gorontalopost.co.id – CUACA di Kota Gorontalo cukup terik, di layar telepon genggam tertera angka 31 derajat celcius, padahal baru pukul 10.20 wita, Sabtu 5 Oktober 2024. Sebagai daerah yang dekat dengan bentangan garis khatulistiwa, cuaca di Gorontalo kerap diplesetkan, yakni ada dua musim saja, panas dan panas sekali. Mengantisipasi terik yang menusuk, saya sudah persiapkan jaket tebal, sarung tangan, dan helm tutup full face. Dengan motor matik pabrikan Jepang, saya akan menuju wilayah barat Gorontalo, tepatnya di Desa Bangga, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo.
Jaraknya kurang lebih 90 KM dengan waktu tempuh normal 2,5 jam. Di Desa Bangga, saya akan bertemu dengan Takim Patta, nelayan roa di desa itu. Sebelum meluncur, lebih dulu mampir di Pertashop langganan, di Jln.Beringin, Kelurahan Tuladenggi, Kota Gorontalo, dua menit dari tempat tinggal saya saat ini. Pertashop hanya menjual Pertamax, bahan bakar minyak produk Pertamina, yang memiliki Research Octane Number (RON) 92, lebih ramah lingkungan. Dengan tangki full, matik merah yang saya gunakan, siap menjelajah jalur trans sulawesi yang terkenal dengan jalan bekelak-kelok.
Sekira pukul 12.00 wita, saya tiba di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 74.962.31 Desa Parungi, Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo, mampir dulu untuk istirahat sejenak. Usai zuhur, perjalanan kembali dilanjutkan. Dari SPBU Parungi, kurang lebih 40 KM lagi untuk sampai di Desa Bubaa, ibu kota Kecamatan Paguyaman Pantai. Tepat di Jln Trans Sulawesi, Desa Molombulahe, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, ada simpang tiga. Lurus jalur menuju Palu, Sulawesi Tengah, sedangkan belok kiri merupakan jalan menuju Desa Bubaa. Dari simpang tiga Desa Molombulahe ini, jarak ke Desa Bubaa kurang lebih 18 KM. Kondisi jalanya sempit, hanya dengan lebar tiga meter, tapi syukurnya sudah beraspal.
Oleh pemerintah setempat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, satu-satunya akses jalan ke Paguyaman Pantai ini dibikin bagus, beraspal. Dulu, lantaran kondisi jalan tidak layak itu, Paguyaman Pantai punya stigma yang kurang baik. Di masyarakat, ketika mendengar nama Bubaa, Bangga, dan desa-desa di Paguyaman Pantai, maka yang terpikirkan adalah kondisi yang tertinggal, jauh, dan akses yang sulit. Kendati jalan sudah aspal, namun untuk melintasi jalur Paguyaman Pantai butuh ekstra hati-hati. Jalanya berkelok dan menanjak, yang kadang membuat motor matik ngos-ngosan. Pun ketika berpapasan dengan kenderaan roda empat, ada baiknya menepi dan berhenti sejenak. Sebab, jalan yang berada di punggung bukit ini cukup ektrim, karena jurang di sebelah jalan.
Saat saya menuju Paguyaman Pantai, hanya ada tiga kali berpapasan dengan mobil. Dua mobil pikap, satunya memuat jagung, satunya lagi memuat ikan roa kering, dan satu truk berwarna kuning yang juga memuat jagung kering. Memang, di sepanjang mata memandang saat melintasi akses ke Paguyaman Pantai, disuguhkan dengan pemandangan perbukitan yang indah, yang penuh dengan tanaman jagung milik warga. Makin jauh memandang ke arah selatan, terdapat laut lepas teluk tomini yang dibentangi garis khatulistiwa. Sesekali saya berhenti, lalu memotret keindahan alam Gorontalo ini, bukit-bukit nampak kecoklatan karena petani sudah mulai memanen jagung mereka. Di sepanjang jalan, juga terdapat pondok-pondok petani sebagai tempat pengumpulan jagung, raung mesin perontok terdengar jelas saat melintasi pondok-pondok pengumpul jagung yang baru dipanen itu. Para petani menggunakan mesin perontok untuk memisahkan biji jagung dari tongkolnya.
Tak terasa, kurang lebih satu jam saya menghabiskan waktu melintasi akses Paguyaman Pantai ini, cuaca yang terik seakan tak terasa, karena sambil menikmati pemandangan alam sepanjang jalan yang indahnya luar biasa. Saat tiba di Desa Bubaa, langsung disambut tugu TNI Manunggal tepat di simpang empat Polsek Paguyaman Pantai. Suasana sepi pedesaan sangat terasa, tak banyak kenderaan yang lalu lalang di jalan. Saking sepinya, baliho pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah juga nyaris tak ada yang terpasang di sisi-sisi jalan, padahal saat ini sedang musim Pilkada. Masyarakat seakan tak terpengaruh dengan hiruk pikuk pesta demokrasi lima tahunan itu. “Orang-orang sini kalau siang lagi di kebun pak, yang lain ke laut,”ujar Rahmat, pemuda setempat. Rahmat saya hampiri karena menanyakan arah ke Desa Bangga, Kecamatan Paguyaman Pantai.
Nelayan Senang BBM Satu Harga
Kurang lebih 100 meter dari tugu TNI Manunggal itu, terdapat lagi simpang empat. Dari situ belok kanan untuk menuju Desa Bangga, jarakanya kurang lebih 5 KM dari Desa Bubaa. Ternyata, hanya sepelemparan batu setelah belok kanan di simpang empat ke dua itu, terdapat SPBU Kompak yang menjual Pertalite dan Solar, dua jenis BBM yang disubsidi pemerintah.
Saya tertarik dengan SPBU Kompak yang dioperasikan PT. Arba Grup Gorontalo sejak bulan November 2023 ini, bentuknya nampak tradisional. Tangki penampung BBM bukan berada di dalam tanah seperti SPBU pada umumnya, tapi hanya menggunakan drum-drum berkapasitas 200 liter, yang dijejer rapi. SPBU ini juga tidak menggunakan nozzle dan mesin dispenser untuk menyalurkan BBM ke konsumen, dan tidak ada tampilan angka digital secara otomatis yang tertera setiap kali transaksi BBM dilakukan. Semuanya, serba manual. Saya teringat di-era tahun 90-an hingga awal tahun 2000-an, ketika ditugasi ibu saya untuk membeli minyak tanah di kios dekat rumah, minyak tanahnya diukur menggunakan liter menual dari drum-drum berisi minyak tanah yang ada di kios.
Seperti itu pula yang dilakukan Amsel Dama, dan Budiyanto, dua orang petugas SPBU Kompak. Keduanya sudah siap dengan alat takar liter berbagai ukuran, seperti ukuran satu liter, lima liter, dan 10 liter. Kendati manual, namun harganya ternyata sama seperti SPBU-SPBU pada umumnya, yakni Rp 10.000 per liter untuk pertalite, dan Rp 6.800 per liter untuk solar. “Harganya sama, fasilitasnya sama seperti SPBU pada umumnya, kami juga punya toilet dan musala. Sistemnya juga sama, setiap yang beli BBM kami belakukan barcode untuk mendata konsumsi BBM tepat sasaran,”kata Yazid Djibran, seorang anak muda, yang merupakan pengawas SPBU Kompak. Begitu pun dengan warga yang datang membeli BBM menggunakan jeriken, tetap dilayani, tapi harus menunjukan rekomendasi dari instansi teknis pemerintah daerah. “Misalnya nelayan, di sini (Paguyaman Pantai) kan, banyak nelayan. Mereka harus bisa menunjukan surat rekomendasi dari dinas perikanan, kalau petani untuk mesin perontok atau traktor, menunjukan surat rekomendasi Dinas Pertanian,”ujarnya. Rekomendasi itu penting, karena untuk memastikan BBM subsidi itu tepat sasaran, dan tidak disalahgunakan.
Yazid Djibran menyebut, dalam sehari konsumsi BBM yang disalurkan SPBU Kompak Desa Bubaa mencapai 800-1000 liter per hari untuk masing-masing jenis BBM. BBM dipasok menggunakan mobil tangki kapasitas 5000 liter. “Nggak sampai seminggu biasanya sudah ada pasokan lagi, “katanya. Untuk takaran, lanjut Yazid, tak perlu khawatir, sebab takaran BBM yang dijual sama dengan yang menggunakan nozzle. “Bedanya, ya karena ini SPBU Kompak, kita masih menggunakan literan biasa, BBM juga masih ditampung di drum. Tapi kedepan ini akan dikembangkan,”ujar Yazid Djibran, sambil menatap ke Arah Amsel dan Budiyanto, dua petugas SPBU yang sedang melayani kosumen. Nampak konsumen itu membawa jeriken berbagai ukuran. Namanya Anton, nelayan di Desa Bangga. Ia ternyata adalah bagian dari kelompok nelayan bersama Takim Patta yang hendak saya temui di Desa Bangga. Hari itu, Anton memang ditugasi untuk membeli Pertalite di SPBU Kompak untuk persiapan melaut menangkap ikan roa. Sebelum dilayani, Anton memperlihatkan selembar kertas ke Amsel dan Budiyanto. Kertas itu adalah adalah rekomendasi Dinas Perikananan dan Kelautan Kabupaten Boalemo. Saat itu, Anton membeli 30 liter Pertalite. “Ini sudah mau turun (melaut). Semua sudah siap di dermaga, tinggal tunggu minyak (Pertalite),”katanya.
Saya pun mengikuti Anton menuju Desa Bangga, tepatnya di dermaga nelayan. Disitu, Takim dan beberapa nelayan sudah hendak melaut. Sekali melaut, mereka berkelompok yang biasanya mencapai 10-12 orang. Untuk mencari ikan roa, mereka memang harus turun ke laut siang hari, sekira pukul 14.00 wita. Itu pun setelah ada laporan dari tim awal yang melakukan pemantauan. “Jadi ada dulu yang turun (ke laut), lihat, kalau ada ikan yang lompat-lompat, baru kami persiapan turun,”ujar Takim. “Lima sampai enam jam saja kami di lau,”katanya. Kawasan laut Paguyaman Pantai memang terkenal menjadi penghasil roa di Gorontalo. Bahkan, nelayan di Desa Bangga sebagian besar adalah nelayan roa. Ikan roa (hemiramphus brasiliensis) merupakan jenis ikan seperti julung-julung, dan menjadi kesukaan masyarakat Gorontalo. Setelah ditangkap, ikan roa diasapi, dengan cara di-packing terlebih dahulu menggunakan potongan bambu kecil. Cara ini oleh masyarakat setempat disebut roa gepe, dalam satu packing atau satu roa gepe, terdapat 20 ekor ikan roa. Kemudian diasapi, tujuanya agar dapat tahan lama. Roa memiliki cita rasa khas, dan merupakan produk pangan yang mudah ditemukan di pasar-pasar tradisional bahkan super market di Gorontalo. Produk roa, tak lagi hanya dalam bentuk ikan asap utuh, tapi ada yang sudah diolah, dalam bentuk abon, sambal, atau ikan roa setengah jadi, yakni yang sudah dibersihkan, sehingga konsumen tinggal memasaknya. Produk-produk turunan ikan roa itu oleh beberapa Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dikemas menarik, dan dijual di minimarket atau supermarket. Bahkan, menjadi oleh-oleh khas Gorontalo.
Takkim Patta, ingat betul saat ajang Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan (Penas KTNA) XI yang berlangsung di Tondano, Sulawesi Utara tahun 2004 lalu. Ia diminta Bupati Boalemo saat itu, Iwan Bokings, agar membawa ikan roa ke Tondano. “Kurang lebih 900 kg, saya bawa roa. Wah itu laris sekali, nggak sampai satu hari habis dibeli. Ternyata sudah dikenal roa Paguyaman Pantai,”ungkapnya. Puluhan tahun menjadi nelayan roa, membuat Takkim paham betul bagaimana cara menangkap dan waktu yang tepat untuk melaut. “Tapi biasanya, kendati ikanya ada, cuaca bagus, kita tidak turun (ke laut). Karena untuk turun itu butuh bensin pak. Mesin tempel itu butuh 30 liter sekali melaut,”katanya.
Hasil ikan roa yang tidak sebarapa, belum lagi harga ikan roa yang tidak pernah naik dalam beberapa tahun terakhir, membuat ia dan nelayan roa di Desa Bangga kerap parkir perahu karena keterbatasan ongkos BBM. “Alhamdulillah sekarang sudah ada SPBU Kompak, harganya Rp 10.000 per liter,”katanyanya. Sebelum ada SPBU Kompak, untuk melaut mereka harus patungan untuk membeli BBM yang harganya mencapai Rp 13.000 per liter di kios-kios yang menjual bensin eceran. “Bahkan kalau ada longsor atau jalan putus, harganya bisa sampai Rp 15.000 per liter. Sekarang 30 liter itu Rp 300.000, selisihnya bisa Rp 90.000 sampai Rp 150.000,”ujarnya.
Makanya, kata Takim, ia dan nelayan yang ada di Desa Bangga, begitu senang ketika BBM satu harga sudah ada di wilayah mereka. “Selisih Rp 90.000 itu berharga sekali pak, untung kalau ikanya banyak, bisa menutupi ongkos bensin,”katanya. Sekali melaut menangkap roa, Takim dan kelompoknya yang berjumlah 10-12 orang itu, membagi rata hasil tangkapan, kecuali untuk yang punya perahu atau yang memodali beli bensin mendapat bagian yang lebih besar. Takim menyebut, dengan harga BBM yang wajar itu, mereka bisa kapan saja turun melaut, kendalanya hanya kondisi cuaca dan keberadaan ikan roa di laut. “Tidak khawatir lagi untuk beli bensin,”ungkapnya.
Bahkan, lantaran sudah bisa menghemat ongkos BBM melaut, Takim mengku sudah bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Anak keduanya, kini sedang berkuliah di Universitas Negeri Gorontalo. “Alhamdulillah, baru masuk tahun ini, yang (anak) pertama hanya di rumah saja bantu-bantu orang tua. Yang ketiga, sudah kelas dua SMP,”katanya. “Ya, kalau sebulan saya lima kali turun melaut, bisa hemat Rp 500.000 dari beli bensin. Itu sudah harga sewa kontrakan (kamar kost) sebulan anak saya di kota,”tambah Takim sambil tertawa kecil. Hasil tangkapan roa, kata Takim tidak pasti, kadang banyak, kadang sedikit, bahkan kadang hanya untuk konsumsi dalam rumah. Jika hasil tangkapan melimpah, ia bisa menjualnya dengan harga Rp 30 ribu per 20 ekor roa asap, atau satu roa gepe. “Kadang bisa sampai 20 gepe roa, ada juga yang lebih, kalau beruntung,”ujarnya. Roa yang sudah diasapi, akan diborong para pengumpul, lalu dipasarkan hingga ke Kota Gorontalo bahkan Manado. Di Kota Gorontalo harga satu roa gepe, dibanderol Rp 40.000 sampai Rp 45.000. “Kami senang pak, harga bensin di sini sama seperti di kota. Sama seperti yang ada di Pertamina (SPBU) Parungi, Rp 10.000 per liter. Yang penting ada rekomendasi, bisa beli bensin murah di SPBU Kompak. Mengurus rekomendasi cepat sekali, tidak sampai lima menit di kabupaten,”ujarnya, sambil persiapan menuju perahu untuk segera melaut.
Kota Roa di Desa Bangga
Camat Paguyaman Pantai Steve Dj. Ahaliki, S.STP, Sabtu (19/10), mengatakan, sebagai daerah pesisir, penghasilan masyarakat Paguyaman Pantai adalah mayoritas nelayan dan petani jagung. “Di Desa Bangga itu sekitar 80 persen penduduknya adalah nelayan, dan sebagian besar adalah nelayan roa,”ujarnya. Kedepan, untuk lebih menggeliatkan pertumbuhan ekonomi Paguyaman Pantai, dari sektor perikanan, pihaknya telah memprogramkan Rumah Produksi khusus roa di Desa Bangga. “Selama ini roa hanya ditangkap, diasap, packing, lalu kirim. Kedepan bukan hanya seperti itu, tapi sudah ada rumah produksinya. Bisa langsung buat produk turunan, seperti abon dan sambal,”terangnya. “Kalau di Bitung (Sulawesi Utara) dikenal dengan Kota Cakalang, kami akan dorong Boalemo sebagai Kota Roa, dan itu ada di Desa Bangga,”tambah Camat Steve.
Sebagai wilayah nelayan, lanjut Camat Steve, kebutuhan mereka adalah BBM untuk melaut. “Ya, syukurnya di sini (Paguyaman Pantai) sudah ada SPBU, harganya sama seperti di kota. Warga saya senang, apalagi nelayan, karena mereka beli bensin lebih murah. SPBU Kompak ini, mambawa Paguyaman Pantai seperti di kota untuk harga BBMnya”ungkap Camat. Ia mengaku, dampak besar dari hadirnya SPBU kompak di wilayahnya, para pengguna kenderaan tak lagi kesulitan mendapat BBM, begitu pun dengan nelayan mereka terbantu dengan BBM satu harga. “Kami terus dorong para kepala desa untuk membantu masyarakat mengurus surat rekomendasi agar bisa beli BBM subsidi ini, rekomendasi itu tidak dipungut biaya. Karena ini BBM subsidi, peruntukanya juga harus jelas,”kata Camat.
Ia sangat optimis, keberadaan SPBU Kompak, mampu menggerek percepatan pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Kata dia, perlahan Paguayaman Pantai mulai keluar dari stigma masyarakat tentang daerah tertinggal, jauh, dan akses yang sulit. “Kebutuhan masyarakat satu persatu terpenuhi, jalan sudah bagus, minimarket sudah hadir, sinyal seluler lancar, dan kini Paguyaman Pantai punya SPBU yang harganya sama seperti yang di kota,”ujar Camat Steve. Memang kata dia, secara angka pertumbuhan ekonomi Paguyaman Pantai belum dirilis oleh Badan Pusat Statistik. Namun begitu, ia sangat yakin keberadaan SPBU Kompak mampu mendongkrak percepatan pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. “Saya lihat distribusi BBM di SPBU Kompak itu lancar sekali, dan geliat-geliat ekonomi itu lancar, transportasi barang yang keluar masuk Paguyaman Pantai lancar. Yang paling penting, nelayan dan masyarakat saya tidak kesusahan mendapatkan BBM, mereka pasti melaut kalu BBM murah dan tersedia,”terangnya.
Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Happy Wulansari, saat Media Gathering Jurnalis Sulawesi yang digelar PT Pertamina Patra Niaga Sulawesi, di Hotel Grand Keisha, Yogyakarta, Rabu, 23 Oktober 2024, mengatakan, distribusi BBM satu harga ke seluruh wilayah merupakan komitmen Pertamina untuk percepatan pertumbuhan ekonomi masyarakat, termasuk yang ada di pelosok-pelosok negeri. “Subsidi tepat merupakan bagian dari percepatan yang dilakukan Pertamina. Dan sebagai operator, kami harus mencatat, sehingga penggunaan BBM subsidi tepat, dan semuanya terdata,”katanya dalam acara yang turut dihadiri jurnalis Gorontalo Post.
Hal yang sama disampaikan Senior Supervisor Communication & Relation, PT. Pertamina Patra Niaga Sulawesi, Romi Bahtiar. Ia mengatakan, salah satu percepatan distribusi BBM satu harga yang dilakukan Pertamina adalah dengan SPBU Kompak seperti yang ada di Desa Bubaa, Kecamatan Paguyaman Pantai. Di Gorontalo, sejak tahun 2017 telah ada lima SPBU Kompak yang menjual BBM subsidi. “Komitmen Pertamina untuk memastikan harga BBM yang sama juga berlaku dan dinikmati masyarakat di pelosok, dengan cara menghadirkan SPBU Kompak. Kehadiran SPBU Kompak itu sudah sesuai dengan regulasi, yakni UU Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi,”jelasnya. Terkait kondisi SPBU Kompak yang serba manual, ia menyebut hal itu tidak mengurangi fungsi SPBU dalam mendistribusikan BBM.
Pihaknya telah memperhitungkan dampak maupun tingkat keamanannya. Perusahaan yang mengoperasikan SPBU Kompak bisa saja menyediakan nozzle dan mesin dispenser untuk penyaluran BBM, namun hal itu kembali ke investasi perusahaan, sebab SPBU Kompak letaknya pasti di pelosok. “Hitung-hitungan bisnis sebenarnya kurang menguntungkan. Tapi inilah bentuk komitmen Pemerintah dan Pertamina, untuk memberikan keadilan dengan menjamin ketersediaan BBM satu harga sampai ke pelosok, menjamin petani dan nelayan tetap tersenyum karena tidak kesulitan mendapatkan BBM, dan harga yang sama seperti di kota,”tandas Romi Bachtiar. (tro)
Comment