Oleh :
Basri Amin
___
Pada suatu waktu, transisi antara berbahasa daerah, Melayu, dan Belanda berlangsung intensif di beberapa kota tatkala persekolahan masih di bawah pengaruh pemerintah kolonial. Pembelajaran bahasa Belanda sudah lama berlaku di beberapa sekolah yang dirancang Belanda di Nederland Indie, setelah sekian abad lebih dikenal sebagai Nusantara.
Mohon pembaca tidak mengira judul di atas sengaja memilih huruf-huruf yang acak. Tak ada yang aneh. Demikianlah tulisan “oe” dibaca “u” pada ejaan lama bahasa Indonesia kita. Ini berlaku di tahun 1920-an sampai 1950-an. Bahasa Melayu makin menemukan pelembagaannya dalam tata pergaulan kebangsaan (baru) bernama “Indonesia”.
Kata “Keroekoenan” di atas saya temukan dalam sepucuk surat yang ditulis oleh seorang tokoh perempuan Gorontalo di Djogjakarta. Beliau bernama Siti Fatimah Usoeloe. Tinggal di Kaoeman 260a, Djogja. Surat ini ditulisanya tahun 1947, tertanggal 6 Januari 1947. Sebuah surat panjang yang dikirimkannya kepada tokoh Gorontalo yang ketika itu namanya sudah berkibar di Jakarta. Siapa beliau? Dialah Hans Bague (H.B) Jassin –dengan nama panggilan keluarga: Djamadi–.
Kata “Merdeka!” adalah kata awal yang dipakai oleh Fatimah Usoeloe dalam suratnya. Betapa, ketika itu, suasana heroisme kemerdekaan bangsa benar-benar merasut dan menggema di mana-mana. Apalagi di kota-kota (utama) perjuangan seperti Jogjakarta dan Jakarta. Dengan dokumen surat di atas, amatlah nyata bahwa akar-akar nasionalisme Gorontalo bukan hanya berlangsung heroik di (dalam) wilayah Gorontalo, sebagaimana terasa pada peristiwa sebelum “23 Januari 1942” dan pasca pergolakan heroik itu, tetapi hal itu juga berlangsung di banyak titik di tanah air ketika tokoh-tokoh Gorontalo aktif mengambil peran penting. Hampir bisa dipastikan bahwa mereka bukanlah sekadar ikut-ikutan dalam gerakan kemerdekaan.
Surat panjang seorang St. Fatimah Usoeloe dari Jogjakarta membuktikan hal tersebut. Jika membaca suratnya, dapat kita duga bahwa beliau termasuk “generasi terdidik awal” Gorontalo di awal abad 20. Cara menulis beliau yang tertib, dengan sistematika yang rapi, serta demikian hangat dalam berbahasa, sudah cukup menggambarkan bagaimana kualitas pribadi dan wawasannya dalam bergaul. Tentu ini tak perlu mengagetkan mengingat beliau berkiprah di kota perjuangan Djogjakarta.
Masyarakat Gorontalo di awal abad ke-20 menggumuli tema-tema pendidikan, perjumpaan lintas daerah, kesadaran kebangsaan dan kesukubangsaan, kemampuan baca-tulis, berorganisasi dan berkomunikasi tulisan melalui media cetak, berkembang begitu pesat. Inilah fondasi (kebangkitan) elite moderen di daerah ini, sebagaimana dipelajari mendalam oleh Prof. Van Niel (1960 [1984], Univ of Hawaii). Hal ini perlu kita cermati karena jangan sampai kita lupa bahwa kebangsaan atau keindonesiaan tumbuh dan mengakar bukan semata karena ada represi kolonialisme, melainkan hal tersebut dibentuk oleh “kesadaran” dan “pengalaman bersama” yang ditempa melalui organisasi kebangsaan dan disirkulasi melalui “perjumpaan pemikiran” –melalui tulisan-tulisan dan pertemuan-pertemuan kalangan terdidik dan para pejuang. Di sanalah letaknya mengapa kalangan muda, kelompok perempuan, cerdik-pandai, pesantren, kalangan sastrawan dan wartawan berperan penting.
Pekik “Tetap Merdeka!” yang dituliskan St Fatimah Usoeloe dalam suratnya kepada H.B. Jassin di Jakarta, 6 Januari 1947, adalah balasan dari surat H.B. Jassin kepadanya pada 22 Desember 1946. Mereka saling berbagi kabar, termasuk saling bertanya tentang orang-orang Gorontalo yang pada masa itu tengah berada di tanah Jawa. Dengan gaya panggilan akrab ala Gorontalo, kata “Ma’ Ade” juga tetap dipakai dengan hangat.
Selembar surat berisi beberapa hal penting. Rupanya St Fatimah Usoeloe adalah pembaca aktif majalah Pantja Raja, sebuah majalah terpandang yang diterbitkan Balai Pustaka (1945-1947) ketika H.B Jassin bekerja sebagai Redaktur. Melalu surat ini, Fatima Usoeloe mengabarkan Jassin tentang wesel post kirimannya (10 rup) untuk berlangganan Pantja Raja selama “setengah tahun” (harga langganan 6 rupe dan sisanya untuk biaya pengiriman).
Hal penting berikutnya adalah ternyata sejak tanggal 12-13 Oktober 1946, telah berdiri “Keroekoenan Keloearga Teloek Gorontalo (KKTG) di Djogjakarta, dengan alamat pengurus pusat KKTG: Kaoeman 260a, Djokja.Tak lama setelah itu, berdiri pula cabang KKTG di Malang pada 4 November 1946 dengan alamat Abdoera’oef, Taloenkolom 6B/25, Malang. Demikian juga di Solo, KKTG tengah diusahakan berdiri cabang oleh S. Olii di Keprabon Koelon 66.
Data ini memberi bukti otentik tentang kegorontaloan di tanah Jawa dan bagaimana peran “kerukunan keluarga Gorontalo” di tingkat nasional, terutama di beberapa kota besar di Indonesia di mana pusat-pusat perjuangan nasional bergolak dan perkembangan pendidikan berkembang, menjelang dan di awal kemerdekaan. Dengan itu, penjelasan lebih lanjut dapat kita tempuh guna menunjukkan dimensi “kesetaraan wilayah” dalam pembentukan keindonesiaan kita.
Dipandang dari sudut kedaerahan, yang terjadi adalah kehangatan karena ikatan emosional, hal mana pada masa itu dipastikan bahwa “jarak geografis” adalah satu soal yang hanya bias dijembatani oleh korespondensi (persurat-suratan) dengan mengandalkan “Kantor Post”. Penting dicatat bahwa pada periode 1947-1948, yang dikenal dengan masa Agresi Militer Belanda (I-II) yang hendak kembali menguasai Indonesia, memberi dampak penting di Jogkarta dan Jakarta, sampai ke Sumatera dan Sulawesi. Itulah yang memicu menggemanya istilah “sekali merdeka, tetap Merdeka!”.
Terang sekali bahwa putra-putri (terdidik) Gorontalo sebagiannya berada di tengah-tengah pergolakan zaman ketika itu. H.B. Jassin di Jakarta dan beberapa orang lainnya berjuang di sektor intelektual dan pencerdasan, sementara di beberapa kota lain, sebagaimana diwakil oleh orang-orang sepertti Siti Fatimah Usoeloe di Jogjakarta, atau seorang tokoh nasionalis Gorontalo hebat lainnya di Makassar, yakni A.N Hadjarati, berjuang di medan organisasi kebangsaan (Parindra). Di masa itu, H.B. Jassin adalah “jembatan” penting dalam mensirkulasi terbitan-terbitan kebangsaan yang memuat pemikiran-pemikiran tokoh nasional, terutama ketika konsolidasi kebangsaan tengah memuncak.Sebagaimana kita bisa membaca dalam Mimbar Indonesia, mingguan nasional berpengaruh di mana H.B. Jassin berperan sebagai tokoh penting di dalamnya.
Pelajaran berharga yang mungkin harus dikerjakan sekarang ini, di tengah-tengah fasilitas hidup dan jaringan organisasi yang semakin baik dan merata, barangkali adalah tentang “kekeluargaan Gorontalo” itu sendiri di panggung nasional. Tokoh yang banyak bertengger di sektor kekuasaan dan di sektor profesional hendak memerankan apa? Adakah kepentingan lintas generasi yang kini tengah dikerjakan? Seperti apakah etik publik, wawasan daya saing daerah dan perubahan kemakmuran bagi semua golongan dikerjakan? Saya rasa, kita relatif masih terkesima dengan ketokohan yang posisional. Kita masih lemas menggemakan kegorontaloan yang produktif karena menata etika publik, pembinaan generasi baru, menguatkan produktivitas daerah, dan mengokohkan kegairahan berilmu pengetahuan dan berkebudayaan. ***
Penulis adalah parner di Voice-of-HaleHepu;
terlibat di konferensi media & modernity
di University of California (L.A), Berkeley, U.S.A.
Sejak 2013 bekerja di Universitas Negeri Gorontalo.











Discussion about this post