Gorontalopost.co.id, JAKARTA — Pemerintah Daerah (Pemda) yang masih menggantungkan pendapatan lebih besar dari transfer pemerintah pusat, sepertinya harus lebih ikat pinggang di tahun 2026 mendatang. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, Presiden Prabowo Subianto menetapkan kebijakan pemangkasan anggaran transfer ke daerah secara signifikan.
Anggaran yang dialokasikan untuk DAU, DAK, DBH, Dana Desa, Dana Otonomi Khusus, dan lainnya direncanakan sebesar Rp650 triliun, turun Rp214,1 triliun atau 24,7 persen dibandingkan outlook 2025 yang dipatok Rp864,1 triliun. Jumlah tersebut termasuk terendah dalam lima tahun terakhir.
Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) pada 2021 mencapai Rp785,7 triliun, naik menjadi Rp816,2 triliun pada 2022, lalu meningkat lagi menjadi Rp881,4 triliun pada 2023. Namun, pada 2024 turun ke Rp863,5 triliun dan diperkirakan Rp864,06 triliun pada 2025.
Dalam Pidato Pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 beserta Nota Keuangan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8) pekan lalu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak dimaksudkan untuk mengurangi perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan daerah.
Menurutnya, justru langkah ini diambil untuk memastikan setiap rupiah dari belanja negara digunakan secara optimal dan tepat sasaran. Prabowo menjelaskan, ke depan desain belanja negara akan dibuat lebih terintegrasi antara belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah, sehingga keduanya bekerja secara sinergis dalam mendukung pemerataan pembangunan.
TERANCAM MANGKRAK
Kebijakan pemerintah pusat memangkas transfer keuangan daerah (TKD) memicu kekhawatiran kalangan di DPR terhadap kelancaran pembangunan di daerah. Kekhawatiran ini datang dari Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia.
“Kalau kemudian terjadi pengurangan dana transfer pusat, dikhawatirkan nanti pembangunan di daerah itu bisa ya mandek, bisa enggak berjalan gitu,” ucap Doli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 19 Agustus 2025.
Sebab, kata dia, 80 persen pembangunan di Kabupaten/Kota masih mengandalkan pada anggaran TKD. “Pembangunan di daerah kita selama ini, itu sangat tergantung dengan dana transfer pusat itu. Hampir sekitar 80 persen kabupaten/ kota itu sangat tergantung dengan dana transfer daerah,” imbuhnya.
“Karena memang mereka kalau kita hitung rata-rata, kapasitas fiskalnya, PAD-nya itu cuma sekitar 20-30 persen saja memenuhi APBD-nya. Sisanya itu semuanya mengandalkan dana transfer pusat,” lanjut dia. Politikus Partai Golkar tersebut menyatakan, akan mengusulkan ke pimpinan Komisi II DPR untuk segera mengundang Mendagri guna membicarakan kekhawatirannya ini.
NAIKAN PAJAK
Sejumlah kepala daerah harus putar otak agar pembangunan di daerah tidak tersendat lantaran kebijakan Presiden Prabowo Subianto itu. Diantara yang dilakukan adalah menaikkan pajak daerah, seperti yang dilakukan Bupati Pati, Sudewo, dengan menggerek pajak hingga 250 persen.
Kebijakan ini spontan ditentang rakyat dan memicu demonstrasi besar-besaran. Selain Bupati Pati, sejumlah daerah juga melakukan hal yang sama, bahkan ada yang menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 1.000 persen untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD).
Kenaikan tarif PBB secara serentak di sejumlah daerah diyakini oleh sejumlah pakar merupakan dampak dari pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat. Imbasnya, pemerintah daerah harus cari akal mencari pendapatan baru.
“Cara yang paling gampang untuk mencari pendapatan ya menaikkan pajaknya,” kata Herman Suparman, direktur eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Tahun ini, pemerintah melakukan efisiensi anggaran, salah satunya memangkas TKD sebesar Rp50,29 triliun. Banyak anggaran dipangkas demi program yang disebut “berdampak langsung pada masyarakat” seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, hingga perbaikan sektor kesehatan.
Padahal, hampir semua pemerintah daerah bergantung dari dana transfer ke daerah, terutama instrumen dana alokasi khusus (DAK) fisik. DAK fisik ini digunakan untuk infrastruktur. “Sekarang di daerah itu terganggu belanja modal terutama terkait pembangunan infrastruktur,” katanya.
GUSNAR MINTA TAK NAIKKAN PAJAK
Sebelumnya, Gubernur Gusnar Ismail meminta pemerintah kabupaten/kota untuk tidak menaikkan Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan retribusi lainnya. Hal ini diambil untuk menindaklanjuti arahan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian yang mengimbau kepala daerah untuk mengeluarkan kebijakan terkait pajak dan retribusi yang berpihak kepada rakyat.
“Menindaklanjuti arahan Mendagri pada zoom meeting kemarin, bapak Gubernur Gusnar Ismail meminta pemerintah kabupaten/kota se-Provinsi Gorontalo untuk tidak menaikkan PBB dan retribusi lainnya,” jelas Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Provinsi Gorontalo, Sri Wahyuni D. Matona, dikutip dari laman Pemprov Gorontalo, kemarin.
Langkah ini diambil pemerintah untuk menyikapi penolakan warga yang bisa memicu terjadinya aksi demonstrasi seperti yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Oleh karena itu Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat diminta untuk memperkuat pembinaan dan pengawasan produk hukum daerah serta mewujudkan tertib implementasi produk hukum yang terkait dengan pajak.
Sementera itu kepala Biro Hukum Setda Provinsi Gorontalo Mohammad Trizal Entengo menjelaskan, jika pemerintah kabupaten/kota berniat melakukan revisi atas tarif pajak dan retribusi daerah termasuk PBB, hendaknya dilakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan Pemprov Gorontalo, Kemendagri, dan Kementeian Keuangan. Sosialisasi yang matang juga harus dilakukan kepada seluruh masyarakat sebelum kebijakan perubahan tarif tersebut diberlakukan.
“Gubernur berharap komunikasi dengan masyarakat dilakukan dengan simpatik agar kejadian di Kabupaten Pati tidak terjadi di Gorontalo. Instruksi gubernur ini sejalan dengan penegasan Mendagri kepada seluruh gubernur, bupati, dan wali kota,” pungkas Trizal. (tro/net)











Discussion about this post