Oleh:
Hamim Pou
Pagi di pasar kota mengajarkan kita perihal nadi ekonomi: harga beras yang sesekali menurun, ikan segar yang cepat berpindah tangan, tawa pedagang yang mengukur ramai-sepi lebih presisi dari grafik mana pun. Di atas kertas, Gorontalo memasuki Oktober dengan napas yang relatif teratur. Inflasi kita landai: September mencatat deflasi bulanan 0,12 persen, sementara inflasi tahunan hanya 1,99 persen dan tahun kalender 1,53 persen—angka yang memberi ruang bagi dompet warga untuk bernapas sedikit lebih lega.
Di sawah dan kebun, daya tawar petani menguat. Nilai Tukar Petani (NTP) naik ke 115,99, ditopang lonjakan subsektor hortikultura hingga 8,86 persen—tanda bahwa kerja keras petani cabai, bawang, dan pisang menemukan harga yang lebih pantas. Di tingkat usaha, Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) ikut merayap dari 120,05 ke 121,83—indikasi marjin yang mulai membaik pada lini usaha tani. Momentum seperti ini tidak datang setiap musim; ia perlu dijaga agar tidak mudah rontok oleh cuaca buruk, biaya logistik yang melonjak, atau permainan rantai pasok yang timpang.
Dari laut dan hutan, kabar baik juga datang. Nilai ekspor Agustus menembus 10,01 juta dolar AS—naik 21 persen dari Juli dan 25 persen dibanding Agustus tahun lalu; sepanjang Januari–Agustus, totalnya 58,90 juta dolar—melonjak 42 persen dari periode yang sama 2024. Dua lokomotifnya jelas: kayu/barang dari kayu (HS 44) dan buah/biji olahan (HS 08). Porsi HS 44 mencapai 27,64 juta dolar atau 46,94 persen dari total tahun berjalan; HS 08 menempel ketat di 24,99 juta dolar atau 42,44 persen. Pasar utama juga mulai terkonsolidasi: Jepang, Jerman, dan Korea Selatan menjadi tujuan terbesar bulan Agustus; secara akumulatif 2025, pangsa Jepang mendekati 39 persen, Jerman sekitar 19 persen, dan Korea Selatan sekitar 14 persen. Satu hal yang patut dicatat: lebih dari 60 persen nilai ekspor Agustus sudah berangkat dari Pelabuhan Gorontalo, sisanya lewat Surabaya, Jakarta, dan sedikit Bali. Ini kabar tentang biaya logistik yang kian rasional—dan peluang untuk mendorong layanan pelabuhan yang makin sigap.
Namun ekonomi tidak pernah bergerak di satu sumbu. Sementara ekspor melonjak, impor justru menciut drastis. Nilai impor Januari–Agustus 2025 hanya 1,69 juta dolar—turun 93 persen dari tahun lalu; alhasil, neraca perdagangan kita menjadi sangat surplus: 57,21 juta dolar. Surplus memang enak dibaca, tetapi penurunan impor barang modal dan bahan baku—tercermin dari nihilnya masuk mesin dan peralatan—adalah lampu kuning bagi mesin investasi. Tahun ini, impor praktis didominasi bahan bakar mineral; kategori mesin-mesin kosong. Di balik angka-angka, ini bisa berarti pelaku usaha menunda ekspansi, atau proyek-proyek baru tersendat pada perizinan dan pembiayaan.
Di muka pintu pariwisata, kita juga membaca sinyal campur aduk. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel bintang Agustus berada di 44,58 persen—naik tajam dari Juli, namun masih tertinggal 13,94 poin dari Agustus tahun lalu. Rata-rata lama menginap di hotel bintang baru 1,61 malam: tamu datang, singgah, lalu cepat berlalu. Di bandara, arus penumpang Januari–Agustus turun sekitar 9 persen dibanding 2024, sementara penumpang di pelabuhan laut dan feri justru tumbuh—pertanda pergeseran moda dan daya beli wisata yang lebih hemat.
Apa maknanya untuk hari ini? Pertama, inflasi yang rendah adalah modal sosial-ekonomi. Tapi ia rapuh jika kita lengah pada harga pangan. Di meja makan keluarga Gorontalo, stabilitas beras, cabai, bawang, dan ikan adalah ukuran paling jujur dari kinerja pemerintah. Karena itu, pekerjaan terdekat kita bukan jargon, melainkan memastikan rantai dingin (cold chain) betul-betul menyentuh kelompok nelayan dan horti: freezer kecil, es serpih, hingga packing sederhana di desa. Dengan intervensi semacam ini, fluktuasi pasokan mingguan tidak otomatis meledakkan harga di kota. Dalam jangka pendek, dashboard harga harian tingkat kabupaten—yang menggabungkan data pasar pengumpul dan jadwal feri—akan memampukan TPID bertindak proaktif, bukan reaktif.
Kedua, ketika NTP dan NTUP bergerak naik, jangan berhenti pada jual bahan mentah. Dorong kontrak offtake antara kelompok tani hortikultura dengan ritel dan pengolah lokal; bangun sortasi–grading–branding sederhana di kecamatan; buat pisang dan cabai Gorontalo hadir sebagai produk bernilai, bukan sekadar komoditas musiman. Untuk perikanan, tambah titik es serpih dan fasilitasi sertifikasi mutu dasar agar nelayan bisa menembus pembeli antar-pulau. Target yang realistis? Menambah dua poin NTP subsektor perikanan dalam dua triwulan ke depan—dengan fokus di kantong-kantong produksi yang rantai dinginnya lemah.
Ketiga, ekspor yang terkonsentrasi pada dua HS besar perlu “naik kelas”. Dari kayu, kita harus mendorong lahirnya komponen furnitur atau semi-finished goods yang memberi nilai tambah dan tenaga kerja. Dari HS 08, telurkan snack ingredients dan olahan berumur simpan panjang untuk pasar ritel. Tiga pasar utama—Jepang, Jerman, Korea—menuntut kepatuhan keberlanjutan dan keterlacakan; penuhi lebih dulu standar ini, barulah berani memperluas ke ASEAN sebagai hinterland yang wajar. Karena lebih dari 60 persen muatan sudah lewat Pelabuhan Gorontalo, perbaiki jam layanan, cut-off time, dan koordinasi antarpihak agar biaya logistik terus turun dan keandalan jadwal terjaga.
Keempat, lemaskan kembali sendi-sendi pariwisata. Industri ini bukan hanya kamar hotel; ia adalah efek berantai untuk UMKM kuliner, pemandu selam, perajin, hingga tukang perahu. Cara tercepat memulihkan load factor pesawat—yang kini masih lesu—adalah kalender acara yang pasti: olahraga, festival budaya, dan marine experiences yang terjadwal tiap kuartal, dipaketkan bersama maskapai. Saat TPK bintang masih 44 persen dan length of stay 1,61 malam, buatlah alasan yang kuat agar wisatawan tinggal 2–3 malam: satu hari untuk kuliner kampung, satu hari untuk desa wisata, satu hari untuk bahari.
Kelima, bacalah surplus perdagangan dengan kacamata kritis. Jika impor barang modal kering, pabrik baru tak lahir, teknologi tak masuk, produktivitas akan stagnan. Data impor kita yang tersisa didominasi bahan bakar, sementara mesin-mesin absen. Maka lakukan audit pipa proyek: identifikasi rencana investasi yang macet karena lahan, listrik, atau pembiayaan; pecahkan satu per satu secara hands-on. Arahkan belanja publik ke infrastruktur ekonomi kecil yang cepat berdampak—jalan tani, listrik untuk pengolahan desa, sentra logistik mikro—agar sisi permintaan terhadap barang modal kembali tumbuh secara sehat.
Akhirnya, apa ukuran keberhasilan yang bisa diraih tanpa muluk-muluk? Menjaga inflasi tahunan tetap di bawah 3 persen; mendorong NTP mendekati 118; menaikkan porsi ekspor olahan melampaui 55 persen; membawa TPK hotel bintang kembali di atas 50 persen dengan rata-rata lama menginap minimal 1,7 malam; dan memulihkan penumpang udara mendekati titik 2024. Ini bukan daftar keinginan, melainkan konsekuensi dari kerja rapi di hulu—dari rantai dingin pangan, efisiensi pelabuhan, sampai co-marketing rute udara.
Ekonomi daerah yang tangguh tidak dibangun oleh satu angka spektakuler; ia tumbuh dari ribuan perbaikan kecil yang konsisten. Ketika pasar pagi makin stabil, pelabuhan makin cekatan, dan hotel kembali riuh, maka “naik kelas” bukan sekadar judul—melainkan kenyataan yang pelan-pelan kita tuai bersama. (*)











Discussion about this post