Oleh:
Hafiz Aqmal Djibran
Percakapan publik di media sosial kembali keruh perihal kebijakan sembrono nan ugal – ugalan para pemangku kepentingan, yang dalam hal ini Pemerintah Kota Gorontalo. Beberapa kebijakan yang disepakati menimbulkan pro kontra di masyarakat dengan berbagai alasan turunannya. Beberapa kebijakan tersebut diantaranya pemanfaatan trotoar, jalanan satu arah, hingga rusaknya infrastruktur jalan yang sudah berlangsung menahun.
Lebih lagi, wujud dari ketertiban umum dan ketentraman pengguna jalan masih kurang diperhatikan. Keadaan berbagai pelanggaran terjadi merupakan hal yang mudah dijumpai di Kota kita. Sangat frustasi memang, banyak faktor yang memengaruhi dan menghambat berkembangnya Kota Gorontalo disektor pembangunan fasilitas umum.
Masalah yang seharusnya substansial dan akar dari berbagai persoalan, malahan tidak dijadikan diskursus dan prioritas kebijakan, seolah – olah ia tersembunyi di ruang percakapan publik atau tidak disadari sebagai masalah oleh masyarakat.
Dalam buku Social Problems: The Contemporary Debates (1974) karya John B. Williamson dkk, pengertian laten tsocial problem menurut Robert K Merton “Latent social problem is a condition which is incosistent with the values of the community, but which is not recognized as a social problem by the community” yang berarti masalah laten sosial adalah kondisi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai masyarakat, namun tidak disadari bentuknya sebagai masalah sosial oleh masyarakat.
Karena hal tersebut masalah laten sosial disebut sebagai permasalahan yang tersembunyi dan keadaannya masih bisa ditoleransi oleh masyarakat. Sederhananya, masalah yang tidak disadari sebagai masalah oleh masyarakat.
Kesenjangan Sosial Kehidupan Jalanan
Seiring dengan perkembangan dinamika dan kehidupan masyarakat Kota, berdampak pada aktivitas ekonomi yang relatif cepat. Kota pun hidup dengan suasana sebagai pusat jasa dan perdagangan Provinsi Gorontalo. Namun, pesatnya perkembangan kota tidak diiringi dengan Pendidikan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Hal tersebut menciptakan jurang kesenjangan yang semakin lebar. Kemiskinan dan keterbatasan ekonomi pun membuat masyarakat memilih peruntungan di jalanan. Misalnya, menjadi pengamen, badut, bahkan pengemis sebagai cara cepat untuk mendapatkan uang. Lebih lanjut lagi, beberapa diantaranya mengarah pada tindakan eksploitasi anak. Sungguh miris.
Fenomena kesenjangan sosial ini merupakan potret nyata masalah sosial di jalanan kita. Seringkali mereka bertahan hidup di jalanan atas dasar keterpaksaan kebutuhan ekonomi, bukan pilihan profesi yang menyenangkan, dan disinilah fungsinya pemerintah harus berjalan.
Jumlah Bentor yang Makin Tak Terkendali
Bentor atau “becak motor” merupakan salah satu moda transportasi umum di Gorontalo. Transportasi ini telah begitu melekat dengan kehidupan sehari – hari masyarakat Gorontalo untuk mobilitas. Biayanya yang fleksibel, relative murah, dan menjangkau hampir seluruh pelosok perkotaan menjadikan bentor sebagai solusi dari mobilitas masyarakat sehari – hari.
Pengendalian dan pengawasan terhadap kendaraan beroda tiga di Kota Gorontalo masih terbilang minim. Maraknya kendaraan bentor di Kota Gorontalo akan menimbulkan masalah baru dan menjadi bom waktu di kemudian hari.
Masyarakat dengan mudah memodifikasi motornya menjadi angkutan umum tanpa ada pengawasan ketat dari instansi yang bertanggungjawab. Dampaknya pun mulai terasa di jalanan kota, jumlah bentor mengalami pertumbuhan pesat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data BPS di tahun 2019, jumlah bentor yang ada di kota Gorontalo sebanyak 3.220 unit. Sedangkan ruas jalan yang ada di kota Gorontalo di tahun 2024 (BPS, 2024) sepanjang 233,15 km.
Artinya, jumlah bentor dalam setiap satu kilometer jalan yang ada di Kota Gorontalo sebanyak 14 unit. Terbilang masih berada di angka yang wajar. Namun, karena bentor yang biasanya terpusat di Kawasan tertentu menimbulkan kemacetan lokal dan memakan waktu signifikan di jalanan.
Bentor yang kononnya sudah beroperasi sejak tahun 2000 di Kota Gorontalo hingga saat ini belum memiliki integrasi kedalam system transportasi publik Kota. Dalam artian, kebijakan seperti peta zonasi operasional bentor, jam beroperasi, dan penyediaan tempat mangkal resmi agar bentor tidak lagi mengganggu lalulintas di titik-titik padat.
Jika dibedah lebih jauh, menjadi pengemudi bentor merupakan alternative lapangan pekerjaan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Akibat dari minimnya regulasi dan pengawasan, akhirnya menciptakan ketergantungan pada pekerjaan informal. Tidak perlunya keterampilan untuk menjadi seorang pengemudi bentor membuat masyarakat memilih pekerjaan ini. Pengemudi bentor terus menjadi pekerjaan andalan untuk mencari peruntungan.
Parkir Liar dan Balapan Jalanan
Dua masalah tersebut penulis satukan karena penyebabnya sama, kurangnya pengawasan dan penegakan aturan dari pihak yang berwenang. Parkir liar, realitanya di sepanjang jalan protokol Kota Gorontalo tak luput dari masalah ini. Terlebih lagi saat waktu kerja, banyak kendaraan roda empat maupun roda dua memarkirkan kendaraannya hingga memakan bahu jalan.
Masalah parkir liar memicu permasalahan lainnya. Mirip seperti satu keping domino yang menjatuhkan domino berikutnya, atau disebut domino effect. Dampak masalah ini seperti kemacetan, gangguan pejalan kaki, kenyamanan warga, hingga potensi kecelakaan. Lebih lagi, parkir liar berpotensi mengurangi pendapatan daerah karena retribusi parkir tidak masuk ke kas pemerintah.
Masalah berikutnya adalah balapan jalanan, yang biasa disebut dengan balap liar. Penyakit laten ini sering terjadi pada remaja pecinta otomotif dan ingin membuktikan keberaniannya di jalanan. Seringkali balapan liar juga menjadi ajang taruhan yang menggiurkan.
Di Kota Gorontalo, ajang balap liar sudah menjadi masalah yang tak kunjung usai. Pun lokasinya yang berada di jantung kota, tak jauh dari kantor penegak hukum dan pusat pemerintahan. Yang disayangkan, cara membasmi penyakit anak muda selama ini dilakukan dengan tindakan represif.
Represif dalam hal ini adalah upaya yang dilakukan pasca kejadian, yang hasilnya hanya mempertontonkan aksi kejar – kejaran antara polisi dan aktor balapan hingga berujung ditangkap dan diberi sosialisasi, lalu masalah yang sama terjadi lagi hingga hari ini. Tidak ada upaya preventif, mengingat lokasi balap liar yang sangat strategis di pusat Kota dan mudah untuk dilakukannya monitor sebelum balap liar dilakukan.
Masalah – masalah laten jalanan kota kita yang telah disebutkan diatas seharusnya mulai diatensi oleh pemerintah. Perlunya transisi kelas dari Kota sedang menuju Kota besar harus selaras dengan kebijakan transformatif yang dimulai dari peradaban ruang jalanan. (*)
Penulis adalah anggota PB HPMIG
Periode 2024 – 2026










Discussion about this post