Gorontalopost.co.id, GORONTALO – Upaya pengembangan Rumah Sakit Provinsi Gorontalo, dr. Hasri Ainun Habibie, terus menemui jalan terjal. Jerih payah pemerintah provinsi meningkatkan status rumah sakit menuju tipe B yang mendapatkan dukungan maksimal dari Deprov Gorontalo, selalu berujung masalah.
Pemerintah Provinsi di era Gubernur-Wakil Gubernur, Rusli Habibie-Idris Rahim yang memulai pembangunan RS Ainun, memimpikan rumah sakit ini jadi pusat rujukan di Gorontalo.
Berbagai upaya untuk mempercepat pengembangan rumah sakit dilakukan. Diawali dari skema pengembangan kerjasama pemerintah daerah dengan badan usaha (KPDBU). Sayangnya upaya ini tak terwujud walau proses yang telah dilewati sangat panjang dan memakan biaya.
Saat opsi KPDBU gagal, Pemprov memilih opsi pengembangan melalui usulan pinjaman dana PEN. Pemerintah pusat mengabulkan proposal Pemprov dengan menyetujui pinjaman sebesar Rp 150 miliar. Dengan peruntukan Rp 100 miliar untuk pembangunan fisik dan Rp 50 miliar untuk pengadaan alat kesehatan.
Tapi saat Pemprov beralih kepemimpinan ke Penjagub Hamka Hendra Noer pada 2021, Pemprov memutuskan mengembalikan dana PEN itu karena khawatir proyek tak bisa selesai dan bisa berujung masalah hukum.
Asa untuk mengembangkan RS Ainun kembali hidup setelah tahun ini Kementerian Kesehatan mengucurkan dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 30 miliar untuk mendanai pembangun gedung rawat inap.
Untuk naik status tipe B, salah satu syarat yang harus dipenuhi RS Ainun adalah ketersediaan 200 tempat tidur. RS Ainun yang saat ini masih berstatus rumah sakit tipe C, baru memiliki kapasitas 130 tempat tidur.
Kehadiran gedung rawat inap yang dibiayai alokasi DAK Kemenkes itu diharapkan akan memenuhi persyaratan itu. Tapi sayangnya, proyek pembangunan gedung rawat inap itu saat ini bermasalah. Proyek itu berpotensi putus kontrak karena hampir dipastikan tak akan bisa selesai tahun ini.
Saat pertemuan tim reses Deprov dapil III Kabupaten Gorontalo dengan jajaran direksi RS Ainun, kemarin (18/11) terungkap, realisasi fisik proyek itu sampai saat ini baru mencapai 30 persen. Padahal sesuai target, pada 15 November 2024 realisasi fisik pekerjaan harusnya sudah mencapai 70 persen. Sehingga ada defiasi sekitar 40 persen.
Tanda-tanda bakal molornya proyek ini memang sudah terlihat dari awal. Kontrak proyek ini sebetulnya sudah dimulai pada 21 Mei. Tapi pekerjaannya baru dimulai Agustus. “Kemungkinan besar bakal putus kontrak,” ujar Direktur RS Ainun, dr Fitriyanto Rajak pada pertemuan itu.
Anggota Deprov Ghalieb Lahidjun mengeluarkan pernyataan keras menyikapi persoalan ini. Politisi muda Golkar itu menyatakan, masalah yang muncul dalam proyek DAK ini merupakan persoalan yang berulang untuk pembangunan infrastruktur di RS Ainun. Karena sebelumnya RS Ainun sudah dua kali mengalami kegagalan yaitu KPDBU dan pinjaman dana PEN. “Ada invisible hand (intervensi pihak luar.red) yang mengatur-ngatur pihak rumah sakit,” ungkapnya.
Dalam pertemuan itu, pihak direksi rumah sakit terus mengharapkan dukungan dari kalangan Deprov untuk pengembangan rumah sakit menuju tipe B.
Menurut Ghalieb, upaya Deprov untuk membantu pengembangan rumah sakit akan berjalan sia-sia jika campur tangan dari pihak luar itu masih terus berlangsung.
“Orang-orang yang selalu campur tangan itu akan membiarkan pihak rumah sakit ketika ada masalah. Sehingga Direktur dan jajarannya terkesan menjadi tumbal. Makanya campur tangan dari pihak luar ini harus diakhiri,” tegas Sekretaris Komisi IV itu.
Walau tak mengakui dengan lugas soal campur tangan pihak luar direktur RS Ainun, dr. Fitriyanto Rajak pada pertemuan itu mengaku, pihaknya akan selalu dibuat pusing ketika menerima kucuran dana besar untuk proyek fisik pengembangan rumah sakit.
“Mungkin kalau tidak ada pihak-pihak dari luar itu, tidak akan ruwet. Contohnya saja pengelolaan proyek dengan anggaran sedikit yang bersumber dari dana Pokir anggota DPRD. Itu bisa jalan dengan baik. Tidak akan ada masalah,” ujarnya.
“Makanya kalau ada anggaran besar dari pusat untuk rumah sakit lebih baik kami tidak ambil dari pada akhirnya bikin kami pusing, ” tambah Fitriyanto Rajak.
Dalam pertemuan itu, Ketua tim reses, Paris Jusuf menyarankan agar pihak Rumah Sakit dapat bersikap independen dan profesional dalam menyikapi masalah proyek pembangunan gedung rawat inap. “Harus mandiri dalam mengambil keputusan. Saran saya jadilah diri sendiri,” tambahnya.
Anggota Deprov Hais Ayuwa menyarankan agar pihak rumah sakit untuk berani mengambil sikap menyikapi masalah yang ada. Dia menyarankan agar PPK berani mengambil putusan putus kontrak. “Harus punya nyali untuk ambil putusan tegas. Silahkan putus kontrak jangan ragu-ragu,” sarannya.
Sementara Anggota Deprov Fadli Hasan menyarankan agar rumah sakit menemui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta agar anggaran pembangunan gedung rawat inap bisa dikucurkan kembali tahun depan. “Karena kalau berharap proyeknya bisa selesai rasanya sudah mustahil,” tambahnya. (rmb)










