Mengenal Sosok Amin Haras : Demi Sekolah, Rela Jadi Tukang Cuci Pakaian

Nama Amin Haras makin dikenal ketika Syarif Mbuinga ‘meminang’ untuk mendampinginya sebagai calon wakil bupati pada Pilkada 2009 silam. Pasangan ini unggul dan awet hingga dua periode memimpin Pohuwato. Kini masa jabatan Syarif-Amin segera berakhir, dibalik kesuksesan memimpin Pohuwato, sosok ramah ini rupanya punya sekelumit kisah perjuangan sebelum meraih sukses.

PERJALANAN hidup seorang anak petani Lemito hingga menjadi wakil bupati Pohuwato dua periode sungguh berat. Maklum, kala itu di tahun 1970-an kehidupan seseorang sangat pas-pasan, apalagi hidup di wilayah yang jauh dari perkotaan.

Belum lagi bila ingin melanjutkan studi harus pergi ke kota Gorontalo, meski ekonomi mampu tetapi transportasi tidak mendukung. Pun demikian apabila keinginan dan ekonomi mendukung tetapi biaya hidup di kampung orang terasa berat karena kiriman (bekal) dari kampung kadang terlambat akibat transportasi yang tidak tersedia.

Bagi Amin Haras semua itu dilalui, karena bila bertahan di kampung tentu salah satu pekerjaan hanyalah bertani. Sementara pendidikan tertinggi yang ada di kampung halaman hanya sampai Sekolah Dasar (SD).

Lahir di lemito pada 15 November 1956, Amin Haras sekolah di SDN I Lemito dan lulus tahun 1970. “Ketika lulus SD orang tua tidak mau melanjutkan atau menyekolahkan karena berbagai pertimbangan yang ada, apalagi lemito kala itu tentu jauh dari keadaan yang ada saat ini,” ujar Amin Haras.

Ketika lulus SD Amin langsung dipanggil ayahnya untuk berkebun, membuka lahan, menebang pohon sampai membajak lahan menggunakan tenaga sapi ternak. Mungkin keinginan orang tua tetap ada untuk melanjutkan pendidikan anaknya, tetapi tidak sanggup membiayai anak dirantau.

“Tapi sebelumnya waktu saya sekolah selain diajak orang tua kerja kebun, juga diajak berdagang atau berjualan beras dari Lemito ke Marisa dengan menggunakan perahu layar,” kenang Wabup Amin.

Setelah dua tahun diajak berkebun dan merasa tidak mampu, maka anak ketiga dari enam bersaudara ini memaksakan diri untuk pergi bersama tante (saudara orang tua) ke kota Gorontalo, untuk lanjut sekolah.

Waktu itu ke kota Gorontalo tidak ada transportasi darat sehingga harus melalui laut. Naik dari pelabuhan Lemito ke pelabuhan Gorontalo harus ditempuh dengan perjalanan satu hari dan satu malam. “Keputusan dibiayai maupun tidak harus berangkat ke Gorontalo untuk sekolah. Tahun 1972 masuk SMP Muhamadiyah dan tinggal bersama kakek,” tambahnya.

Meski tinggal dengan kakeknya, Amin Haras tetap banting tulang untuk bekerja. Biaya yang dikirm dari kampung hanya untuk bayar keperluan sekolah serta ongkos kenderaan ketika belajar jauh dari tempat tinggal.

“Makanan apa adanya, mengharapkan kiriman dari kampung tentu sebagaimana hasil jerih payah orang tua. Jagung biji kering yang digiling bisa untuk bertahan hidup, kadang jagung itu direbus dan di makan apabila tidak ada uang untuk sewa mesin gilingan milu. Kiriman dari kampung tidak rutin dan kadang terpaksa pergi sekolah waktu SMP dan SMA berjalan kaki dengan jarak sekitar 2 kilo meter,” tuturnya.

Tekad Amin untuk tetap sekolah sudah terpendam dalam. Setelah lulus SMP 1974 kemudian masuk SMA 1 Gorontalo dan lulus tahun 1977. Begitu lulus ia pun ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. “Diberi tahu ke orang tua tetapi mereka tidak merespon dan disuruh pulang ke kampung. Alhamdulillah kakek memiliki saudara di Manado, maka berangkat naik kapal dari kota Gorontalo menuju Bitung,” ungkap Amin.

Amin Haras masuk kuliah pada 1978 di Fakultas Sosial Politik. “Tempat kuliah lumayan jauh, ada yang jarak 2 KM dan yang jarak 5 KM, kalau kuliahnya jauh terpaksa naik bemo. Satu tahun kemudian dapat asrama dekat tempat kuliah. Setelah menghadap ketua senat Sospol akhirnya diterima di asrama Sospol di Sario. Disaat belajar kelompok banyak teman-teman kuliah yang sudah PNS, ketika ada tugas buat makalah saya yang buat dan diberi upah yang Alhamdulillah ada tambahan hidup,” jelasnya.

Transportasi dan komunikasi saat itu belum ada, komunikasi hanya melalui surat yang dikirim di kantor pos, sehingga kiriman atau biaya kuliah Amin dari kampung selalu terlambat. Maka untuk kebutuhan hari-hari berupa makan ia sering-sering hutang di warung dan nanti dibayar setelah kiriman tiba.

“Disamping itu pekerjaan lainnya yang dilakukan mencuci pakaian dari seorang pegawai yang tinggal di asrama untuk menutupi kebutuhan akibat keterlambatan kiriman dari Lemito ke Manado,” kata Amin

Singkatnya, tahun 1982 ketika KKN, ada penerimaan pegawai di Inspektorat provinsi Sulut. Dorongan para senior yang sudah pegawai membuat Amin berkeinginan untuk mencobanya. “Sarajana muda atau BA berpeluang masuk, status saya masih sarjana muda,” lanjutnya.

“Ribuan orang masuk ikut ujian, Alhamdulillah ketika pengumuman dinyatakan lulusi. Akhir 1982 KKN di kecamatan mapanget selama 3 bulan, dan sementara KKN tiba SK CPNS. Berbagai pertimbangan muncul, karena bila memilih PNS tentu kuliah tidak selesai. Jadi, tidak mau menghadap ke Inspektorat provinsi Sulut karena nantinya kuliah tidak selesai,” ujar Amin.

“Akhirnya semua bisa dilalui berkat komunikasi yang baik, meski bekerja di inspektorat kabupaten gorontalo sebagaimana di SK penempatan tetap menyelesaikan skripsi dan ujian beberapa mata kuliah di Manado,” tandasnya.

Semua biaya kuliah Amin Haras akhirnya sudah bisa ditanggung sendiri karena sudah menerima gaji PNS sampai meraih sarjana pada tahun 1985. Orang tua di kampungnya bahkan tidak tahu bila sudah jadi pegawai, dan mereka kaget begitu mengetahui Amin sudah kerja di Limboto.

Selain merasakan kehidupan di dua kota yang berbeda, pengalaman hidup lainnya juga dirasakan Amin Haras. Dirinya pernah mengalami insiden ketika hendak pulang kampung, dimana kapal yang ditumpanginya tenggelam.

“Di paguyaman pantai misalnya, pada tahun 1975 ketika masih sekolah di kota gorontalo dan mau pulang kampung kapal tenggelam dan perlahan langsung ke dasar laut. Alhamdulillah dapat papan yang dijadikan alat untuk sampai ke darat, dengan menggunakan tangan sebagai pengayuh beberapa orang selamat sampai ke tepian pantai sekitar jam 10.00 pagi. Kejadian sekira pukul 04.00 wita dini hari itu tetap memakan korban,” kenangnya.

“Kejadian kedua sama seperti kejadian pertama, ketika masih kuliah di Manado tahun 1981 kapal KM Kristina yang berlabuh dari Manado menuju Kwandang tenggelam di pantai Inobonto,” tambah Amin.

Kelebihan muatan dan musim angin barat waktu itu membuat kapal yang ditumpangi Amin Haras tenggelam sekitar pukul 05.00 dini hari dan ditemukan pada besok harinya pada jam yang sama. Selama satu hari dan satu malam berada di laut, kapal KM Kristina semakin lama semakin jauh dari darat.

Sebagian penumpang berdiri di haluan sambil memegang tali dan sebagiannya tenggelam dan hilang. “Syukur Alhamdulillah Allah masih memberikan umur yang panjang, masih diselamatkan dari bahaya, sehingga masih ditemukan oleh petugas, bila tidak kemungkin sekitar 30-an orang ini bisa sampai di laut Filipina,” tuturnya.

Perjalan karir Amin Haras mulai dari bawah, dengan golongan ruang IIb, serta penyesuaian setelah lulus kuliah. Mengabdi di kabupaten Gorontalo sejak tahun 1983-2000. Dari Inspektorat Wilayah (Irwil) diangkat menjadi sekcam, kemudian kembali ke Irwil, camat boliyohuto 3 tahun dari 1996-1999, sekretaris Irwil serta jadi Sekretaris Bappeda di tahun 2000.

Selanjutnya pindah ke Boalemo menjadi kabid Bappeda, Kabag Tapem, hingga Assisten Pemerintahan. Ketika kabupaten Pohuwato jadi daerah otonom maka pindah dan menjadi kepala Bawasda (Inspektorat Daerah saat ini), kemudian kadis Pariwisata, kembali lagi kepala Bawasda, dan pada 2006 jadi kepala BPKAD atau BKD saat ini.

“Pada 2009 diajak pak Syarif jadi calon wakil bupati mendampinginya. Alhamdulillah hingga selesai dua periode jadi wakil bupati mendampingi pak Syarif Mbuinga,” pungkas Wabup Amin Haras. (***)

Comment