Gorontalopost.id – Di tengah kesibukannya menjalankan pemerintahan di Kota Gorontalo, Wali Kota Gorontalo, Marten Taha tetap menyempatkan waktu untuk menghadiri berbagai kegiatan diluar pemerintahan.
Seperti halnya, pada Senin (13/3/2023) kemarin. Marten menghadiri undangan dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar sebagai penguji eksternal pada promosi doktor bidang antropologi Arifin
Djakani.
Pada ujian eksternal promosi doktor ini sendiri, disertasi Arifin Djakani tentang otonomi daerah praktek politik antara eksekutif dan legislatif.
Menurut Marten, otonomi daerah adalah sebuah hal yang diinginkan diinginkan daerah. Sebagaimana disampaikan promovendus tadi, lanjut Marten, otonomi daerah hanya belum sepenuhnya terpenuhi, sehingga bisa dikatakan setengah hati.
“Sebenarnya, jika kita lihat kronologis munculnya regulasi tentang otonomi daerah yang lahir karena dorongan reformasi, otonomi daerah paling ideal itu tertuang dalam UU nomor 22 tahun 1999. Pertama kali digagas Mendagri di era Presiden Gus Dur,” ujarnya.
Sayangnya, tambah Marten, lahirnya undang-undang ini justru memporak-porandakan hubungan eksekutif dan legislatif di daerah, karena gubernur, bupati dan wali kota dalam memimpin daerah dengan ketakutan terhadap
DPRD, karena saat itu DPRD punya kekuatan yang luar biasa saat itu.
“Kekuatan ini sebenaranya diberikan kepada DPRD, karena berdasarkan demokrasi. DPRD dinilai sebagai perwakilan rakyat, karena demokrasi itu kekuasan ditangan rakyat. Nah, yang menjalankan itu adalah DPRD. Tapi,
dijalankan dengan penuh dahsyat, sehingga gubernur, walikota dan bupati ketakutan,” imbuhnya.
Kekuatan DPRD kala itu, lanjut Marten, cukup dahsyat. Bahkan, kata dia, DPRD bisa memberhentikan gubernur, wali kota, maupun bupati.
“Pemberhentikan dilakukan melalui mekanisme impeachment. Kalau LPJ tidak diterima, bisa diimpeachment, dan Mendagri tidak bisa menolak,” ucap wali kota dua periode itu.
Dalam kesempatan itu, Marten juga mengemukakan pemahaman tentang ottonomi daerah. Menurutnya, otonomi daerah bukan otonomi pemerintahan daerah.
“Tapi perlu diketahui, yang namanya otonomi daerah, bukan otonomi pemerintahan daerah. Karena dalam teori pemerintah daerah adalah eksekutif, sedangkan otonomi pemerintahan daerah gabungan dari DPRD dengan
gubernur, bupati atau wali kota atau pemda itu sendiri,” katanya.
Menurutnya pula, otonomi daerah bukan hanya sebatas pemerintahan. Ya, bagi Marten, otonomi daerah menyangkut seluruh aspek yang diberi kekuasaan pemerintah pusat kepada daerah.
“Ini lahir karena banyak tuntutan daerah untuk mendaya gunakan banyak potensi daerah, mengelola kekayaan daerah, dan menjalankan pemerintahan daerah sesuai lokal wisdom,” pungkas Marten. (rwf)













Discussion about this post