Gorontalopost.id – Selain harga sembako yang makin mahal, warga kini dihadapkan dengan kebijakan PT. Pertamina, yang kembali menaikkan harga gas elpiji dan bahan bakar minyak (BBM). Terhitung sejak Ahad (10/7), perusahan milik negara ini resmi memberlakukan harga baru untuk BBM dan gas elpiji nonsubsidi.
Seperti jenis Pertamax Turbo dan Dex Series serta elpiji jenis bright gas. BBM subsidi seperti pertalite dan solar, tak mengalami perubahan harga.
Hanya saja untuk membelinya dibatasi, termasuk harus menggunakan aplikasi mypertamina yang mulai diberlakukan di sejumlah kota. Beberapa jenis kenderaan juga tidak dibolehkan mengisi dua jenis BBM itu di SPBU. Sedangkan, untuk elpiji subsidi, wajib dibeli menggunakan aplikasi peduliLindungi.
Corporate Secretary PT Pertamina, Patra Niaga Irto Ginting, beralasan, penyesuaian harga untuk BBM dan gas nonsubsidi itu, dipicu tren harga minyak dunia yang masih melambung. Meski begitu, Irto mengatakan, jika masyarakat tidak perlu khawatir. ”Sebab, harga elpiji 3 kg yang subsidi, pertalite, solar, dan pertamax tetap. Tidak naik,”ujarnya, kemarin.
Menurut dia, kebijakan tidak menaikkan harga BBM subsidi itu diambil lantaran tren harga Indonesian Crude Price (ICP) untuk BBM dan Contract Price Aramco (CPA) untuk elpiji masih tinggi. Tujuannya, menjaga daya beli masyarakat. ”Pertamina terus menjaga ketersediaan energi dengan harga terjangkau. Jadi, pertalite, solar, dan elpiji 3 kg dijual dengan harga tetap,” imbuhnya.
Pertamina mencatat, harga minyak ICP per Juni menyentuh angka USD 117,62 (Rp 1,7 juta) per barel. Itu lebih tinggi sekitar 37 persen daripada harga ICP pada Januari 2022. Begitu pula elpiji, tren harga CPA pada Juli ini masih mencapai USD 725 (Rp 10,8 juta) per metrik ton (MT) atau lebih tinggi 13 persen daripada rata-rata CPA sepanjang 2021.
Melihat tren itu, Irto mengatakan bahwa Pertamina Patra Niaga melakukan penyesuaian harga untuk produk bahan bakar khusus (BBK) atau BBM nonsubsidi. Di antaranya, pertamax turbo, pertamina dex, dexlite, serta elpiji nonsubsidi seperti Bright Gas (selengkapnya lihat grafis). ”Saat ini hanya pertamax yang merupakan BBM nonsubsidi, namun harganya tidak berubah,” imbuh Irto.
Penyesuaian harga akan terus diberlakukan secara berkala. Hal itu sesuai dengan Kepmen ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang Formulasi Harga Jenis Bahan Bakar Umum (JBU). Sebagaimana diketahui, porsi BBM nonsubsidi sekitar 5 persen dari total konsumsi BBM nasional. Sementara itu, porsi produk elpiji nonsubsidi sekitar 6 persen dari total konsumsi elpiji nasional.
Irto menyebutkan, seluruh penyesuaian harga dipatok sekitar Rp 2.000, baik per liter untuk BBM maupun per kg untuk elpiji. Ia mengklaim, harga itu masih sangat kompetitif jika dibandingkan dengan produk berkualitas setara. ”Untuk yang subsidi, pemerintah masih turut andil besar dengan tidak menyesuaikan harganya,” katanya. Dengan perubahan itu, maka
untuk Gorontalo, harga elpiji di tingkat agen untuk 5,5 kg menjadi Rp 107.000, sedangkan harga elpiji 12 kg Rp 223.000. Di Sulawesi, selain Gorontalo, Sulut dan Sultra termasuk harga elpiji bright gas yang mahal. Sebab, di Sulsel dan Sulteng, harga bright gas 5,5 Kg hanya Rp 104.000, dan 12 kg Rp215.000.
Terkait dengan BBM subsidi, Pertamina memang menjual lebih rendah daripada harga keekonomiannya. Dirut Pertamina, Nicke Widyawati mengungkapkan, harga produk BBM seperti pertalite, pertamax, hingga solar serta produk elpiji penugasan belum naik. Untuk pertalite, Nicke menyatakan, harga pasar saat ini Rp 17.200 per liter. Namun, harga jual Pertamina tetap Rp 7.650 per liter. Dengan demikian, setiap liter pertalite, pemerintah subsidi Rp 9.550.
Kemudian, untuk pertamax, Pertamina masih mematok harga Rp 12.500 per liter. Padahal, untuk bensin dengan oktan atau RON 92, kompetitor sudah menetapkan harga sekitar Rp 17.000 per liter. Sebab, secara keekonomian, harga pasar telah mencapai Rp 17.950. ”Kami juga pahami kalau pertamax dinaikkan setinggi ini (harga keekonomian), shifting (peralihan) ke pertalite akan terjadi. Tentu itu akan menambah beban negara,” ujar Nicke.
Sementara itu, per Juli 2022, harga keekonomian untuk solar CN 48 atau biosolar (B30) Rp 18.150 per liter. Namun, Pertamina masih menjual jenis BBM tersebut dengan harga Rp 5.150 per liter.
”Jadi, untuk setiap liter solar, pemerintah membayar subsidi Rp 13.000,” imbuh Nicke. Adapun elpiji PSO belum ada kenaikan sejak 2007. Harganya masih Rp 4.250 per kg, sedangkan harga pasar Rp 15.698 per kg. Dengan demikian, subsidi dari pemerintah adalah Rp 11.448 per kg. (tro/jp)











Discussion about this post