Gorontalopost.co.id, GORONTALO — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Kota Gorontalo kembali menggelar sidang kasus dugaan gratifikasi proyek revitalisasi Jln Nani Wartabone (Eks Jln Pandjaitan), Kota Gorontalo, dengan terdakwa FL, Rabu (22/1).
Dalam persidangan tersebut, 10 saksi turut dihadiri, diantaranya mantan Walikota Gorontalo, Marten Taha, Direktur Perumdam Muara Tirta, Lucky Paudi, dan Yakub Tangahu, yang merupakan perwakilan masyarakat.
Hadirinyaa Marten Taha dalam persidangan tersebut dikarenakan pada sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menghadirkan sejumlah saksi, diantaranya saksi kunci yaitu Direktur PT Mahardika Deny Juaeni (pemenang tender).
Dalam kesaksiannya, Direktur PT Mahardika menjelaskan detail kronologi perihal menjadi pemenang tender, serta penjelasan terkait fee 17 persen dalam proyek jalan Nani Wartabone.
Pada kesaksiannya, Direktur PT Mahardika sempat menyebutkan Marten Taha dalam keterlibatannya pada kasus tersebut. Sehingga Marten dihadirkan untuk dimintai keterangan jaksa penuntut.
Pantauan wartawan Gorontalo, meski sepuluh saksi dihadirkan secara bersamaan, JPU meminta Majelis Hakim untuk menjadwalkan pemeriksaan Marten Taha setelah kesembilan saksi lainnya selesai memberikan kesaksian.
Dalam persidangan, JPU mencecar Marten dengan berbagai pertanyaan, termasuk seputar dana perjalanan dinas (Perdis) dirinya sebagai Walikota. Mantan wali kota dua periode itu menjelaskan bahwa biaya Perdis yang ia lakukan sebanyak 12-14 kali dalam setahun, awalnya diberikan oleh Bagian Umum Pemkot Gorontalo dalam bentuk pinjaman.
Setelah perjalanan selesai, dana tersebut ditransfer ke rekening pribadinya. Namun, pernyataan Marten dipertanyakan oleh JPU, yang mengungkapkan kesaksian seorang ajudan bahwa uang Perdis tidak berasal dari Bagian Umum Pemkot, melainkan dari PT Mahardika melalui almarhum Antum.
“Apakah benar saudara menerima uang dari saudara Antum?” tanya JPU. Menanggapi hal tersebut, Marten dengan tegas membantah. “Saya tidak pernah menerima uang dari Antum,” ujarnya.
Hal inipun yang dikatakan Marten saat diwawancara awak media, dirinya menjelaskan bahwa ketika berangkat perjalanan dinas, tidak ada kemungkinan dirinya mendapat uang dari bagian umum, namun dibayarkan setelah melakukan tugas.
“Jadi biaya sendiri dulu, baru ketika pulang dimasukkan ke rekening kita, jadi tidak menerima bagian umum. Jadi ajudan yang mengatasi masalah itu darimana itu saya tidak tahu,” jelasnya saat diwawancara awak media setelah sidang.
Sementara itu, kuasa Hukum Faisal Lahay, Ramdan Kasim mengatakan, bahwa dalam persidangan ada beberapa pertanyaan yang diberikan kepada Marten, yang berkaitan dengan fakta persidangan, yang pertama terkait penyerahan uang yang dikaitkan dengan saksi-saksi.
“Jadi kami mengkonfirmasi terkait bukti-bukti yang sudah kami miliki dan itu juga sudah ditunjukkan oleh jaksa, sehingga dudukan masalah ini tidak bisa juga harus ada pada terdakwah klien kami, dan dalam fakta menunjukkan bahwa ada permintaan-permintaan penyerahan sumber uang yang tidak pernah diabaikan klien kami sehingga wajar wajar kalau tanggapan-tanggapan yang disampaikan ataupun bantahan-bantahan yang diberikan kepada saksi, karena kami berdasarkan fakta dan bukti ada yang disampaikan oleh terdakwah,” jelas Ramdan.
Lebih lanjut dirinya mengatakan, bahwa saat ini ada beberapa barang bukti yang diajukan oleh jaksa dan ada beberapa yang disampaikan juga oleh kliennya seperti kwitansi.
“Dan pada prinsipnya untuk kepentingan hukum agar supaya ini bisa clear maka semua itu harus diungkapkan dalam persidangan, sehingga terkait nama-nama yang sempat disebutkan tadi harusnya bisa diperiksa dalam persidangan,” pungkasnya.
Selain itu, dinformasikan sebelum pembacaan dakwaan terhadap tersangka Faisal Lahay, JPU membeberkan keterlibatan sejumlah nama besar. Salah satu poin menarik dalam dakwaan adalah adanya aliran dana sebesar Rp 20 juta dari tersangka AA (Antum) kepada seorang pejabat Pemerintah Kota Gorontalo berinisial NS.
Dana tersebut disalurkan melalui perantara berinisial IAA dengan alasan untuk bantuan sembako bagi masyarakat terdampak bencana alam. Namun, dana digunakan untuk bantuan sosial.
Dari total dana yang diterima tersangka AA, lebih dari Rp 130 juta diduga digunakan untuk kepentingan pribadi. Perkara ini semakin rumit setelah tersangka AA meninggal dunia pada 25 Desember 2024. (Tr-76/tha)










