Gorontalopost.co.id, GORONTALO – Keputusan pihak sekolah untuk mengeluarkan siswi yang terlibat kasus dugaan video syur bersama oknum guru, mendapatkan penolakan dari Jejaring Aktivis Perempuan dan Anak (Jejak Puan) Provinsi Gorontalo. Pasalnya, apapun motif dan modusnya, peristiwa tersebut adalah kekerasan seksual dan anak adalah korban.
Direktur Lembaga Riset, Hukum dan Gender (Leaders) Gorontalo, DR. Hijrah Lahaling, S.H, M.H mengatakan, sebelumnya kepala sekolah menyampaikan bahwa akan membantu anak tersebut untuk mencari sekolah yang lain.
Yang jadi pertanyaan, apakah sekolah baru bisa menerima korban ini? Harusnya pihak sekolah tetap mempertahankan korban untuk dapat bersekolah seperti biasa di sekolahnya saat ini.
Bisa dengan berbagai macam cara, apakah lewat daring atau diberikan tugas sekolah agar dapat dikerjakan di rumah. Pada dasarnya, perlu dilakukan berbagai upaya, tanpa harus mengeluarkan anak tersebut, apalagi anak ini adalah anak yang berprestasi.
“Saat ini mental dan hak anak yang harusnya menjadi perhatian, khususnya kepentingan anak untuk mendapatkan pendidikan. Apalagi saat ini, anak tersebut akan segera lulus,” ungkapnya saat konferensi pers, Sabtu Malam (28/9/2024).
Hal senada disampaikan pula oleh Direktur Woman Institute for Research and Empowerment of Gorontalo (Wire-G), Kusmawaty Matara, MA. Dirinya menilai bahwa kepala sekolah terlalu buru-buru dalam mengambil keputusan untuk mengeluarkan siswi tersebut.
“Yang kami pertanyakan apakah ini sudah melalui investigasi atau rapat internal pihak sekolah, dan seharusnya keputusan itu harus berpihak pada kepentingan anak. Saya pun menilai, terkait dengan persoalan ini, pihak sekolah tidak optimal dalam menangani hubungan asmara guru dan siswa, sehingga hubungan keduannya masih terus berlanjut,” terangnya.
Selain itu, sikap pihak sekolah yang mengeluarkan siswi yang terlibat video syur dengan guru itu juga, mendapat perhatian khusus dari Ketua Bidang Riset Sahabat Anak, Perempuan, dan Keluarga (Salam Puan), Novi R. Usu, MA.
Menurutnya, alasan pihak sekolah mengeluarkan siswi dari sekolah karena mempertimbangkan keadaan anak, itu tidak berpihak kepada siswi itu sendiri. Apakah pihak sekolah menjamin keadaan anak tersebut akan baik-baik saja saat di sekolah yang baru?
Sebaliknya, yang dikhawatirkan anak ini akan lebih tertekan di sekolah yang baru. “Meski alasan sekolah mempertimbangkan keadaannya, tapi menurut saya keputusan sekolah itu tidak berpihak kepada anak itu,” tegas Novi R. Usu.
Dalam konferensi pers itu pula, ada tujuh poin yang dinyatakan oleh Jejak Puan. Diantaranya, mengecam adanya perekaman dan penyebaran konten intim yang telah melibatkan salah satu pelajar dan oknum guru dan kini telah beredar secara luas di media sosial, mendesak aparat penegak hukum melakukan penanganan secara komprenhensif dan berprespektif korban dan anak, menolak keputusan institusi pendidikan yang mengeluarkan korban dari sekolah.
Apapun motif dan modusnya, peristiwa tersebut adalah kekerasan seksual dan anak adalah korban. Selain itu, mengajak publik berempati untuk tidak menyebarkan video maupun foto kekerasan seksual melalui media sosial, karena akan merusak mental anak.
Menghimbau kepada seluruh insan pers/media untuk dapa melakukan pemberitaan yang objektif dan sesuai fakta dengan tetap menghormati privasi dan kepentingan korban.
Mengajak semua pihak untuk melakukan upaya pencegahan melalui kampanye perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan seksual secara masif, dan terus menerus, baik oleh pemerintah, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, masyarakat, media, pelaku usaha, komunitas dan seluruh masyarakat.
Dan mendesak aparat hukum untuk menindak pelaku penyebaran video, foto konten intim yang telah melibatkan salah satu pelajar dan oknum guru yang telah beredar secara luas di media sosial. (Tr-76)
Comment