Gorontalopost.id – Ada kemungkinan, mekanisme pencoblosan pada Pemilu 2024 akan mengalami perubahan dari Pemilu sebelumnya. Bila sejak Pemilu langsung di helat pada 2004 silam, masyarakat akan mencoblos langsung Caleg yang diinginkan pada kertas suara, pada 2024 berpeluang masyarakat hanya akan mencoblos partai. Mekanisme ini sama seperti Pemilu sebelum reformasi.
Perubahan mekanisme pencoblosan ini diisyaratkan langsung Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari. Dia mengatakan ada kemungkinan pemungutan suara Pemilu 2024 nanti dilakukan dengan sistem proporsional tertutup atau memilih partai bukan caleg.
Hasyim mengatakan sistem tersebut sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, ada kemungkinan MK menetapkan sistem tertutup jika melihat rekam jejak putusan selama ini.
“Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” kata Hasyim dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (29/12) dilansir CNNIndonesia.com.
Hasyim mengimbau kepada pihak yang hendak mencalonkan diri sebagai caleg agar tidak terburu-buru. Dia menyarankan semua pihak menunggu putusan tersebut.
Dia menjelaskan nama caleg tak akan dicantumkan dalam surat suara jika sistem proporsional daftar calon tertutup diberlakukan kembali.
Jika itu diterapkan, surat suara hanya akan berisi nama, nomor urut, dan logo partai jika sistem itu dipakai. Dengan demikian, akan percuma bagi caleg mensosialisasikan diri dengan spanduk atau baliho.
“Siapa tahu sistemnya kembali tertutup? Sudah lumayan belanja pasang baliho, pasang iklan, namanya enggak muncul di surat suara,” ucap Hasyim.
Berawal dari Gugatan Kader Partai
Kemungkinan perubahan mekanisme pencoblosan ini terbuka menyusul langkah sejumlah kader PDIP dan NasDem mengajukan uji materi atau judicial review terhadap sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka menggugat pasal yang mengatur pemungutan suara dilakukan dengan mencoblos calon anggota legislatif atau sistem proporsional terbuka. Mereka ingin proporsional tertutup yang diterapkan.
Sejumlah Pasal yang digugat yaitu Pasal 168 ayat 2, Pasal 342 ayat 2, Pasal 353 ayat 1 huruf b, Pasal 386 ayat 2 huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat 2, dan Pasal 426 ayat 3 UU Pemilu.
Pemohon atas nama Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem); Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok).
Mereka menggandeng pengacara dari kantor hukum Din Law Group sebagai kuasa.
“Menyatakan frasa ‘terbuka’ pada Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar pemohon dalam salinan permohonan dikutip dari laman MK, Kamis (17/11).
Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu berbunyi: “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.”
Norma-norma hukum dalam Pasal yang dilakukan uji materi menurut pemohon mengatur begitu besar peranan individu dalam Pemilu padahal mereka menggunakan partai politik dalam prosesnya.
“Adanya frasa proporsional terbuka, nomor urut, nama calon dan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak menunjukkan kekuatan perseorangan dalam proses Pemilu,” kata pemohon.
Pemohon memandang kekuatan dan pengaruh individu dalam proses Pemilu yang begitu besar cenderung mengarah pada populisme semata yang membahayakan bentuk negara dalam hal ini bentuk negara kesatuan.
Hal itu terlihat pada Pemilu 2019 di mana polarisasi masyarakat dan penggalangan massa oleh individu populis telah mengoyak rasa persatuan dan kesatuan masyarakat.
“Hal ini bisa terjadi karena orang-orang memiliki hasrat untuk menjadi populer yang demi menggalang dukungan tanpa melalui seleksi dan kaderisasi terlebih dahulu melalui sistem yang demokratis dan taat konstitusi dalam setiap langkahnya,” terang pemohon.
Menurut pemohon, norma yang mengatur mengenai norma proporsional terbuka yang mengarusutamakan perolehan suara terbanyak secara perseorangan/individu dalam pemilihan calon anggota DPR/DPRD pada Pemilu menyimpangi maksud dari norma-norma yang ditentukan konstitusi.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3 dan Pasal 19 UUD 1945 yang menerangkan bahwa anggota DPR/DPRD dipilih dalam Pemilu, di mana pesertanya adalah partai politik.
Namun, peranan partai politik terdistorsi dan terlihat samar-samar dalam sistem pemilihan yang berdasarkan “suara terbanyak berdasarkan nomor urut dan nama calon.”
“Hak pemohon I dan II sebagai kader partai politik yang dilindungi oleh konstitusi berpotensi dilanggar karena sistem proporsional terbuka menimbulkan persaingan tidak sehat yang menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal dalam proses Pemilu,” kata pemohon.
Selain itu, berlakunya sistem proporsional terbuka juga dinilai merugikan warga negara yang aktif dalam proses pembangunan demokrasi di Indonesia.
“Menyatakan frasa ‘proporsional’ Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sistem proporsional tertutup’,” kata pemohon dalam petitumnya.
Didukung Kalangan Istana
Wacana proporsional tertutup pada Pemilu 2024 rupanya didukung kalangan istana. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto meminta pemilihan umum atau Pemilu 2024 tak lagi mencoblos calon legislatif alias hanya partai yang dipilih pemilih atau sistem proporsional tertutup.
Sidarto menilai sistem proporsional tertutup dapat mengurangi politik uang yang acap kali terjadi dalam kontestasi pemilu, khususnya bagi calon anggota DPR dan DPRD. Selain itu, klaimnya, aturan mengenai sistem pemilihan itu pun telah diatur dalam Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945.
“Pemilihan umum anggota DPR dan DPRD dilakukan dengan sistem proporsional daftar tertutup, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD RI Tahun 1945,” ujar Sidarto dalam sebuah acara di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/10).
Sebagai informasi, bunyi pasal yang dimaksud Sidarto adalah, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD pun mengaku mendukung jika pemilu dikembalikan ke sistem lama, yakni masyarakat mencoblos partai politik bukan calon anggota legislatif (caleg) atau yang dikenal dengan istilah sistem proporsional tertutup.
Mahfud menyampaikan itu merespons usul PDIP yang menyarankan Pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup seperti dulu.
“Saya ingin tambahkan dukungan dulu kepada PDIP salah satunya agar Pemilu itu kembali ke sistem proporsional tertutup. Kalau dikembalikan tertutup itu bagus. Diubah saja,” kata Mahfud dalam diskusi ‘Reformasi Sistem Hukum Nasional’ yang digelar PDIP, Jakarta, Kamis.
Mahfud juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak pernah memerintahkan pemilu menerapkan sistem proporsional terbuka, seperti yang telah diterapkan sejak pemilihan legislatif 2004. MK menurutnya tidak pernah membuat putusan mengenai hal itu.
Beberapa waktu sebelumnya, Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengaku pihaknya akan mengkaji sistem proporsional tertutup untuk diterapkan lagi dalam pemilu.
“Bagaimana caranya perlu dikaji untuk proporsional murni atau proporsional tertutup,” kata Djarot usai bertemu Komisioner KPU di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (21/9).
Meski demikian, kala itu Djarot tak merinci kapan kajian itu akan dilakukan, dan untuk pemilu tahun berapa nantinya akan diterapkan.
Dia meyakini sistem proporsional tertutup relatif membuat pemilu tak akan banyak memakan biaya. Menurutnya praktik jual-beli suara pun diklaim akan minim, karena pemegang keputusan siapa yang menjadi anggota dewan ada di tangan partai politik pemilik hak.
“Dengan itu maka tidak ada lagi pertarungan antarcalon, mereka yang sekarang ngurusin partai luar biasa, berkorban luar biasa kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair,” kata dia yang juga dikenal sebagai Ketua DPP PDIP bidang Ideologi dan Kaderisasi tersebut.
Pilkada Dikembalikan ke DPRD
Bukan hanya terkait pemilu legislatif, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto kembali menyebut proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota sebaiknya dikembalikan lagi ke DPRD.
Ia menilai hanya Pilpres saja yang rakyat berhak mencoblos langsung pilihannya.
“Mekanisme ini [Pilkada kembali ke DPRD] akan memotong banyak prosedur, waktu, maupun anggaran,” kata Sidarto kemarin. (net/rmb)












Discussion about this post