>>>> Spektrum Sosial <<<<
Oleh
Basri Amin
—-
Gorontalo mempunyai empat Sultan (Raja) yang terkenal. Satu di antaranya adalah Sultan Eato. Beliau sangat terpandang, terutama karena pada masa pemerintahannya berhasil mewujudkan (agama) Islam sebagai identitas utama masyarakat Gorontalo. Memerintah sejak 1673, kemudian oleh penguasa Kolonial beliau dibuang ke Ceylon, Srilanka, tahun 1679. Dalam banyak tulisan, Eato disebutkan wafat di negeri itu, tepatnya di Ceylon. Tentang berita kapan beliau wafat di Ceylon, tidak diperoleh keterangan yang memadai.
Adalah Prof. S.R. Nur, mahaguru Hukum Adat di Universitas Hasanuddin, yang menulis disertasi panjang dan monumental tentang Eato. Sekitar 300 halaman beliau menulis tentang “Beberapa Aspek Hukum Adat Tatanegara Kerajaan Gorontalo pada Masa Pemerintahan Eato, 1673-1679”. Disertasi ini dipertahankan pada 1 Desember 1979. Inilah karya ilmiah pertama, yang ditulis oleh putra terbaik Gorontalo, yang berhasil “menemukan mutiara” peradaban Gorontalo di abad ke-17. Selama sepuluh bulan S.R. Nur mengumpul data intensif di negeri Belanda, meskipun beliau telah mempelajari Gorontalo sejak 1934-1977.
Penting dicatat, Prof. S.R. Nur sengaja tidak pernah menggunakan gelar “Sultan” di depan nama (raja) Eato karena beberapa informan beliau menjelaskan bahwa gelar Sultan adalah indikasi atas pengaruh Ternate, sebagai “pemberian” Ternate karena ketaatannya pada Ternate dan kepatuhan atau kerjasamanya dengan Kompeni Belanda. Eato adalah raja yang menentang dominasi Ternate. Di kemudian hari, gelar Sultan Eato muncul dari rakyat Gorontalo sendiri sejak pembuangannya ke Ceylon (Srilanka). Sejak itu pula kaidah “adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah” (adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Quruani) menjadi populer.
Lipoeto (1950) menulis bahwa aksara arab mulai dipakai di Gorontalo sejak 1525, yakni sejak tibanya raja-raja Tamalate, Lemboo, Siendeng, Hulangato, Sipayo, Bunuyo, Soginti, dan Siduan di Hunto (Gorontalo). Di sinilah masjid pertama dibangun dan pada tahun 1563, Islam resmi menjadi agama resmi (kerajaan) dan bagi rakyat di Gorontalo. Meski S.R. Nur mengaku tidak menemukan kronik yang memadai tentang Islam masuk di Limboto dan Gorontalo, penulis Belanda ternama, Bastiaans (1938) menulis bahwa Islam masuk Limboto pada tahun 1562 dan masuk Gorontalo 1589. Sebagai ilmuan dan penghayat sejarah dan kebudayaan, S.R. Nur sangat hati-hati dan rendah hati dengan mengatakan bahwa angka-angka sebelum 1525 atau 1589, hendaknya diberikan tanda “tanya” (?) karena sistem penulisan dan aksara belum dikenal di Gorontalo sebelum tahun tersebut.
Konflik lokal –-sering pula disebut “perang saudara”– antara Gorontalo dan Limboto berlangsung lama, kira-kira antara tahun 1495-1673. Pada periode inilah keterlibatan Ternate dan Gowa terjadi, sebagaimana dicatat oleh beberapa kronik dan tulisan. Limboto meminta bantuan Ternate, sementara Gorontalo meminta bantuan Gowa. Kedua kerajaan bersaudara ini bergantian menang dan kalah (Tacco, 1935; Lipoeto, 1949; Riedel,1870; Ligtvoet, 1880).
Eato (1673-1679) adalah raja yang sangat penting dicatat dalam sejarah Gorontalo. Pemerintahan yang baik, dengan semangat Islam dan sistem sosial yang unggul, dibangun pada masa Eato. Kedudukannya sejajar dengan Wadipalapa, Matoludula (Raja Matahari) dan Botutihe (Ta to Mihirabu). Eato wafat di Ceylon, sehingga beliau digelari Ta to Selongi. Setelah menikahi Moliye III, Eato kemudian menggantikan posisinya sebagai Maharaja. Dalam pencapaiaan keagamaan, Eato dikenal pula sebagai penganut dan pengajar tarikat Naqsyabandiah.
Eato dicatat pernah mengunjungi tanah Gowa, bersama jogugu Bumulo, sewaktu mengantar 2 (dua) gantang emas kepada pasukan-pasukan Gowa yang akan menyerang Gorontalo di Tolinggula. Penulis klasik Gorontalo, Richard Tacco, menegaskan kebesaran Eato karena beliau adalah (1) pembuat undang-undang; dan (2) pendamai ulung antara Limboto dan Gorontalo. Warisan Eato yang tak kalah pentingnya adalah ketika berhasil meletakkan dasar-dasar penghormatan kepada pencapaian masyarakat atau individu dalam tatanan dan struktur sosial di Gorontalo pada abad ke-17. Tak heran kalau kekuasaan pun sangat berubah, terutama karena pertimbangan kepada (1) karya (ilomata); (2) kekuatan ekonomi; (3) pengetahuan/ilmu; dan (4) budi pekerti, menjadi pertimbangan dalam memilih/mendudukkan seseorang dalam jabatan. Pada sektor lain, Eato membentuk “Baitul-Maal”, sehingga menjadi terang pembedaan antara harta-benda Raja dan hak milik atau aset kerajaan. Tugas kekuasaan, menurut Eato, adalah “melaksanakan kesejahteraan umum” (molimehu buala).
Di ujung Selatan Sulawesi, tokoh ternama di bidang keagamaan adalah Syekh Yusuf. Beliau juga dibuang oleh Kompeni di Ceylon (Srilanka), sebelum akhirnya dibuang lagi ke Afrika Selatan. Syekh Yusuf al-Makasari tiba di Ceylon pada tahun 1684. Beliau menetap di Ceylon selama kurang lebih 9 (sembilan) tahun, karena pada tahun 1693 Syekh Yusuf kembali dibuang ke Kaap, Zandvliet, (Afrika Selatan), pada usia 68 tahun.
Syekh Yusuf menerima banyak ijazah tarekat, di antaranya adalah tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syattariyah, Tarikat Qadiriyah, dan tarikat Khalwatiyah, dst. Beliau adalah pembelajar yang sangat luas, tinggi dan mendalam. Belajar di Timur Tengah sekitar 20 tahun, dari Yaman, Madinah hingga ke Damaskus. Di Ceylon, Syekh Yusuf sangat produktif menulis banyak risalah keagamaan, terutama tentang tasawuf. Beliau sangat dikagumi, terutama karena beliau bisa “menitipkan” risalah-risalahnya untuk dibawa ke Nusantara (Banten atau Makassar) oleh para jemaah haji yang singgah (1-3 bulan) di Ceylon. Muridnya tersebar di Srilanka dan India. Baik di Afrika Selatan maupun di Indonesia, Syekh Yusuf adalah tokoh besar, sebagai ulama, sufi dan pejuang. Risalah-nya (sekitar 24-29 naskah) tersebar di banyak tempat, terutama yang berjudul An-Nafhatu As-Sailaniyah, Siir al-Asrarr, Fath Kaifiyyat al-Zikr, Zubdat al-Asrar atau Matalib al-Salikin (Abu Hamid, 1994; Azra, 1994; Lubis, 1996;Tudjimah, 2005).
Membaca data sejarah di atas, kita bisa mengatakan bahwa Sultan Eato dari Gorontalo tiba lima tahun lebih dulu di Ceylon daripada Syekh Yusuf al-Makasari. Meskipun data lebih lanjut masih sulit kita peroleh, perkenankan saya mengajukan kemungkinan (hipotesis) bahwa kedua tokoh besar dari Sulawesi ini “berjumpa” sekian tahun di Ceylon. Syekh Yusuf hidup di Ceylon selama sembilan tahun (1684-1693) dan atas dasar periode itulah, saya rasa, perjumpaan dengan Sultan Eato berlangsung hingga beliau wafat di sana. Penyebaran beberapa kitab tasawuf di Gorontalo bisa jadi termasuk bagian sentral dari jaringan keulamaan yang luas sejak abad ke-17 di Nusantara (Azra, 1994). Kajian ini akan diperkaya lebih jauh. ***
Penulis adalah Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com











Discussion about this post