Oleh:
Dahlan Iskan
APA yang terjadi? Ketika Tiongkok dan Amerika bertemu lagi secara langsung? Setelah Joe Biden menggantikan Donald Trump?
Pertama-tama seperti adegan sandiwara. Menteri luar negeri Amerika Anthony John Blinken bicara ”tembak langsung”. Tokoh berpembawaan halus ini langsung mengecam Tiongkok di banyak sektor: penghancur demokrasi di Hong Kong, melanggar hak asasi manusia di Xinjiang, dan membuat ketegangan di Taiwan dan Laut China Selatan.
Blinken berumur 58 tahun. Darahnya Yahudi –dari leluhurnya di Rumania. Hobinya main musik. Lihatlah di YouTube: ABlinken. Ia posting lagu berjudul Lip Service. Pendidikan sosialnya di Harvard University. Ilmu hukumnya dari Columbia University.
Di pembukaan pertemuan dengan delegasi Tiongkok itu Blinken tahu: waktu yang diberikan padanya hanya 2 menit. Maka ia mengabaikan basa-basi diplomasi. Itu pun waktu 2 menit tidak cukup –molor sedikit.
Sementara itu Yang Jiechi, ketua delegasi Tiongkok, juga tahu: ia harus membalas kecaman itu. Tapi waktu yang diberikan padanya juga hanya dua menit –sesuai dengan protokol yang sudah disepakati.
Tapi Mr Yang seperti emosi. Kata-kata pembukaan dari Blinken itu ia nilai terlalu menyerang Tiongkok. Mr Yang menganggap Blinken telah mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok.
Waktu dua menit pun lewat. Lima menit lewat. Sepuluh menit lewat. Mendekati 20 menit barulah Mr Yang selesai membalas serangan Blinken.
Begitulah gambaran pembukaan acara dialog Amerika-Tiongkok Kamis-Jumat lalu. Lokasinya di Alaska –di kota Anchorage.
Para pengamat menilai adegan pembukaan yang saling serang seperti itu diperlukan. Untuk konsumsi dalam negeri masing-masing. Blinken perlu menunjukkan sikap keras karena tidak ingin pemerintahan Biden dibilang lemah –dibanding Trump.
Mr Yang sendiri juga harus terlihat keras di mata rakyat Tiongkok.
Tapi pidato 20 menit itu benar-benar pelanggaran protokol. Terlalu jauh dari jatah 2 menit. Pembalasan Mr Yang terlalu telak di mata Blinken. Apalagi Mr Yang sempat juga mengecam Amerika dalam hal hak-hak asasi manusia. Begitu banyak pelanggaran HAM di Amerika sendiri belakangan ini, kata Mr Yang.
Maka begitu Mr Yang selesai pidato, Blinken berdiri –di luar protokol. Adegan ini sangat spontan. Blinken minta agar media jangan bubar dulu. Ia ingin menanggapi pidato Mr Yang.
Puas.
Sandiwara pun selesai.
Mereka lantas masuk ke dalam acara yang sebenarnya. Tertutup. Tidak bisa dihadiri media. Tidak ada sandiwara lagi. Mereka bicara banyak agenda. Dengan nada baik-baik saja. Mulai dari perdagangan sampai hubungan internasional. Mulai dari tarif impor-ekspor sampai sikap bersama atas Iran dan Korea Utara.
Meski ketua delegasi Tiongkok itu bukan menlu-nya sendiri tapi Blinken tahu: Mr Yang Jiechi adalah orang dekat Presiden Xi Jinping. Ia memang bukan menteri luar negeri tapi pernah menjadi menteri luar negeri yang sukses.
Mr Yang adalah orang yang tahu persis Amerika. Ia lama menjadi staf kedutaan Tiongkok di Washington DC. Lalu meningkat menjadi duta besar di situ. Hubungannya dengan Presiden George Bush juga sangat baik. Saat Bush melakukan perjalanan ke Tibet Mr Yang-lah yang mendampingi. Keduanya begitu akrab. Sampai-sampai Bush memberi nama panggilan khusus pada Mr Yang: Mr Tiger. Itu karena Mr Yang lahir tahun 1950 –tahun macan. Dan kata terakhir namanya, Yang JieChi itu, (Chi=篪) juga mirip huruf Hu (虎) –yang artinya: macan.
Blinken sendiri orang kepercayaan Biden. Bahkan sejak Biden masih menjabat Wakil Presiden dulu. Selama masa kampanye kemarin Blinken menjabat tim kampanye. Membawahi bidang kebijakan luar negeri.
Dua ”orang dekat” itu pun akhirnya bertemu. Sudah lama peristiwa ini ditunggu. Siapa tahu ganti presiden ganti pula suasana.
Tentu tidak mudah pun kalau hanya membalik tangan. Perlu proses bertahap. Pertemuan dua hari di Alaska itu pun akhirnya belum bisa menghasilkan kesepakatan apa-apa. Perbedaan mereka sudah terlalu jauh. Dua-duanya negara besar –yang tidak mau juga malu besar.
Tapi setidaknya mereka sudah bertemu muka. Dan lagi Amerika kini punya kebijakan baru: akan lebih banyak mengonsultasikan kebijakan luar negerinya dengan negara-negara sahabatnya.
Blinken mengakui di negaranya sendiri demokrasi juga lagi mengalami kemunduran. “Tapi kami tidak menyembunyikannya. Lalu kami membahasnya secara demokratis dan terbuka,” katanya –seperti menyindir cara Tiongkok menyembunyikan persoalan.
Tiongkok memang mempersoalkan gaya Amerika yang memaksakan kehendak ke negara lain. Termasuk lewat pengerahan armada perangnya.
“Kami memang pernah juga mengirim armada besar ke mana-mana. Tapi tidak pernah menjadikan wilayah yang didatangi armada Cheng Ho sebagai jajahan,” kata Mr Yang.
Kedua delegasi masih belum sepakat di banyak agenda. Tapi, setidaknya, sudah sepakat soal penyelesaian nuklir Iran dan Korut.
Asam di gunung masih jauh dari garam di laut. Tapi setidaknya sudah tersedia belanganya.(*)
Comment