Oleh:
Dahlan Iskan
UANG Rp 14,1 miliar itu harus dikembalikan. Itu perintah pengadilan. Sulitnya, yang harus mengembalikan itu bukan badan hukum: forum pondok pesantren. Sebagai organisasi. Bukan juga perorangan pengurusnya.
Saya membayangkan betapa sulit melaksanakan putusan pengadilan Serang pekan lalu itu. Simaklah jalan cerita ini: Ketua Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten mengajukan proposal ke gubernur (saat itu) Wahidin Halim. Nilainya Rp 27 miliar.
Itu akan dibagikan kepada pondok pesantren se-provinsi Banten yang menjadi anggota forum.
Ternyata yang disetujui hanya Rp 6,6 miliar. Akan diambilkan dari APBD tahun 2018.
Ketua FSPP KH A. Matin Djawahir kaget. Kok cuma segitu. Ia pun menemui gubernur. Minta ditambah. Maka Kiai Matin diminta mengajukan permohonan lagi. Gubernur pun memanggil kepala Biro Kesra. Agar permintaan itu dipenuhi. Sang kepala Biro, dalam kesaksian di persidangan, mengatakan anggarannya tidak ada di APBD 2018. Tapi, masih katanya di pengadilan, sang gubernur menekannya. Bahkan, katanya, ada ucapan: mengapa ia nurut kepada gubernur lama (Atut), tapi tidak nurut ke gubernur yang sekarang.
Ketua Forum pun mengajukan proposal baru: Rp 71,7 miliar. Disetujuilah Rp 66,2 miliar. Uang pun dibagi ke pondok pesantren. Ratusan jumlahnya. Banyak pondok yang mendapat dana hibah hanya Rp 30 juta. Total ada 543 pondok pesantren yang mendapat hibah bermasalah ini.
Biasa: sebagian dana itu untuk tambahan operasional FSPP.
Menurut majelis hakim tipikor, negara dirugikan Rp 14 miliar. Kok bukan Rp 66,2 miliar seperti perhitungan jaksa?
Menurut hakim, Rp 14 miliar itu berasal dari Rp 2,8 miliar yang diambil FSPP ditambah Rp 11 miliar yang diberikan ke pondok yang tidak punya izin dari pemerintah. “Tidak seharusnya FSPP dapat bagian hibah sampai Rp 3,8 miliar. Seharusnya hanya Rp 1 miliar. Maka yang Rp 2,8 miliar tidak sah dan harus dikembalikan,” ujar hakim dalam vonisnya. Dana hibah yang diterima pondok pesantren yang punya izin dianggap bukan kerugian negara.
Tahun berikutnya ketua FSPP mengajukan lagi permohonan dana hibah. Kiai Matin tidak menyangka kalau kelak akan jadi perkara.
Usulan ini pun disetujui. Dilaksanakan dari APBD 2020. Menurut hakim untuk pembagian tahun 2020 ini negara dirugikan Rp 5 miliar. Itu karena ada 172 pondok yang tidak punya izin ikut mendapat hibah.
Terdakwa yang dijatuhi hukuman dalam kasus ini adalah empat orang dari Pemprov. Yakni kepala Biro Kesra dan anak buahnya. Lalu satu orang kiai yang menjadi salah satu koordinator pembagian. Kiai ini dinilai terbukti memotong bagian 11 pesantren senilai Rp 104 juta.
Karena semua itu diputuskan sebagai korupsi, maka kerugian negara harus dikembalikan. FSPP harus mengembalikan uang Rp 14,1 miliar.
Sulitnya, FSPP bukanlah organisasi formal. Namanya saja forum. Mungkin juga tidak punya anggaran dasar. FSPP juga bukan badan hukum. Dalam peraturan perundangan yang berlaku tidak dikenal badan hukum yang disebut forum. Berarti sebuah forum tidak bisa dihukum.
Mungkinkah FSPP menagih kembali uang yang sudah diserahkan ke ratusan pondok yang tidak berizin itu? Juga tidak mungkin. Forum tidak punya kekuatan hukum menagih. Yang ditagih mungkin juga menyerah: ambil saja pondok ini sebagai pembayaran.
Ketua Forum ini, Kiai Matin Djawahir, relatif masih muda. Beliau juga sangat disegani. “Waktu menjadi mahasiswa di sini, ia sering membawa pisau ke dalam ruang kuliah,” ujar seorang dosen di Universitas Islam Negeri di Serang. “Beliau juga dikenal sebagai salah satu jawara di Banten,” tambahnya.
Pesantrennya besar: Darul Falah. Di Pandeglang. Itu adalah pondok warisan dari ayahandanya, seorang ulama terkemuka di Banten.
Bagaimana kalau kerugian negara itu ditagihkan kepada ketua FSPP?
Lebih sulit lagi. Beliau meninggal dunia. Di tahun 2020. Yakni tidak lama setelah hibah dari Pemprov itu dibagikan ke pondok pesantren. Usianya baru 52 tahun. (*)
Comment