Gorontalopost.id – Pemerintah memberikan keringanan hukuman bagi para nara pidana (napi) kasus korupsi. Bahkan dengan kebijakan itu, ada 23pengarat uang rakyat, yang resmi menghirup udara bebas, Selasa (6/9). Misalnya, mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Di pengadilan tingkat pertama, koruptor yang menerima suap sebesar US$500 ribu (Rp7,35 miliar) dari terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra itu, divonis 10 tahun penjara dengan densa Rp 600 juta subside enam bulan kurungan.
Perempuan yang mencoreng muka kejaksaan ini keberatan, dan mengajukan banding, hasilnya Pengadilan Tinggi Jakarta, menyunat vonis Pinangki menjadi 4 tahun penjara. Dalam kasus ini, Jaksa yang menjadi kolega Pinangki sebelum dipecepat, tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, sehingga vonis 4 tahun berkekuatan hukum tetap. Sejumlah pegiat antikorupsi menyorotinya, bukan hanya vonis yang didiskon pengadilan tinggi, tapi menilai kasus Pinangki belum tuntas, ada sebutan ‘king maker’ yang belum terungkap. Salah satu alasan hakum PT mengurangi hukumanya lebih dari separuh, lantaran Pinangki memiliki anak berusia empat tahun. Pinangki mulai menjalani penahanan di Lapas Kelas IIA Tangerang setelah dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) pada Senin, 2 Agustus 2021.
Jika dihitung, Pinangki hanya menjalani pidana penjara selama satu tahun satu bulan, alias tidak sesuai dengan vonis majelis hakim tingkat banding yang menghukum Pinangki dengan pidana empat tahun penjara. Belum ada penjelasan lengkap dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) terkait proses hukum ini.
Kabag Humas dan Protokol Ditjen PAS Kemenkumham Rika Aprianti hanya membenarkan bahwa Pinangki telah dikeluarkan dari lapas per, Selasa (6/9).”Iya betul hari ini bebas bersyarat,” ujar Rika melalui pesan tertulis.
Meski dikeluarkan dari penjara, Pinangki masih diwajibkan menjalani bimbingan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). Selain Pinangki, eks Gubernur Banten Ratu Atut juga mulai menghirup udara bebas sejak kemarin. Ratut Atut mendekam di penjara selama hampir 9 tahun, dari vonis hakim 12,5 tahun. Ia terjerat dua kasus korupsi sekaligus, yaitu keterlibatan dalam kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan kasus pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten yang membuat negara rugi dengan total Rp 79 miliar. KPK pada Kamis 12 Desember 2013, menetapkan Ratu Atut jadi tersangka kasus Alkes Banten. Ia saat itu diduga menyalahgunakan anggaran yang mengakibatkan proses HPS proses perencanaan dan pelelangan alkes pada tahun anggaran 2012 mengakibatkan kerugian negara. Selanjutnya, pada 17 Desember 2013, ia juga menjadi tersangka dalam suap Pilkada Banten. Ratu Atut turut serta melakukan suap bersama adiknya Tubagus Chaeri Wardhana kepada mantan ketua MK Akil Mochtar.
Selanjutnya, ada Desi Ariyani. Mantan Direktur Utama Jasa Marga itu diovis besalah dan wajib menjalani penajara selama 4 tahun. Desi terlibat dalam korupsi pekerjaan subkontraktor fiktif proyek yang digarap PT Waskita Karya sejak tahun 2009 dan 2015. Ada juga Mirawati Basri, ia dipenjara setelah terbukti memberikan uang suap terkait kuota impor bawang putih. Suap itu diberikannya kepada anggota DPR, I Nyoman Dhamantra pada tahun 2021 lalu. Mirawati sendiri dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Kendati demikian, ia baru menjalani masa hukuman selama 1 tahun dan sekarang justru diberi keringanan berupa bebas bersyarat. Selanjutnya ada nama Patrialis Akbar.
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman dan stafnya Ng Fenny. Ia divonis 8 tahun penjara pada 2017 lalu. Vonis Patrialis ini membuat citra Mahkamah Konstitusi tercoreng, kendari baru menjalani hukuman kurang lebih lima tahun, kemarin Patrialis sudah bisa menghirup udara bebas. Nama berikut yang bebas bersyarat adalah Zumi Zola, Gubernur Jambi ini ditetapkan sebagai tersangka dalam pengembangan perkara suap pengesahan Rancangan APBD Jambi 2018 bersama Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jambi Arfan. Aksi Zumi saat menjabat sebagai gubernur itu membuat negara diperkirakan merugikan sebesar Rp 6 miliar.
Selanjutnya ada, Suryadharma Ali. Menteri Agama era Presiden SBY itu terbukti dalam tindak pidana korupsi pelaksanaan ibadah haji periode 2010-2013. Suryadharma divonis 6 tahun penjara dan telah menjalani hukuman kurungan sejak tahun 2016. Ia kemudian mendapat keringanan bebas bersyarat bersama 9 napi korupsi lainnya.
Bupati Subang, Ojang Suhandi, juga bebas bersyarat, kemarin. Ojang Sohandi terbukti melakukan kasus suap dan pencucian uang. Atas kejahatannya, Ojang divonis penjara selama delapan tahun dan membayar denda Rp300 juta. Ojang juga terbukti menerima gratifikasi senilai Rp38,2 miliar dari sejumlah kepala dinas di Subang. Selain Ojang, Bupati Indramayu, Supendi, yang terlibatkasus korupsi pengaturan proyek lingkungan di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Indramayu, juga bebas bersyarat. Supendi dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara. Selanjutnya ada nama Irvan Rivano Muchtar, pria yang ditangkap KPK saat menjabat Bupati Cianjur, itu terlibat kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Pendidikan pada tahun 2019 lalu. Irvan yang dijatuhi hukuman 5 tahun penjara sempat mengajukan kasasi, namun ditolak oleh Mahkamah Agung. Selain 10 nama napi koruptor tersebut, terdapat nama-nama koruptor lainya yang juga bebas bersyarat, seperti : Syahrul Raja Sampurnajaya, Setyabudi Tejocahyono, Sigiharto, Andri Tristianto Sutrisna, Budi Santoso, Danis Hatmaji, Edy Nasution, Tubagus Cepy Septhiady, Andi Taufan Tiro, Arid Budiraharja, Tubagus Chaeri Wardana.
Koordinator Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkumham, Rika Aprianti menjelaskan, 23 narapidana kasus korupsi tersebut dikeluarkan dari dua Lapas berbeda, yakni Lapas Sukamiskin Bandung, Jawa Barat dan Lapas Tangerang, Banten. “23 narapidana tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang sudah dikeluarkan pada tanggal 6 September 2022 dari dua Lapas, yaitu Lapas Kelas I Sukamiski dan Lapas Kelas IIA Tangerang,” kata Rika melalui keterangan resminya, seperti diberitakan sindonews.com, Rabu (7/9). Rika menjelaskan, selain 23 narapidana korupsi, ada ribuan narapidana kasus lain yang juga mendapatkan pembebasan bersyarat, remisi, hingga cuti menjelang bebas. Ribuan narapidana itu mendapatkan hak bersyarat pada September 2022. “Pada bulan September sudah diberikan hak bersyarat PB/CB/CMB kepada sebanyak 1.368 orang narapidana semua kasus tindak pidana dari seluruh Indonesia,” kata Rika.
Menurutnya, pemberian hak bersyarat narapidana yaitu pembebasan bersyarat sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan atau UU Pemasyarakatan. “Selain hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas,” kata Rika. (tro/net)












Discussion about this post