Gorontalopost.co.id, GORONTALO – Para wakil rakyat harus berhati-hati dalam pengelolaan dana pokok-pokok pikiran (Pokir). Pasalnya dalam pengamatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengelolaan dana Pokir menjadi salah satu titik kerawan korupsi di DPRD.
Ini mencuat dalam kegiatan orientasi anggota Deprov Gorontalo yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Jakarta, kemarin (26/9).
Pada kegiatan orientasi kemarin, Kemendagri menghadirkan pemateri dari KPK. Mengangkat tema pengelolaan Pokir yang akuntabel. Yang memberikan materi itu yakni, jaksa penuntut umum bidang koordinasi dan supervisi wilayah III, Kedeputian bidang koordinasi dan supervisi KPK, Mohammad Nur Azis, SH. MH.
Mohammad Nur Azis menguraikan, kerawan korupsi Pokir terjadi karena empat aspek. Pertama sisi kepatuhan dan transparansi. Permasalahan yang muncul karena pengajuan pokir di luar batas waktu yang ditentukan. Indikasinya pokir tidak sesuai dengan RKPD dan RPJMD. Kemudian masih ada perubahan Pokir setelah KUA-PPAS.
Persoalan ini membuat Pokir tidak terencana dengan baik. Kemudian terjadi markup anggaran. Bahkan proyek ditentukan oleh calon penyedia. Dan calon penyedia itu memiliki hubungan kekerabatan dengan anggota DPRD.
“Disinilah kerawanan korupsinya,” ujar Muhammad. Ini bisa dicegah dengan kepatuhan penyampaian Pokir minimal tujuh hari sebelum Musrenbang dilaksanakan. Kemudian Pokir disampaikan melalui sistem atau aplikasi.
Aspek kedua pada sisi akuntabilitas. Persoalan yang muncul yaitu Pokir tidak dilengkapi dengan rincian walaupun ada besaran anggaran. Kemudian Pokir dikerjakan oleh pengusul bukan oleh PA/KPA.
Kerawanan korupsi pada sisi akuntabilitas ini sambung Muhammad membuat anggaran Pokir menjadi gelondongan. Kemudian terjadi markup harga satuan. Lalu terjadi suap dan gratifikasi serta muncul benturan kepentingan.
“Untuk mencegahnya maka verfikasi harus dilakukan oleh TAPD, review oleh inspektorat sebelum pelaksanaan kegiatan serta membuka pengaduan masyarakat untuk menjaring keluhan masyarakat,” ujarnya.
Di hadapan anggota Deprov, Muhammad juga menguraikan praktek korupsi yang terjadi di sejumlah daerah terkait pengelolaan dana Pokir tersebut.
Adanya sistem jatah anggaran Pokir untuk setiap anggota DPRD membuat anggota DPRD langsung meminta fee atas pelaksanaan pekerjaan Pokir yang ia aspirasikan.
“Misalnya anggaran Pokir untuk satu anggota DPRD Rp 2 miliar. Anggota DPRD sudah pakai sistem ijon. Dia sudah langsung minta fee 20 persen dari pelaksanaan pokir itu,” ungkapnya.
Menanggapi paparan ini, anggota Deprov dari PAN, Femmy Udoki menyatakan, materi yang disampaikan oleh KPK sangat menarik. Karena memberi warning bagi para anggota DPRD soal pengelolaan pokir. “Sayang waktunya sangat singkat,” ujarnya.
Dia menambahkan, paparan dari KPK ini sekaligus memberi peringatan bagi anggota DPRD untuk menaati rambu-rambu yang telah ada. Terutama terkait dengan Pokir.
Menurut Femmy, KPK melihat pengalokasian anggaran untuk pokir bagi anggota DPRD tidak salah. Karena itu menjadi hak anggota DPRD dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
Yang salah itu kalau pokir tidak dijadikan sebagai alat untuk memperjuangkan aspirasi yang sesungguhnya. Tapi hanya memperjuangkan nilai. “Yang salah itu, ketika yang disekati dari awal hanyalah nilai bukan program,” ujarnya.
Tapi menurutnya, tak semua DPRD di Indonesia memiliki alokasi anggaran Pokir. DPRD Provinsi Kalimantan Selatan menjadi salah satu DPRD yang tak memilikinya. “Gorontalo harus bersyukur karena ada Pokir. Dibandingkan Kalsel yang tidak ada Pokir,” pungkasnya. (rmb)











Discussion about this post