Oleh:
Hamim Pou
Mantan kepala daerah, konsultan kebijakan dan inovasi daerah
PAGI itu masih berkabut ketika kabar sampai: jembatan Bulobulondu putus.
Jembatan ini membentang hampir 80 meter di atas Sungai Bone yang lebarnya lebih dari seratus meter. Lokasinya di perbatasan Kecamatan Suwawa dan Kecamatan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Sejak pagi, warga berkerumun di dua tepi sungai. Menatap bentang besi dan beton yang kini terputus. Seorang sopir truk sayur mematikan mesin. Jalur distribusi terhenti. Di ujung lain, seorang ibu hamil bertanya: apakah ambulans bisa mencari jalan memutar?
Jembatan itu bukan jembatan kecil. Bukan penghubung antar-kebun yang bisa diganti papan darurat.
Ia menghubungkan ibu kota kabupaten dengan tiga kecamatan di seberang sungai. Mengantar anak sekolah. Mengalirkan hasil kebun ke pasar. Mengirim pasien ke puskesmas.
Sekali putus, semuanya terasa jauh.
Air besar datang dari hulu.
Hujan berhari-hari di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Kawasan hutan itu di bawah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sungai Bone di bawah Kementerian PUPR.
Pemerintah kabupaten? Berhadapan langsung dengan warga. Mendengar pertanyaan yang sama setiap hari: kapan akses kembali?
Di saat seperti itu, detail kewenangan tidak penting di mata warga.
Yang mereka perlukan hanya satu: waktu.
Tahun anggaran 2026 menambah babak baru.
Transfer ke Daerah dipatok Rp650 triliun. Turun sekitar 25 persen dari capaian tahun sebelumnya. Pemerintah pusat beralasan sebagian fungsi pelayanan akan digenjot lewat belanja kementerian/lembaga agar manfaatnya dirasakan langsung.
Niatnya mungkin baik.
Tapi mandat pelayanan tetap di pundak daerah. Dompetnya makin tipis. Kunci keputusannya bergeser ke pusat.
Ketika Sungai Bone meluap, jembatan putus, akses warga terhenti—semua orang pertama-tama mencari kepala daerah.
Padahal, ruang fiskalnya sudah dicekik.
Dari pengalaman memimpin daerah belasan tahun, saya belajar satu hal: ketika keputusan menunggu lintas-kewenangan, jam layanan publik habis.
Setiap jam yang hilang ada harganya.
Logistik tersendat. Harga pangan naik. Jam belajar berkurang. Kepercayaan publik menguap.
Karena itu, kecepatan tidak bisa dinegosiasikan.
Bagaimana agar negara bisa hadir lebih cepat?
Lima langkah berikut bisa jadi koreksi sederhana. Tidak menunggu revisi undang-undang. Hanya butuh kemauan bersama.
Pertama, protokol respons cepat lintas kewenangan. Tetapkan status darurat layanan untuk jembatan putus, akses kesehatan terputus, atau air minum terganggu.
Beri otoritas bertindak kepada kepala daerah dalam batas pagu dan standar teknis yang disepakati PUPR–KLHK–Pemda. Targetnya jelas: fungsi lintas kembali maksimal 30 hari. Audit menyusul.
Kedua, dana tanggap infrastruktur berbasis reimburse. Daerah bergerak dulu. Pembiayaan jangka sangat pendek. Setelah verifikasi mutu oleh tim teknis gabungan, biaya diganti.
Tidak ada cek kosong. Ada harga satuan acuan. Ada spesifikasi teknis. Ada audit forensik di atas ambang biaya tertentu.
Ketiga, kontrak otonomi berbasis hasil. Pusat dan daerah meneken pakta kinerja: akses pasar pulih ≤30 hari; rujukan ibu hamil kembali ke baseline; indeks kerentanan jembatan turun dalam satu tahun.
Selama outcome tercapai dan transparansi dijaga, beri fleksibilitas cara mencapainya.
Keempat, orkestrator provinsi untuk lintas kabupaten/kota. Gubernur berperan sebagai chief integrator: menyelaraskan jadwal PUPR di sungai, mitigasi KLHK di hulu, dan pemulihan jaringan jalan/jembatan kabupaten.
Bukan mengambil alih. Menyatukan garis waktu dan mengunci keputusan lintas batas.
Kelima, dasbor akuntabilitas terbuka. Semua pihak melihat panel yang sama: status pekerjaan, serapan anggaran, foto lapangan, SLA pemulihan, risiko cuaca BMKG.
Keterlambatan terlihat. Alasannya tercatat. Solusinya disepakati. Transparansi memperkuat kolaborasi, bukan mempermalukan.
Ekosistem Bulobulondu sederhana tapi keras.
Hidrologi di hulu memengaruhi debit sungai. Sungai menentukan nasib jembatan. Jembatan menentukan akses warga.
Rantai sebab-akibat ini tidak bisa diputus dengan anggaran yang kaku.
Belanja kementerian di daerah penting. Tapi TKD tetap menjadi oksigen eksekusi cepat.
Kita tidak ingin kepala daerah berdiri di hadapan warga tanpa alat.
Dan, setelah enam tahun, jembatan Bulobulondu tidak kunjung dibangun kembali.
Pemerintah kabupaten pasti tidak sanggup. Pemerintah pusat berakhir sebatas meminta proposal. Anggota DPR-RI hanya sampai tahap memperjuangkan.
Rakyat terus menagih janji:
Petani memutar membawa hasil kebun.
Siswa-siswi berangkat lebih awal agar tidak terlambat.
Ibu hamil menyeberangi sungai untuk memeriksakan kandungan.
Dan kejadian seperti ini bukan hanya di Bone Bolango.
Tapi di banyak daerah.
Anda lebih tahu…











Discussion about this post