlah bermakna, sampai-sampai Hamka mengakui bahwa novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1938) beroleh inspirasi di Makassar. Dalam kunjungannya di Sulawesi tahun 1955, Hamka lebih terbaca sebagai seorang penulis/peneliti yang “memulung” banyak sumber-sumber lokal Islam yang otentik, antara lain bahan-bahan dari Raja Bone dan Raja Gowa. Dari sanalah Hamka menulis sangat panjang tentang islamisasi di Sulawesi dan ketokohan Syekh Yusuf Al-Makassari dengan sangat baik.
Sayang sekali, penggambaran Hamka keliru tentang Syekh Arsyad Thawil sebagai “tokoh buangan” dari Cilegon/Banten di daerah Utara Sulawesi. Hamka menulis dalam Dari Pembendaharaan Lama (1963), bahwa “ulama besar Banten ini dibuang ke Gorontalo, beliau sempat balik ke Banten dan kembali lagi ke Gorontalo karena permintaan murid-muridnya”. Data Hamka tersebut sulit dibenarkan rujukannya dan kita pun tak menemukan faktanya hingga kini. Data yang benar adalah bahwa Syekh Arsyad Thawil di buang ke Manado. Makamnya saat ini di Lawangirung. Beliau wafat 19 Maret 1934, punya keluarga besar dan masjid ternama di kota ini. Di penjara Manado, Syekh Thawil sempat ketemu dengan orang Gorontalo, Ahmadi namanya –dipanggil Om Toke–, sebagai sahabatnya di penjara dan dari Ahmadi inilah sang Syekh beroleh informasi tentang ‘penganut Islam di Sulawesi Utara’ (Effendi, 1983).
Manusia besar ini, Hamka, dipenjara di bulan Ramadan 1383 Hijriyah, tepatnya pada 27 Januari 1964 karena “fitnah, hasad, dengki…” di masa itu. Dari penjara –-selama dua tahun empat bulan–, Hamka menyempurnakan karya terbesarnya, Tafsir Al-Azhar, yang mulai dikerjakannya sejak 1962.
Atas pemenjaraan ini, Hamka berkata: “jika langit hendak jatuh, bagaimanakah telunjuk bisa menahannya”. Ia bersyukur karena dengan penjara “ia selamat dari paksaan bersekongkol dengan kezaliman dan menjadi munafik. Hamka berkata: “di waktu segala jalan hubungan di bumi ditutup orang, hubungan ke langit lapang – terluang…” (Hasibuan, 2022).
Publik bisa menyimak tonggak penting Hamka melalui film Buya Hamka di bulan April 2023 ini (sutradara: Fajar Bustomi). Di bagian awal, karakter dasar Hamka sebagai agamawan dan sastrawan sudah terasa, ketika film ini menampilkan sekuen “air mata” Hamka dari wajahnya yang teduh dan wibawa: “…air mata tiadalah ia memilih tempat untuk jatuh; tidak pula memilih waktu untuk turun…”. Cuplikan ini (sebenarnya) berasal dari karangannya, Di Bawah Lindungan Kabah (1965).
Simbolisme “tongkat” dan “pena” merupakan kekuatan utama Hamka dalam mengisi kerja-kerja (dakwah) organisasi, misi keulamaan, dan strategi kebudayaan nasionalnya. Itu dia buktikan bahkan dalam keadaan paling sulit pada beberapa fase kehidupannya (masa pendudukan Jepang, 1942-1945), bahkan berlanjut di era 1960an (di penjara Orla, 1964 – Mei 1966) dan 1980an (mundur sebagai Ketua MUI, 18 Mei 1981).
Dari sisi historisitas Islam, Hamka adalah figur yang kokoh pendirian bahwa Islam telah datang di Nusantara, di negeri-negeri Melayu, sejak abad pertama Hijriyah (abad ke-7 masehi) melalu “jalur Makkah”. Secara resmi, “Teori Makkah” ini disampaikan Buya Hamka sejak 1958, tepatnya di sebuah forum ilmiah ketika Hamka berpidato Dies Natalis PTAIN ke-8 di Yogyakarta. Teori Hamka ini terus dikembangkannya pada Seminar Sejarah Islam di Medan, 17-20 Maret 1963. Di sini Hamka sangat kritis karena menggunakan argumentasi dominannya penyebaran Mazhab Syafii di Nusantara (Suryanegara, 1996).
Negeri ini punya “warisan” besar bernama Buya Hamka. Kendati kita tidak mungkin bisa menemukan figur yang setara dengan pilihan perjuangan dan pencapaian pengabdiannya, tetapi karakter dan jiwa pemikiran dan karya-karyanya haruslah terus dijaga dan dikembangkan. Dalam satu hal, Hamka memiliki persamaan dengan tokoh-tokoh besar Indonesia lainnya: “menolak takluk kepada kekuasaan dan ketidakadilan”. Dasar penolakan Hamka tentu saja adalah nilai dasar (agama) Islam.
Yang menempatkan Hamka luar biasa adalah keluasan pergaulan dan kekayaan tema karya-karya pengabdiannya untuk Indonesia dan dunia: biografi, tafsir, sastra, jurnalisme, sejarah, agama, politik, budaya, dst. Di Asia Tenggara, Hamka adalah tokoh paling berpengaruh dalam karya-karya sastra dan pengkajian keagamaannya. Tak heran kalau tokoh besar Malaysia –-kini Perdana Menteri ke-10–, Anwar Ibrahim, sangat mengagumi Hamka. Ketika dipenjara tahun 1975, Anwar bahkan mengerjakan penerjemahan Tafsir Al-Azhar ke dalam Bahasa Inggris. Keluarga besarnya juga sangat akrab dengan karya Hamka. Keduanya pernah bertemu langsung sekian hari di Iran. Sampai kini, di Selangor, Malaysia, berdiri tegak “Perpustakaan Buya Hamka” dengan nama “Rumah Tamu Hamka” (Hasibuan, 2022).
Dengan itulah mengapa Hamka selalu konsisten-merebut ruang-ruang pembebasan di negeri ini di hampir semua (arena) kehidupannya. Hamka membuka salah satu “jalan bagi pembentukan identitas keindonesiaan” (Noer, 1983: 37-52). Di tahap awal kombinasi kariernya, melalui jalur organisasi Muhammadiyah dan kerja-kerja kepenulisan (media cetak!), Hamka membangun kemerdekaan bangsa itu. Melalui bacaannya yang luas dan penguasaannya kepada sejumlah bahasa ilmu pengetahuan, Hamka memilih jalan paling kokoh dan yang paling mendasar –yakni Pemajuan-Pencerdasan— bagi “pintu gerbang” Kemerdekaan dan masa depan Indonesia. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Surel: basriamin@gmail.com











Discussion about this post