Oleh :
Dr. Ir. Hj. Fitria S. Bagu, M.Si
RAJA Ampat, gugusan kepulauan di Papua Barat Daya, Indonesia, dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Dengan lebih dari 75% spesies karang dunia dan sekitar 2.500 spesies ikan, wilayah ini sering dijuluki sebagai “surga terakhir di bumi”. Namun, di balik keindahan alamnya, Raja Ampat menghadapi ancaman serius dari aktivitas pertambangan nikel yang berkembang pesat dalam lima tahun terakhir.
Indonesia telah menjadi produsen nikel terbesar di dunia, menguasai hampir dua pertiga pasokan global. Pertumbuhan ini didorong oleh larangan ekspor bijih nikel mentah pada 2020, yang mendorong investasi besar-besaran dalam fasilitas pemrosesan nikel di dalam negeri, terutama oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok. Permintaan global akan nikel, terutama untuk produksi baterai kendaraan listrik (EV), telah meningkatkan tekanan terhadap wilayah-wilayah kaya nikel, termasuk Raja Ampat.
Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat telah menyebabkan deforestasi lebih dari 500 hektare hutandipulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, danManuran. Deforestasi ini memicu erosi tanah dan sedimentasi yang mengancam ekosistem terumbu karang dan kehidupan laut. Selain itu, pencemaran air akibat limbah tambang telah dilaporkan mencemari perairan pesisir, mengganggu habitat ikan dan spesies laut lainnya.
Selain deforestasi dan pencemaran air, aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat juga mengakibatkan degradasi fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut secara menyeluruh. Sedimentasi akibat pembukaan lahan dan pembuangan tailing ke perairan menyebabkan turunnya kualitas air laut, yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan terumbukarang.
Terumbu karang, sebagai habitat penting bagi ikan dan biota laut lainnya, sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan. Jika kerusakan ini dibiarkan berlanjut, maka penurunan populasi ikan karang akan berdampak besar terhadap mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada perikanan tradisional.
Selain itu, meningkatnya kandungan logam berat dalam air dan sedimen laut dapat menyebabkan bioakumulasi pada rantai makanan laut. Kondisi ini membahayakan tidak hanya satwa laut, tetapi juga manusia yang mengonsumsi ikan dari wilayah tersebut.
Penelitian dalam lima tahun terakhir juga menunjukkan bahwa aktivitas tambang nikel berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca melalui pelepasan karbon dari tanah dan vegetasi yang dibuka. Hal ini bertentangan dengan tujuan mitigasi perubahan iklim yang menjadi dasar pembangunan industri energi hijau berbasis baterai.
Kerusakan lingkungan ini bersifat sistemik dan berpotensi permanen jika tidak dilakukan pemulihan secara menyeluruh. Habitat alami yang telah terganggu membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih, dan beberapa spesies endemik mungkin tidak dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yangtelah rusak.
Karena Raja Ampatadalah bagian dari segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle), maka kerusakan lingkungan di wilayah ini juga berdampak pada ekosistem laut global. Kondisi ini menempatkan pertambangan nikel sebagai ancaman serius terhadap stabilitas ekologi dan ketahanan pangan lokal di masa depan.
Masyarakat lokal diRaja Ampat, yang sebagian besar bergantung pada ekowisata dan perikanan, merasakan dampak langsung dari aktivitas pertambangan. Penurunan kualitas lingkungan mengakibatkan berkurangnya pendapatan dari sektor pariwisata dan perikanan. Selain itu, konflik sosial muncul akibat ketidakjelasan izin tambang dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pertambangan.
Pada Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto mencabut izin empat dari lima perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat, menyusul laporan Greenpeace tentang kerusakan lingkungan yang signifikan. Namun, PT Gag Nikel, yang merupakan anak perusahaan dari BUMN PT Antam, tetap diizinkan beroperasi karena berada di luar kawasan geopark UNESCO. Langkah ini dianggap belum cukup oleh para aktivis lingkungan, yang menuntut pelarangan total aktivitas pertambangan di seluruh wilayah Raja Ampat.
Ironisnya, nikel yang ditambang dari Raja Ampat digunakan untuk produksi baterai kendaraan listrik, yang dianggap sebagai solusi ramah lingkungan untuk mengurangi emisi karbon.
Namun, proses ekstraksi nikel yang merusak lingkungan justru bertentangan dengan tujuan keberlanjutan tersebut. Paradoks ini menimbulkan pertanyaan etis tentang sejauh mana kita bersedia merusak lingkungan demi mencapai tujuan lingkungan lainnya.
Raja Ampat adalah aset ekologis dan budaya yang tak ternilai bagi Indonesia dan dunia. Ancaman dari pertambangan nikel harus ditanggapi dengan serius melalui kebijakan yang tegas dan berkelanjutan. Pemerintah perlu meninjau kembali izin-izin tambang, memperkuat penegakan hukum lingkungan, dan melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Hanya dengan langkah-langkah konkret dan kolaboratif, kita dapat memastikan bahwa “surga terakhir di bumi” ini tetap lestari untuk generasi mendatang. (*)
Penulis adalah dosen tetap Fakultas Pertanian
pada Program S1 dan S2 Agroteknologi,
Universitas Negeri Gorontalo.










Discussion about this post