Oleh :
Fory Armin Naway
Dari berita yang dilansir oleh berbagai media masa nasional, lonjakan kasus kematian akibat Covid-19 di India sungguh sangat mencengangkan. Newsweek, sebagaimana dilasir Kompas.com Senin, (26/4/2021) melaporkan, kasus kematian Covid-19 di negara India lebih dari 117 orang setiap jam atau 1 hari mencapai 2800-an orang yang meninggal dunia. Di Kota New Delhi saja, sebanyak 348 kasus kematian Covid-19 yang dilaporkan pada Jumat (23/4/2021) atau 1 orang meninggal dalam setiap 4 menit. Sementara jumlah total penduduk yang terinfeksi Covid-19 hingga Senin (26/4) lebih dari 17.3 juta orang. Negeri India dalam satu minggu terakhir ini sangat kewalahan, rumah sakit tidak mampu lagi menampung pasien penderita Covid-19 dan krisis persediaan tabung oksigen kian menambah deretan kasus kematian yang terus melonjak.
India saat ini tengah dilanda “Tsunami” Covid-19 yang sangat mengusik rasa kemanusiaan. Di televisi nasional dan media sosial, nampak pemandangan mengharukan dan memilukan menghentak kalbu serta nurani bagi yang melihatnya. Mayat bergelimpangan di mana-mana, petugas krematorium kewalahan melakukan kremasi dan asap pembakaran mayat mengepul di mana-mana.
India yang pada awalnya dipandang sebagai negara panutan dalam menahan laju Covid-19 sejak tahun 2020 lalu, ternyata terlalu “meremehkan” keberadaan Covid-19. Tsunami Covid-19 yang melanda India saat ini, hanya berselang beberapa bulan setelah Perdana Menteri India Narendra Modi, menyatakan bahwa negaranya telah mampu mengatasi virus Covid-19 di hadapan Forum Ekonomi Dunia.
Upaya mengatasi Virus Covid-19 ini tidak diikuti oleh konsistensi pengetatatan terhadap protokol kesehatan, malah sebaliknya ada upaya melonggarkan protokol kesehatan dan pemberian izin terhadap kegiatan festival atau perayaan-perayaan hari-hari besar nasional dan keagamaan yang mengundang kerumunan massa pada satu titik. Bahkan dilaporkan, pada 11 April 2021 lalu, rakyat India diberitakan tengah tumpah ruah hingga mencapai jutaan orang berkumpul dan melaksanakan ritual mandi di Sungai Gangga untuk melaksanakan Festival Pitcher selama Kumbh Mela. (Tempo.co 12/04). Hanya berselang beberapa hari, Tsunami Covid-19 pun melanda India dengan angka kematian yang sungguh sangat memilukan.
Siapapun kita tentu berharap dan bermunajat, bahwa Tsunami Covid-19 yang melanda India tidak akan menimpa Indonesia. Kita juga tentu berharap, bahwa Pemerintah Pusat dapat terus melakukan penjagaan yang ketat di setiap Bandara dan Pelabuhan, jangan sampai “tamu-tamu asing” yang membawa virus Covid-19 dan varian baru lolos masuk ke Indonesia. Di sisi yang lain, Tsunami Covid-19 di negara India, meski nun jauh di sana, tapi seberkas hikmah dan pelajaran berharga tersuguhkan dengan nyata, bahwa Covid-19 itu benar-benar ada, mengintai setiap saat, mengancam jiwa siapapun dan akan datang kepada mereka yang lengah dan meremehkan keberadaannya.
Bulan Ramadhan, di mana tradisi mudik lebaran dan tradisi berbelanja baju baru di “pasar Senggol”, Mall dan sebagainya di satu sisi merupakan fenomena yang mampu menggairahkan perekonomian negara dan menggerakkan ekonomi masyarakat. Namun di sisi lain, ancaman Covid-19 tidaklah main-main. Kerumunan dan kepadatan pengunjung yang berdesak-desakan di Pelabuhan, Bandara, di Mall, Pasar Senggol, Bus, tempat pariwisata dan sebagainya sangat rentan terhadap penyebaran Covid-19. Lagi-lagi, kesadaran kolektif masyarakat dalam konteks ini, sangatlah penting artinya demi kepentingan bersama. Meremehkan keberadaan Covid-19 bukanlah tindakan yang bijak, karena hal itu akan membuat kita menjadi lengah, bersikap acuh tak acuh bahkan seakan tidak percaya dengan keberadaan Pandemi Covid-19.
Tradisi mudik Lebaran dan tradisi berbelanja baju baru, perabot baru dan sebagainya menyambut hari Raya Idul Fitri, di era perkembangan informasi teknologi saat ini, tidak harus berkerumun dan berkumpul di satu titik, di Mall dan di pasar-pasar tradisional. Berbelanja lewat Online menjadi alternatif yang aman dan sudah saatnya dilirik dan dibumikan di Indonesia, terutama oleh anak-anak muda, kaum terpelajar dan terdidik, di kota dan di desa-desa.
Demikian pula dengan mudik lebaran, “Silaturahmi lewat online” menjadi alternatif yang aman, murah dan efisien. Disebut demikian, karena sesungguhnya silaturahim dan saling maaf-memaafkan adalah “agenda hati”, meski fisik tidak bertatap tapi hati saling terpaut. Disitulah substansi Idul Fitri yang saling maaf-memaafkan. Dengan demikian, kemudahan yang tersajikan melalui perkembangan teknologi informasi saat ini, dapat dipandang sebagai berkah di tengah ancaman dan bayang-bayang Pandemi Covid-19. Bersilaturahmi saling maaf-memaafkan melalui Video Conference, sebenarnya tidak akan menghilangkan esensi dan hakekat silaturahim yang sesungguhnya.
Jika menelaah kembali hakekat Puasa dan Idul Fitri, maka nilai kesucian seorang manusia yang diibaratkan seperti bayi yang baru lahir, bukan terletak pada baju baru, perabot baru dan ornamen kehidupan yang bersifat fisik, tapi terletak pada “kebersihan hati”, kesucian jiwa sebagai dampak dari “penghambaan” seorang manusia kepada sang Khalik (Hablun Minallah) serta interaksi harmonis yang terjalin antara sesama manusia yang saling ikhlas untuk memaafkan satu dengan yang lainnya (Hablun Minanas).
Dengan pemahaman tersebut, maka akan terbersit sebuah kerangka berpikir setiap ummat agar dalam beragama, rasionalitas itu sangat penting, sehingga tidak terjebak pada simbolisme yang terkadang menjauhkan ummat dari substansi dan hakekat ibadah yang sesungguhnya. Substansi dan hakekat Ibadah Puasa pada prinsipnya bermuara pada agenda psikis, mental dan spiritual dalam kerangka menuju pada “kematangan jiwa” agar mampu mengendalikan diri. Derajat takwa sangat ditentukan oleh sejauhmana seseorang mampu mengendalikan dirinya.
Semangat keberagamaan melalui tradisi “mudik lebaran” dan fenomena “Pasa Senggol” pada setiap bulan Ramadhan di era Pandemik Covid-19 saat ini , dapat dimaknai secara lebih rasional melalui pendekatan pada hakekat bukan pada simbol-simbol tradisi yang terkadang menghadirkan kerancuan. Lebih jelasnya, “mudik lebaran dan fenomena pasar senggol” terdapat alternatif yang dapat ditempuh melalui pemanfaatan “online” ; Belanja online, silaturahmi online, sehingga tidak terjadi penumpukan massa dan kerumunan orang pada satu titik yang sangat beresiko terhadap wabah Covid-19. Tragedi di India dengan ratusan ribu nyawa meregang, menyuguhkan pelajaran berharga bagi kita untuk tidak lagi meremehkan Pandemi Covid-19. Selamat Berpuasa. (*)
Penulis adalah :
Dosen FIP Universitas Negeri Gorontalo
dan Ketua TP-PKK Kab. Gorontalo











Discussion about this post