Oleh
Prof. Fory Armin Naway
Menggapai kehidupan yang lebih baik merupakan cita-cita dan harapan setiap orang. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Itulah tekad yang selalu terbersit dari setiap orang.
Dengan kata lain, hidup harus ada perubahan, dinamis dan progresif. Bekerja keras, tekun belajar dan semangat menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi serta senantiasa mengasah keterampilan, kompetensi dan tampil profesional di bidangnya, merupakan sedikit dari banyaknya ikhtiar setiap orang untuk menggapai kehidupan yang progresif.
Namun terkadang, dalam proses melakukan ikhtiar untuk menggapai kehidupan yang progresif, terdapat atau ada-ada saja kendala, hambatan dan tantangan yang menghadang. Ada yang berhasil menghalaunya dan ada juga yang harus menyerah.
Dari sinilah pentingnya setiap individu untuk dapat mengidentifikasi berbagai “Resistensi” dalam menggapai hidup yang lebih baik, untuk selanjutnya mawas diri agar tidak terjebak pada persoalan hidup yang justru kian berat.
Secara terminologi resistensi dapat dimaknai sebagai faktor yang menjadi penghambat atau faktor-faktor yang memiliki daya tolak, kontradiktif, perlawanan atau segala sesuatu yang justru berlawanan dan tidak sejalan dengan cita-cita, kehendak dan harapan hidup yang ideal. Resistensi bersumber dari 2 dimensi, yakni internal dan eksternal.
Resistensi yang bersumber dari internal, lebih menitikberatkan pada perilaku beresiko dari setiap individu. Artinya antara cita-cita, harapan dan obsesi tidak sejalan dengan sikap, perilaku maupun karakter yang menjelma dalam dirnya.
Ingin hidup sukses, namun tidak memiliki kemampuan untuk melawan “rasa malas”, tidak memiliki daya juang yang tinggi dan mudah menyerah.
Sementara resistensi yang bersumber dari dimensi eksternal, sangat terkait erat dengan faktor-faktor di luar diri seseorang, diantaranya ketersediaan fasilitas penunjang atau juga karena faktor orang lain.
Dalam konteks yang lebih luas dan dalam ranah kehidupan berbangsa, berdaerah serta bermasyarakat, sudah pasti terdapat “Resistensi sosial” yang tengah menyeruak dan mungkin akan terus mewarnai kehidupan kita sebagai bangsa yang sejatinya diidentifikasi sehingga lahir komitmen dan kesadaran kolektif untuk meminimalisir sekecil mungkin berbagai resistensi kemajuan.
Lebih dekat lagi, dalam ranah kemajuan Gorontalo ke depan, sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia, disadari atau tidak, terdapat pula resistensi-resistensi sosial yang menjadi penghambat kemajuan dan perubahan Gorontalo ke arah yang lebih baik.
Resistensi demi resistensi terkuak secara massif di tengah masyarakat yang perlu dicarikan solusi komprehensif sehingga tidak merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Gorontalo secara akut.
Jika diidentifikasi, resistensi sosial yang menjadi penghambat kemajuan dan masa depan Gorontalo yang lebih baik, diantaranya, mulai hilangnya identitas dan “jati diri’ sebagai orang Gorontalo yang tidak lagi memandang dan menghayati 5 prinsip dasar yang tertuang dalam “Payu Limo Totalu” yang diwariskan oleh leluhur Gorontalo, antara lain, “Bangusa Taalalo”, bangsa atau keturunan dijaga, “Lipu Poduluwalo” artinya negeri yang harus dibela, “nyawa podungalo” atau nyawa dipertaruhkan untuk Gorontalo, “batanga pomaya” jiwa dan raga diabdikan”, dan “upango potombulu” atau harta diwakafkan di jalan kebaikan.
Dalam tataran idealnya, jika nilai-nilai dari 5 prinsip dasar itu dimaknai dan dihayati oleh rakyat Gorontalo secara massif, maka dapat dipastikan bahwa daerah ini akan meraih lompatan-lompatan kemajuan yang signifikan hingga mampu meraih predikat “Lipu Pe’i Hulalu” atau negeri yang diibaratkan seperti “bulan purnama” yang memancarkan cahaya (nur) kedamaian, kesejukan dan kemakmuran dibawah Ridha dan Rahmat Allah SWT atau Baldatun Thayibbatun Warrabbun Ghafuur”.
Selain itu, jika nilai-nilai dari 5 prinsip dasar yang terkandung dalam “Payu Limo Totalu” tersebut, dimaknai dan dihayati dengan sungguh-sungguh, maka mentalitas-mentalitas yang menjadi resistensi kemajuan, seperti “Tutuhiya” atau saling menjatuhkan, mentalitas “Hihihita”, atau bersaing secara tidak sehat, mentalitas “Titi’uwa” atau saling sikut-menyikut, mentalitas “hehengeta” atau saling bertengkar, tidak akan menggejala di tengah masyarakat.
Sejatinya, justru yang patut ditumbuhkembangkan dalam proses membangun kemajuan dan perubahan bagi masa depan Gorontalo yang lebih baik adalah nilai-nilai “modelo hilawo” yakni mengapresiasi, mau belajar dan mencontoh orang lain yang sukses untuk menjadi sukses dan berjaya bersama, menghayati nilai-nilai luhur sebagai sosok “Ta Mo’odelo”, yakni kemampuan dari setiap individu orang Gorontalo untuk menselaraskan antara perkataan yang baik menjadi kenyataan yang baik atau “Poleleya uhepotuwomu’ pohuwatuwa uhepolelemu” artinya, sampaikan apa yang kamu kerjakan dan kerjakan apa yang kamu sampaikan.
Tidak hanya itu saja, nilai-nilai persatuan (buhuta waw walama), mohuyula atau gotong royong, Mo’awota atau senantiasa menjalin silaturahmi, merupakan instrumen kearifan lokal yang patut terus ditumbuhkembangkan di daerah ini sebagai wahana merajut kebersamaan merah kemajuan Gorontalo sebagaimana yang dicita-citakan.
Dengan demikian, orang Gorontalo pada hakekatnya memiliki modal dasar untuk meraih lompatan kemajuan, sepanjang warganya memiliki kesadaran kolektif untuk menanggalkan berbagai resistensi-resistensi yang dapat menghambat proses kemajuan dan perubahan ke arah yang lebih baik.
Resistensi terhadap perubahan menurut Oreg (2003) adalah perilaku yang dipicu oleh munculnya reaksi emosi negatif terhadap perubahan, enggan melakukan suatu perubahan, memiliki fokus jangka pendek ketika bekerja, dan memiliki pemikiran yang kaku (tidak open mind).
Dari pengertian ini dapat diperoleh gambaran, betapa resistensi kemajuan lebih disebabkan oleh faktor internal yang melekat dalam setiap individu-individu. Resistensi harus dilawan dengan meneguhkan “monumen akal sehat” agar hidup menjadi lebih bermakna.Semoga. (*).









Discussion about this post