Gorontalopost.co.id, POHUWATO – Tindak kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Pohuwato, cukup tinggi. Catatan kepolisian, terdapat 13 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Hal tersebut terungkap dari jumlah laporan yang dilayangkan oleh pihak korban kepada pihak Polres Pohuwato.
Data yang dirangkum Gorontalo Post, dari total 13 kasus tersebut, lima laporan menyangkut kasus dugaan pencabulan dan delapan kasus lainnya merupakan dugaan persetubuhan.
Kapolres Pohuwato, AKBP H. Busroni,S.I.K,M.H melalui Kasat Reskrim, AKP Andrean Pratama,S.Tr.K,S.I.K,M.H ketika diwawancarai menjelaskan, untuk lima laporan kasus pencabulan, salah satunya sudah naik ke tahap penyidikan. Sedangkan delapan laporan untuk dugaan persetubuhan, tiga diantaranya sudah naik ke tahap penyidikan.
“Untuk perkara lainnya saat ini masih sementara dalam proses. Penyidik pada dasarnya masih sementara menyelesaikan satu persatu berkas perkara yang dilaporkan. Untuk yang sudah selesai pula telah kami limpahkan ke Kejaksaan Negeri Pohuwato untuk diproses lebih lanjut yakni pada proses persidangan,” ungkap perwira yang baru naik pangkat setingkat lebih tinggi ini.
Ditambahkan pula, terkait dengan kasus pencabulan atau kekerasan seksual, berdasarkan Peraturan Kapolri nomor 8 Tahun 2021, Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, bahwa dalam penanganan tindak pidana keadilan restoratif harus memenuhi dua syarat yakni syarat materil dan formil.
Syarat materil yang di maksud meliputi, tidak menimbulkan keresahan atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatism, bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan dan bukan tindak pidana terorisme dan tindak pudana terhadap nyawa orang.
Sedangkan syarat materil meliputi, perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana Narkoba, pemenuhan hak- hak korban dan tanggung jawab pelaku.
“Dari dasar tersebut, menurut kami kasus pencabulan atau kekerasan seksual, tidak bisa dilakukan atau diselesaikan secara Restoratif Justice (RJ). Alasannya, hal ini akan memberikan dampak keresahan atau penolakan dari masyarakat. Mengapa demikian? Karena korban kekerasan seksual, pasti akan mengalami trauma atau psikologi mereka terganggu,” jelasnya.
Pada prisipnya kata AKP Andrean, pihaknya selaku apart penegak hukum (APH) tidak hanya memikirkan keadilan dan kepastian hukum saja, akan tetapi bagaimana APH dalam melakukan proses hukum, juga harus lebih mengedepankan azas dari kemanfaatan hukum itu sendiri, bahwa hukum harus memberikan manfaat bagi masyarakat.
“Artinya, peraturan dan penegakan hukum harus memberikan dampak positif, baik bagi individu maupun kelompok, serta berkontribusi pada kesejahteraan umum. Sehingga kami selaku APH lebih menekankan pentingnya mempertimbangkan tujuan dan kegunaan hukum dalam penerapannya, tidak hanya berfokus pada keadilan dan kepastian hukum,” pungkas Alumnus Akpol 2017 ini. (kif)










Discussion about this post