Bersatu Membangun Jaringan Kartu Kredit Independen

Oleh :
Abdullah Ulil Albab

 

AKTIVITAS ekonomi Indonesia selama ini masih tergantung pada jaringan pembayaran internasional. Dalam Publikasi Statistik sistem pembayaran dan infrastruktur pasar keuangan (SPIP), pada bulan Juni 2024 nilai transaksi belanja kartu kredit telah Rp34.4 Triliun atau meningkat 4.20% dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Kehadiran kartu kredit prinsipal asing seperti Visa dan Mastercard di Indonesia telah memberikan sejumlah manfaat, baik bagi konsumen, pelaku bisnis, hingga perekonomian secara keseluruhan. Namun, dengan perkembangan sistem pembayaran domestik saat ini, apakah masih diperlukan kedepan?

Manfaat kartu kredit prinsipal asing yang diberikan selama ini memang memberikan gambaran kemudahan transaksi bagi masyarakat Indonesia dan menjadi pondasi pengembangan sistem pembayaran digital di Indonesia. Popularitasnya sendiri masih terus meningkat di masyarakat, meski dengan kanal pembayaran lain sudah ada di Indonesia seperti QRIS dan BIFAST.

Namun, di balik segala manfaatnya, penggunaan kartu kredit prinsipal asing juga memberikan beberapa tantangan. Ketergantungan pada sistem pembayaran internasional dapat mengurangi otonomi ekonomi suatu negara. Penggunaan kartu kredit dengan prinsipal asing berarti data transaksi yang dilakukan oleh masyarakat dalam negeri terkirim kepada prinsipal asing, di luar kendali pemerintah/negara.

Selain itu, ketergantungan pada prinsipal asing memberikan beban biaya tambahan kepada perekonomian dalam bentukinterchange fee kepada perbankan, serta biaya transaksi dan rewards kepada merchant; yang tidak dapat ditolak bersifat sepihak.

Dalam upaya mengurangi ketergantungan tersebut, Pemerintah Indonesia menerbitkan Kartu Kredit dengan prinsipal domestik, atau Kartu Kredit Indonesia (KKI). Konsep kartu kredit dengan prinsipal domestik memang menarik dan memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri keuangan suatu negara. Prinsipal domestik mengacu pada lembaga keuangan dalam negeri yang bertindak sebagai penerbit utama kartu kredit, dalam hal ini perbankan dalam negeri.

Pengembangan jaringan kartu kredit domestik sebenarnya bukan merupakan hal baru di dunia. Arab Saudi merupakan salah satu contoh negara dengan jaringan kartu kredit domestik, yaitu Mada. Kartu Kredit Mada diterima di hampir semua merchant di Arab Saudi, mulai dari toko-toko kecil (UMKM) hingga pusat perbelanjaan besar, dan restoran. Selain itu, Kartu Mada sering kali diintegrasikan dengan layanan pemerintah, seperti pembayaran pajak dan denda. Sama seperti skema Visa dan Mastercard, merchant di Arab Saudi menawarkan promo dan diskon khusus bagi pengguna kartu Mada.

Implementasi KKI di Indonesia sejak tahun 2022 masih dalam tahap pilot project dengan user segmen pemerintah. Di daerah, penggunaan KKI oleh pemerintah memerlukan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) sebagai regulasi yang menjadi dasar penggunaan instrument tersebut dalam pembelanjaan Pemda. Sampai dengan Juli 2024, Jumlah pemda yang telah memiliki perkada sebanyak 335 Pemda dengan total transaksi kumulatif adalah sebesar Rp34.44 Miliar (Januari 2023 s.d. Juli 2024).

Penerapan KKI dihadapkan pada sejumlah tantangan yang cukup kompleks. Diperlukan infrastruktur yang memadai, seperti jaringan telekomunikasi yang kuat di setiap daerah, kebutuhan perangkat point-of-sale (POS) yang modern, dan sistem keamanan yang canggih; membutuhkan investasi yang besar dan waktu yang lama. Selain itu, mengintegrasikan sistem pembayaran domestik dengan berbagai sistem yang sudah ada, seperti sistem perbankan, e-commerce, dan pemerintah, merupakan tantangan teknis tersendiri.

Selain tantangan infrastruktur, terdapat juga kendala kebijakan dan regulasi yang perlu persiapkan. Kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan sistem pembayaran domestik sangat penting. Regulasi yang terlalu ketat atau tidak jelas dapat menghambat inovasi dan pertumbuhan. Koordinasi antara berbagai lembaga pemerintah, seperti bank sentral, regulator perbankan, dan kementerian terkait, sangat penting untuk memastikan keselarasan kebijakan.

Di sisi pengguna, mengubah kebiasaan masyarakat dari menggunakan uang tunai atau kartu kredit prinsipal internasional ke sistem pembayaran domestik membutuhkan waktu dan upaya edukasi yang intensif. Perilaku konsumen yang berbeda-beda, terutama di daerah rural (pedesaan dan perkampungan), dapat menjadi tantangan dalam merancang produk dan layanan pembayaran yang sesuai. Bersaing dengan jaringan kartu kredit internasional yang sudah mapan membutuhkan strategi yang tepat dan diferensiasi produk yang kuat.

Bank Indonesia bersama dengan Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait serta Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia senantiasa bekerja sama untuk mendorong implementasi KKI di pemerintah pusat dan daerah.Dalam perannya di daerah Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri senantiasa melakukan sosialisasi, pelatihan, dan rapat bersama dengan Pemerintah Daerah(Pemda) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk segera melakukan implementasi KKI.

Berkat koordinasi yang baik dan membumi di daerah, berdasarkan realisasi periode Jan’23 s.d. Jul ’24 Pemda mendominasi penggunaan KKI dengan pangsa sebesar 80% atau 4 kali lebih besar dari penggunaan KKI di pemerintah pusat (20%). Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah pusat selaku pengusul dan pengampu kebijakan.

Ke depan, komitmen seluruh jajaran pemerintah perlu diperkuat. Dalam fase transisi penggunaan KKI segmen pemerintah kepada KKI segmen ritel, diperlukan percontohan yang baik dari K/L dan Pemda serta mengayomi masyarakat untuk ikut menggunakan KKI segmen ritel.

Selain itu, diperlukan juga pendekatan kepada UMKM, Usaha Besar, dan Marketplace untuk menerima penggunaan KKI dalam operasionalnya. Kelemahan peran pemerintah akan berdampak pada keterlambatan dan/atau kegagalan implementasi jaringan sistem pembayaran dalam negeri, terutama apabila digempur resistansi dari principal asing yang akan kehilangan pangsa pasar.

Penerapan jaringan sistem pembayaran mandiri adalah kebijakan yang strategis bagi sebuah negara, terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Memang banyak hal yang perlu dipertimbangkan, namun independensi sistem pembayaran diperkirakan dapat memperkuat ekosistem perdagangan serta investasi Indonesia ke depan. (*)

Penulis adalah Bekerja pada
Departemen Regional Bank Indonesia