Oleh:
Yusran Lapananda
Bulan September adalah siklus APBD-P. Puncaknya pada 30 September atau 3 bulan sebelum tahun anggaran berakhir. Daerah-daerah berpacu mengejar target batas waktu pengambilan keputusan atas RAPBD-P menjadi APBD-P. Beragam respon daerah-daerah atas batas waktu 30 September atas pengambilan keputusan terhadap APBD-P. Banyak daerah yang sudah merampungkan pengambilan keputusan atas APBD-P sebelum batas waktu 30 September. Banyak daerah yang sementara membahasnya. Banyak pula daerah yang belum berbuat apa-apa pada batas waktu 30 September terhadap pengambilan keputusan atas APBD-P.
Keterlambatan daerah-daerah atas respon 30 September atas pengambilan keputusan APBD-P akibat berbagai alasan & kendala. Situasi politik yang buruk di suatu daerah. Hubungan Pemda/Kepala Daerah dengan DPRD tak harmonis. Friksi internal DPRD. Kepala Daerah & pejabat terkait dengan APBD-P “cuek” dengan siklus APBD-P & membiarkan APBD-P terbengkalai. Kapasitas kemampuan pejabat terkait dengan APBD-P rendah, hingga Pemda dan/atau DPRD tak fokus pada siklus APBD-P, dan lain sebagainya.
Keterlambatan pengambilan keputusan atas APBD-P per tanggal 30 September, berulang & terulang terjadi dari tahun ke tahun & tak ada perbaikannya. Memang tak ada sanksi administrasi yang merujuk pada penerapan PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinanan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, seandainya Kepala Daerah terlambat menyampaikan RAPBD-P kepada DPRD, dan jika DPRD & Kepala Daerah melewati batas waktu 30 September dalam pengambilan keputusan atas RAPBD-P menjadi APBD-P. Tak ada alternatif Perkada tentang RAPBD Perubahan jika pengambailan keputusan melewati 30 September sebagaimana yang berlaku untuk APBD.
Sesungguhnya Pemda/Kepala Daerah tak menyusun, tak mengajukan RAPBD-P kepada DPRD, tak membahas & tak mengambil keputusan atau tak menyetujui RAPBD-P menjadi APBD-P, pertanda suatu daerah sempurna dalam perencanaan penganggaran & cermat dalam menyusun asumsi KUA & realistis menyusun APBD untuk setahun..
Bagi saya, APBD-P hanyalah pilihan bukan keharusan & bukan kepatuhan. Pemda dapat merubah APBD bukan kewajiban. Tak perlu memaksakan RAPBD-P tersusun. Diajukan ke DPRD. Dibahas hingga disetujui DPRD menjadi APBD-P. Daerah yang tak punya APBD-P, dunia tak akan “kiamat”.
SIKLUS APBD PERUBAHAN
Untuk mengelaborasi siklus APBD-P, saya mendasarkan pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah & Permendagri Nomot 77 Tahunn 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada ketiga regulasi ini, telah diatur syarat & tahapan untuk menuju APBD-P. Sesuai Pasal 160 & Pasal 161 ayat (1) PP Nomor 12 Tahun 2019, RAPBD-P didasarkan pada laporan realisasi semester pertama APBD & prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya. Laporan ini disampaikan kepada DPRD paling lambat pada akhir bulan Juli tahun anggaran berkenaan.
Selain itu, untuk menuju APBD-P, harus melewati, telah ditetapkannya RKPD-Perubahan dengan Perkada, dilanjutkan dengan, telah disepakatinya KUA & PPAS Perubahan oleh Kepala Daerah dengan DPRD. Dan terpentingnya, sebagaimana ketentuan Pasal 179 ayat (3) PP Nomor 12 Tahun 2019, Penetapan Ranperda tentang APBD-Perubahan dilakukan setelah ditetapkannya Perda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tahun sebelumnya.
Mengapa APBD (sebab & alasan) APBD harus dirubah?. Dalam Pasal 161 ayat (2) PP Nomor 12 Tahun 2019 dinyatakan, Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi: (1). perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA. Yang dimaksud dengan perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA dapat berupa terjadinya: (a). pelampauan atau tidak tercapainya proyeksi Pendapatan Daerah; (b). pelampauan atau tidak terealisasinya alokasi Belanja Daerah; dan/atau (c). perubahan sumber dan penggunaan Pembiayaan daerah; (2). keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar organisasi, antar unit organisasi, antar Program, antar Kegiatan, & antar jenis belanja; (3). keadaan yang menyebabkan SiLPA tahun anggaran sebelumnya harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan; (4). keadaan darurat; dan/atau (5). keadaan luar biasa.
APBD PERUBAHAN HANYALAH PILIHAN BUKAN KEHARUSAN
Pengaturan atas APBD-P berbeda & “tak seganas” dengan APBD. Pengaturan atas penetapan APBD mengandung keharusan & bersifat wajib, sedangkan pengaturan atas penetapan APBD-P adalah pilihan bukan keharusan.
Dalam pengaturan APBD, jika Kepala Daerah tidak tepat waktu atau terlambat menyampaikan APBD kepada DPRD, Kepala Daerah diberi sanksi administrasi. Jika Kepala Daerah bersama DPRD tidak menyetujui RAPBD menjadi APBD hingga 30 Nopember keduanya diberi sanksi administrasi. Jika lewat 30 Nopember tak ada persetujuan, Kepala Daerah menyusun Ranperkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
Berbeda dengan pengaturan APBD-P. Kepala Daerah terlambat menyampaikan RAPBD-P, dan Kepala Daerah yang tak menyusun atau tak menyampaikan RAPBD-P kepada DPRD tak diberi sanksi administrasi. Demikian pula, jika Kepala Daerah bersama DPRD tak mengambil keputusan atau tidak menyetujui RAPBD-P menjadi APBD-P hingga batas waktu 30 September tak ada sanksi, & Kepala Daerah diperintahkan untuk melanjutkan pelaksanaan APBD Induk. Hal ini, telah datur dalam Pasal 317 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda jo. Pasal 179 ayat (2) PP Nomor 12 Tahun 2019, dalam hal DPRD sampai batas waktu paling lambat 3 bulan sebelum tahun anggaran berkenaan berakhir, tidak mengambil keputusan bersama dengan Kepala Daerah terhadap Ranperda tentang perubahan APBD, Kepala Daerah melaksanakan pengeluaran yang telah dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berkenaan.
APBD-P itu hanyalah pilihan, bukan keharusan. Mengapa demikian?. Sesungguhnya perumus UU Nomor 23 Tahun 2014 & PP Nomor 12 Tahun 2019 menyadari jika APBD-P ditetapkan tanggal 30 September sebagai batas akhir penetapan RAPBD-P menjadi APBD-P, maka dari aspek waktu & tahapan atas kegiatan/sub kegiatan sulit terpenuhi. Jika dihitung dari aspek waktu & tahapan, maka setelah penetapan 30 September, dibutuhkan waktu 3 hari untuk menyampaikan RAPBD-P kepada Mendagri untuk Provinsi & Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk dievaluasi. Pelaksanaan evaluasi butuh waktu 15 hari sejak Ranperda tentang RAPB-P diterima. Jika tak sesuai, waktu penyempurnaan 7 hari sejak hasil evaluasi diterima. Jika sesuai, disempurnakan oleh TAPD & Banggar, dan ditetapkan dengan Keputusan Pimpinan DPRD.
Jika kegiatan/sub kegiatan infrastruktur tentunya ditambah dengan waktu & tahapan, mulai dari perencanaan pengadaan, pengumuman RUP (rencana umum pengadaan), persiapan pengadaan & pelaksanaan pengadaan, tentunya butuh waktu & tahapan yang lama & tak singkat. Sehingga, sisa waktu dari persetujuan RAPBD-P, penyampaian RAPBD-P kepada Mendagri/Gubernur, evaluasi Mendagri/Gubernur, penyempurnaan hasil evaluasi hingga permintaan nomor registrasi, tak efektif lagi untuk pelaksanaan kegiatan terutama infrastruktur.
Untuk pelaksanaan TA 2022, Permendagri 27 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2022 (halaman 288 versi digital), telah mengatur larangan sebagaimana tercantum dalam huruf ag. “Larangan Pemda dalam APBD-P 2022 untuk menganggarkan kegiatan, sub kegiatan & belanja bantuan keuangan bersifat khusus kepada Pemkab/Pemkot & Pemdes, apabila dari aspek waktu & tahapan pelaksanaan kegiatan, sub kegiatan serta bantuan keuangan yang bersifat khusus tersebut diperkirakan tidak selesai sampai dengan akhir TA 2022”.
Mengapa & apa alasan Pemda & DPRD sudah pada tanggal 30 September masih berupaya menjadikan RAPBD-P menjadi APBD-P?. Jika, APBD-P memuat belanja infrastruktur aspek waktu & tahapan tak efektif lagi. Jika anggaran pengendalian inflasi yang menjadi alasan solusinya adalah cukup merubah Perkada tentang Penjabaran APBD & selanjtnya ditampung dalam LRA (laporan realisasi anggaran) & dijelaskan dalam CaLK pada LKPD, sama halnya dengan anggaran belanja & anggaran sudah jelas peruntukan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian/Lembaga, jika tidak terjadi atau tidak melakukan perubahan APBD. Selain alasan pengendalian inflasi hal yang sama atas penggunaan anggaran pendapatan & belanja yang sifatnya kedaruratan & keadaan mendesak dalam formulasi belanja tak terduga sebagaimana yang diatur dalam Pasal 68 & Pasal 69 PP Nomor 12 Tahun 2019.
Alasan lainnya, hibah & beasiswa, serta kegiatan lainnya, bisa ditunda untuk selanjutnya dianggarkan dalam APBD induk 2023 yang hanya berselang waktu 3 bulan dari bulan efektifnya pelaksanaan APBD-P akhir oktober dengan waktu mulainya APBD Induk 2023 bulan Januari. Alasan lainnya, soal penggunaan SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebeleumnya). SiLPA tak harus dipaksakan digunakan dalam APBD-P, tak akan terjadi “kiamat”, jika SiLPA tak digunakan pada APBD-P. Lebih efektifnya SiLPA digunakan pada APBD Induk tahun berikutnya atau pada APBD 2023.
Tapi, Pemda tak bisa menambah program/kegiatan baru & menambah/mengurangi besaran belanja yang dalam APBD Induk tak tercantum. Tak bisa mengurangi/menambah pendapatan. Pemda hanya bisa melakukan pergeseran anggaran secara normatif. Jika, pergeseran anggaran telah dilakukan, akan tetapi tidak dilakukan atau tidak terjadi perubahan APBD maka pilihannya adalah Perubahan Perkada tentang penjabaran APBD yang telah dilakukan ditampung dalam LRA-LKPD (laporan keuangan pemerintah daerah).
Yang tak dapat dilakukan adalah jika Pemda (TAPD) & DPRD (Banggar) tak cermat & “asal-asalan” dalam menyusun & membahas perencanaan anggaran pendapatan & belanja. Pendapatan di dongkrak hingga dalam angka tak wajar. Belanja-belanja disepakati pada volume tidak utuh 12 bulan, jika ini yang terjadi memunculkan kekacauan dalam pelaksanaan & pelaporan pertanggungjawaban nanti. Demikian pula, jika terjadi pelaksanaan belanja atas program/kegiatan yang dilaksanakan belum tersedianya anggaran pada APBD Induk dengan “berspekulasi” nanti dianggarkan dalam APBD-P akan menimbulkan kegaduhan. Padahal berulang kali diingatkan dalam Pasal 124 ayat (1) PP Nomor 12 Tahun 2019, “Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia”.
Jika hal ini terjadi, “entah siapa yang salah, ku tak tahu”?, penggalan lagu Thomas Arya “Orang Ketiga”. DPRD atau Pemda/Kepala Daerah kah?. Pemda/Kepala Daerah melalui TAPD yang menyusun KUA/PPAS Perubahan kah?. Ataukah PPKD selaku penyusun RAPBD-P?, ataukah BAPPEDA selaku penanggungjawab penyusun RKPD?. Salahkah DPRD?. Walaupun DPRD tinggal mengecek angka-angka dalam KUA/PPAS Perubahan & APBD-P akibat lunturnya fungsi anggaran DPRD dalam membahas KUA/PPAS Perubahan & APBD-P, tapi paling tidak DPRD bertanggungjawab secara moril & formil.
Semoga daerah-daerah, Kepala Daerah, DPRD & TAPD dapat menyelesaikan APBD-P secara paripurna & tuntas dengan berlandaskan & berdasarkan regulasi & bukan bersandarkan pada kepentingan pribadi/kelompok dan/atau atas nama kepentingan Publik, apalagi hanya dengan “modal berani & nekat”. Berpeganglah & berpedoman pada regulasi, apapun itu keputusannya. Jangan bersandar pada kekuasan sementara. Kekuasaan berakhir, masalah pun menanti. Ingat Pasal 121 ayat (2) PP Nomor 12 Tahun 2019, “Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggung jawab terhadap kebenaran material & akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud”.(*)
Penulis adalah Penulis Buku Catatan Hukum Keuangan Daerah & PNS pada JPTP










Discussion about this post