gorontalopost.id – Aksi masyarakat penambang di Pohuwato yang berakhir anarkis pada Kamis (21/9) pekan lalu, dengan membakar kantor Bupati Pohuwato, menjadi puncak kekesalan mereka, terhadap penguasaan lahan tambang yang selama ini mereka kelola secara tradisional, oleh perusahaan Pani Gold Project dari grup Merdeka Copper Gold yang bermarkas di Jakarta.
Pengelolaan kawasan tambang emas itu sudah turun temurun dilakukan, dengan status pertambangan emas tanpa izin (peti). Label tanpa izin itu, yang kadang membuat mereka kesulitan memproduksi emas secara tradisional. Kadang memang harus kucing-kucingan dengan aparat. Belakangan masyarakat penambang makin terjepit, bukan hanya tak boleh lagi menggarap lokasi tambang karena telah berada di kawasan lahan penguasaan perusahaan, tapi hasil tambang berupa kepingan emas, tidak lagi laku dijual.
Sebab, toko-toko emas yang biasanya menjadi langganan mereka, tidak berani lagi membeli hasil emas warga yang didulang dari kawasan peti. Jika tidak berurusan dengan hukum. Para penambang kemudian menyebut, ada intimidasi terhadap toko-toko emas di Pohuwato. Poin ini yang kemudian akan menjadi tututan mereka pada aksi lanjutan yang direncanakan berlangsung Selasa (26/9), di Kota Marisa. “Jangan intimidasi toko emas yang ada di Kabupaten Pohuwato,”bunyi poin 6 tuntan masa aksi Gerakan Aliansi Lingkar Tambang 30/S Pohuwato, dengan jenderal lapangan Uten Umar.
Sebelum memuncak pada 21 September pekan lalu, massa aksi juga lebih dulu melakukan unjuk rasa di DPRD Pohuwato pada 14 September, atau sepekan sebelum aksi brutal massa yang melakukan perusakan dan pembakaran fasilitas publik itu. Di DPRD Pohuwato, massa melakukan dialog dengan Ketua DPRD Nasir Giasi dengan sejumlah anggota dewan.
Pertemuan itu berlangsung tegang. Samsudin, perwakilan massa aksi, meminta kejelasan kepada DPRD terkait status lahan tambang mereka yang kabarnya akan ada ganti rugi perusahaan, tapi ‘judulnya’ tidak jelas, apakah hibah, ganti rugi, tali asih, atau ganti profesi. Belakangan kata Samsudin, muncul kabar akan ada pembayaran lahan tamabang mereka, yang menurutnya tidak sesuai dengan harapan. “Harap-harap gajah yang ada tikus,”katanya.
Proses pembayaran itu kata dia yang harus diperjelas, pihak DPRD sebagai bagian dari Forkopimda dan Satgas yang menjadi perpanjangan masyarakat penambang dengan pihak perusahaan, harusnya membela hak-hak penambang yang juga masyarakat Pohuwato. “Ini tempat hajat hidup mereka, tiba-tiba diambil oleh perusahaan dijadikan kegiatan usaha, lalu ketika mereka menuntut datang tidak boleh apalagi mau mengambil haknya. Janjinya apa ?, akan dibayar.
Dibayar ini yang kami tanya. Di-beli mereka kah, hibah, harus jelas,”kata Syamsudin. Jangan kata Syamsudin tiba-tiba muncul angka yang mereka tidak bisa terima karena terlalu kecil. Ketua DPRD Nasir Giasi mengatakan, jika kembali proses ganti rugi lahan, makan prosesnya akan lama, sebab ada mekanisme hukum yang harus dijalakan, seperti harus dilengkapi dengan sertifikat kepemilikan lahan, hingga dibentuk tim apraisel. Upaya mereka menjembatani keinginan penambang dengan sistem tali asih, menurut dia sudah yang terbaik. Tali asih ini yang kemudian diprotes habis-habisan oleh massa.
Karena angkanya tak sesuai dengan proposal ganti profesi yang mereka ajukan. Angka pada proposal bervariasi sesuai luasan lokasi yang dimiliki penambang. Misalnya, Hadijah Banggoi, ia mengaku memiliki lokasi seluas 40×182 meter persegi, lokasi itu sudah dilengkapi dengan surat pernyataan yang tervalidasi. Menurut Hadijah, pada proposal yang diajukan lokasinya itu senilai Rp 1 Miliar. “Tidak, tidak bisa,”kata Hadijah, ketika menjawab pertanyataan terkait pembayaran tali asih dibawah angka proposal itu. Proposal diajukan penambang sesuai titik lokasi tambang, jumlahnya mencapai 2.135 titik lokasi.
MENGANDUNG 6,63 Juta ounces Emas

Kandungan emas di kawasan gunung pani, memang bikin silau. Diperkirakan mencapai 6,63 juta ouns emas. Tak heran kawasan ini menjadi rebutan sejak era Belanda. Dari catatan sejarah, yang dihimpun Gorontalo Post, tambang emas gunung Pani Pohuwato, telah ada sejak tahun 1898. Masyarakat lokal kala itu, harus berebut dengan Belanda, dan jelas saja Belanda yang kemudian menguasainya. Sebuah perusahaan pertambangan yang bernama “Exploratie Syndicaat Pagoeat” menguasai blok tambang di 2 (dua) lokasi, yakni Bumbulan(Gunung Pani) dan Molosifat (Popayato Serumpun). Oleh “Exploratie Syndicaat Pagoeat”, perusahaan dibawah payung oraganisasi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda. Kala itu, metode pertambangan di Pohuwato sudah dikelola secara modern, berdasarkan teknologi pertambangan saat itu dengan mempekerjakan masyarakat lokal.
Tambang Pohuwato pun telah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat di wilayah Pohuwato sejak saat itu. Bahkan salah satu bukti keberadaan tambang Pohuwato sudah ada sejak zaman kolonial yakni salah satu Isi peraturan Pemerintah Kolonial Belanda bahwa penguasa di Pagoeat (Pohuwato) wajib membayar upeti berupa emas kepada penguasa Belanda melalui Controleur, Jogugu dan Marsaoleh yang ditunjuk oleh pemerintahan Belanda.
Setelah Belanda, area tambang akhirnya diteruskan oleh masyarakat lokal sehingga terbentuk perkampungan disekitar lokasi yang diantaranya adalah Desa Hulawa, dalam bahasa Gorontalo, Hulawa berarti emas. Gunung Pani yang diprediksi mengandung emas mencapai 6,6 juta ouns itu, berada di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, dan Desa Karya Baru di Kecamatan Dengilo.
Di tahun 1970an, masyarakat penambang membentuk KUD Dharma Tani Marisa. Kawasan Gungun Pani menjadi buruan investor dimana wilayah ini jadi sasaran eksplorasi sejumlah perusahaan baik dalam maupu luar negeri. Mulai dari Tropic Endeavour, Newscrest hingga BUMN Aneka Tambang.
Pada perjalananya, KUD Dharma Tani selaku pemilik ijin pertambangan atas lahan 100 Ha menjalin kerjasama dengan One Asia Resources (OAR) yang kemudian berhenti, dan menggandeng PT Puncak Emas Gorontalo (PEG) untuk mengelola tambangnya. Proyek ini diberi nama Proyek Emas Pani (Pani Gold Project) yang dikelola bersama beberapa perusahaan lainya dibawah naungan PT Merdeka Copper Gold.
Nasib masyarakat penambang yang mengelola lahan itu degan label ‘Peti’ pun kian tak pasti, seiring masifnya Pani Gold Project (PGP) mengelola kawasan itu. Belakangan, masyarakat penambang akan dipindahkan demi perusahaan yang telah memiliki izin wilayah konsesi. Alih-alih ingin memberikan kompensasi kepada masyarakat, justru mendapat penolakan lantaran tak adanya kepastian pembayaran hingga berujung pada demo anarkis yang mengkibatkan gedung perkantoran rusak para dan pembakaran kantor Bupati Pohuwato, Kamis (21/9).
Sejak 2022 lalu, Proyek Emas Pani ini mulai melakukan sejumlah upaya musyawarah dengan masyarakat penambang lokal agar tidak lagi melakukan aktifitas pertambangan diwilayah konsesi perusahaan. Permintaan itu pun disetujui sebagian masyarakat dengan syarat. Masyarakat meminta bantuan modal usaha bagi para penambang yang oleh perusahaan harus dibuatkan proposal oleh masing-masing pemilik lahan.
Satgas pun dibentuk guna melakukan verifikasi proposal yang diajukan masyarakat. Setelahnya, hasil kerja Satgas pun kemudian diserahkan ke Forkopimda Pohuwato yang kemudian akan diserahkan langsung ke perusahaan dengan harapan pembayaran akan segera dilakukan.
Panjang tahapan pencairan proposal pun tak kunjung direalisasikan. Masyarakat yang mulai putus asa terus menerus mempertanyakan perihal janji perusahaan. Demo berjilid-jilid jadi jalan masyarakat penambang untuk mempresure kepastian kapan pembayaran dilakukan hingga akhirnya aksi unjuk rasa yang berujung anarkis itu pun pecah. Masa yang lebih dari 1000 orang itu mengamuk, hingga menyebabkan kantor Pani Gold Project, KUD Dharma Tani, DPRD dan Rumah Dinas Bupati rusak parah, sementara Kantor Bupati Pohuwato hangus tak bersisa. (ryn/tro)











Discussion about this post