Oleh:
Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
TERKESAN, baliho begitu banyak se-enaknya saja di pasang di mana-mana! Ini gejala apa? Krisis diri atau institusi yang obsesif dari periode ke periode? Atau, karena hendak menebarkan tradisi boros uang di mana-mana…
Menurut KBBI (2024), baliho adalah “publikasi yang berlebih-lebihan ukurannya agar menarik perhatian masyarakat (biasanya dengan gambar yang besar di tempat-tempat ramai)”. Meski tak begitu sepenuhnya terang apa yang dimaksud “berlebihan” menurut kamus Bahasa Indonesia kita ini, tetapi kita sudah punya pengertian sendiri tentangnya.
Sejak Pemilu 2004, gempuran baliho di ruang publik semakin meluas. Anggaran untuk baliho dan publikasi demikian membesar –-dan bisa jadi tak terkontrol benar– di banyak institusi.
Pejabat-pejabat publik kita juga sepertinya semakin asyik dengan “propaganda” di ruang publik.
Apakah ini sehat dan mencerdaskan kemajuan kita? Mari kita percakapkan!
Bisa jadi, baliho yang melebar ke mana-mana itu adalah pertanda bahwa negeri kita tengah dipimpin, atau hendak dikuasai nalarnya, oleh mereka yang hobi “puji-diri” dan diam-diam mengalami krisis aktualisasi diri karena kerja-karyanya tak begitu handal “diuji/terbukti” di alam nyata, secara terbuka dan jujur.
Mereka berharap mobilisasi perhatian, dukungan, kesan-kesan, dan penggalangan luas bisa berdampak (bagi) posisi dan perannya. Di sisi lain, bisa jadi pula tingkat kecermatan dan sikap-sadar publik kita belum berkembang memadai indeks kritis-nya sehingga harus digempur oleh “tekanan visual” dan “kata-kata besar” oleh mereka yang merasa “besar” (dilihat) di baliho, flyer, dst dan merasa “berhak” (didengar/ditonton) di media, dst.
Otoritas (pengawas dan pemeriksa) keuangan negara sudah seharusnya memberi perhatian kepada proporsi anggaran publik yang dipakai secara berlebihan untuk kepentingan publikasi, sosialisasi, dst. Ini berlaku kepada lembaga publik yang menggunakan sumberdaya negara.
Baliho yang berlebihan (ukuran, penempatan, frekuensi, dst) adalah penanda pemborosan uang publik secara sepihak. Tak begitu jelas di mana kepentingan publik dan yang mana kepentingan pribadi di sana!
Karena hampir semuanya tampak berpusat kepada “Sang Aku!”
Mekanisme, frekuensi, penempatan lokasional, dan parameter manfaat baliho sangat kabur: di mana sosialisasi, yang mana kampanye diri-sendiri (karena jabatan dan citra diri), dan yang mana demi “mendidik publik” untuk satu tema besar dan demi kepentingan bersama. Tak jelas seluruhnya!
Anggaran publik dengan mudah terkerahkan dan dieksploitasi sedemikian rupa untuk baliho yang berpusat kepada individu, Sang Aku!
Baliho! Itulah kata yang saya pulung hari-hari ini dan kini membawanya kembali sebagai bahan obrolan yang lebih terang dan jernih oleh kita semua. Saya tanya kepada staf khusus saya, rupanya harga baliho dan pemasangannya di ruang publik lumayan mahal: puluhan juta, dst. Saya juga tanya siapa saja yang boleh dipasang di tempat itu? Kata dia, siapa saja, tergantung agen-agen baliho, lokasi yang dipilih, durasinya, proses izin, dst. Wah, tak sederhana juga rupanya. Tapi, intinya, harganya mahal: jutaan atau puluhan juta rupiah.
Ruang publik, etika publik dan edukasi publik adalah pranata penting untuk demokrasi modern. Melalui itulah kontrol kuasa dan hak-hak bagi keadilan yang memajukan dipertaruhkan. Apa yang disebut dengan “keluhuran nilai” publik, sebagai akibat langsung dari prinsip Re-Publik dalam ber-Indonesia menjadi jelas fondasinya.
Publik yang cerdas dan tokoh-tokoh yang memihak kepada sandaran pengetahuan yang valid dan yang membangun ruang edukasi adalah harapan kita bersama. Sayangnya, distorsi-distorsi di ruang publik semakin terkesan menjauh dari kontrol.
Bagaimana di Gorontalo?
Dalam salah satu kunjungan resminya di Gorontalo, Mendagri M. Tito Karnavian pernah “menjewer” provinsi ini melalui fakta-fakta “ekonomi Gorontalo” yang sebenarnya. Bahwa kekuatan ekonomi, kapasitas institusi, dan daya produktif daerah kita ini belum jauh beranjak. Baliho tak mampu menjawab fakta itu!
Ayo, mari kita obrolkan lebih jauh dan membumi.***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Alumnus Program Leadership, Univ. of Birmingham, U.K.
Surel: basriamin@gmail.com










Discussion about this post