JAKARTA – GP – Majelis hakim pengadilan negeri (PN) Jakarta Pusat, bikin kejutan, dengan mengabulkan gugatan yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur atau Partai Prima, terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Inti putusanya, adalah penundaan Pemilu yang sudah direncanakan matang digelar pada 2024 mendatang. “Untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan dan 7 (tujuh) hari sejak putusan ini dibacakan dan kemudian melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal untuk selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan dan 7 (tujuh) hari,”bunyi putusan tersebut.
Kalau mengikuti putusan itu, tahapan pemilu baru bisa digelar pada tahun 2025 mendatang. Atas keputusan PN Jakarta Pusat tersebut, KPU menyatakan menolak, dan akan mengajukan banding. Tak hanya itu, kritik terhadap keputusan PN Jakarta Pusat tersebut, juga disuarakan oleh berbagai pihak. Misalnya, oleh Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung, dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto.
Penundaan Pemilu tidak bisa dilakukan kecuali ada kondisi darurat, hal itu telah diatur dalam Undang-undang nomor tujuh tajun 2017 tentang Pemilu. Secara spesifik, termaktub dalam pasal 431 sampai 433 UU 7/2017. Dalam Pasal 431 ayat (1) UU 7/2017, disebutkan “Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan; bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan”.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Puadi menyatakan, bahwa penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 tidak mungkin dilakukan hanya berdasarkan pada amar putusan pengadilan negeri. “Saya pribadi berpandangan putusan PN Jakpus yang lagi ramai diperbincangkan publik saat ini patut dihargai, namun tetap dengan catatan. Penundaan pemilu tidak mungkin dilakukan hanya dengan adanya amar putusan PN,” kata Puadi kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Ia lalu menyampaikan penundaan pemilu hanya dapat dilakukan jika ada perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945. Lebih lanjut, Puadi menjelaskan putusan perdata tidak memiliki sifat erga omnes, yakni berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. “Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945 juga telah menggariskan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden dilakukan setiap lima tahun sekali. Hal demikian juga diatur dalam Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” katanya.
Ia lalu mengatakan pemilu di Indonesia tidak mengenal adanya penundaan pemilu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu. “Yang ada dalam UU pemilu, hanya pemilu susulan dan pemilu lanjutan,” ujarnya. Dalam kesempatan yang sama, Puadi menyampaikan pula terkait dengan putusan PN Jakarta Pusat mengenai gugatan Partai Prima, Bawaslu secara kelembagaan sedang melakukan kajian terkait implikasinya terhadap Bawaslu
Sementara itu, Juru Bicara Mahkamah Agung Suharto menegaskan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) tak bisa disalahkan terkait produk yang sudah diputuskan di pengadilan. Hal itu dia ucapkan untuk menyoroti putusan PN Jakpus yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) agar Pemilu 2024 diundur hingga Juli 2025.
Menurutnya, hakim memiliki independensi dalam menjatuhkan putusan suatu perkara. Salah satunya terkait menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar tak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024. “Hakim tidak bisa dipersalahkan secara kedinasan terkait produk putusannya, karena putusan dianggap benar,” ujar Suharto.
Suharto juga mengatakan bahwa putusan PN Jakpus belum memiliki hukum tetap. Ia meyakini akan ada pihak terkait mengajukan banding terhadap putusan itu. “Maka paling bijak ya kita tunggu proses bandingnya. Hanya saja dengan adanya upaya hukum putusan hakim dapat dibatalkan oleh hakim tinggi,” kata dia. (net)
Comment