gorontalopost.co.id – Menjadi tenaga pengajar sekaligus wali kelas siswa, bukanlah hal yang mudah. Ini dikarenakan adanya tanggungajawab besar yang harus diemban oleh seorang guru. Tidak hanya semata-mata untuk memberikan pelajaran, akan tetapi bagaimana seorang guru dapat mengetahui satu per satu siswanya dengan baik.
Contohnya saja yang dilakukan oleh Sri Ratna Ningsih Gobel,M.Pd (40), yang saat ini menjadi kelas IX di SMP Negeri 8 Limboto. Saat penerimaan raport yang dilaksanakan pada Kamis (18/12), Sri Ratna mengisahkan secara singkat bagaimana dirinya menangani kenakalan dan kondisi murid-murid yang berbeda-beda. Kisah itu pun disampaikannya dihadapan orang tua maupun keluarga siswa yang hadir pada saat itu.
Menurutnya, menjadi wali kelas bukan sekadar tugas administratif, melainkan ikatan batin yang tumbuh seiring waktu. Setiap kali ada tugas dari guru mata pelajaran yang belum dikerjakan siswa, ia memilih berbicara dengan pendekatan yang baik dan penuh kesabaran. “Namanya juga perwalian, pasti lebih dekat dengan siswa,” ujarnya.
Pendekatan yang humanis itu ia bangun dengan memperlakukan siswa secara nyaman dan aman. Sri Ratna meyakini, sikap baik dan perhatian tulus akan menghadirkan perubahan. Hasilnya mulai terlihat. Meski tidak instan, perlahan siswa menunjukkan sikap yang lebih terbuka dan bertanggung jawab terhadap sekolah.
Upaya yang dilakukan Sri Ratna tidak berhenti di ruang kelas. Demi memastikan anak-anak tetap bersekolah, ia kerap datang langsung ke rumah siswa, bahkan menjemput mereka menggunakan mobil pribadinya. Tantangan pun tak sedikit, mulai dari akses jalan yang sulit hingga kondisi siswa yang masih tertidur saat ia tiba. Tak jarang, ia membangunkan mereka, menunggu hingga siap berangkat, bahkan memberi uang jajan bagi siswa yang kurang mampu.
Motivasi terbesar Sri Ratna ini, didasari oleh kondisi keluarga sebagian muridnya yang kurang mendukung pendidikan. Beberapa siswa terpaksa bolos sekolah karena harus bekerja menanam jagung di kebun tetangga demi memenuhi kebutuhan hidup. Melihat realitas itu, ia berusaha menjadi ‘rumah’ bagi murid-muridnya, tempat mengeluh, bercerita, dan merasa didukung.
“Kalau bukan saya yang mendorong mereka untuk terus sekolah, siapa lagi?” katanya lirih. Baginya, tanggung jawab sebagai wali kelas adalah tentang menjaga masa depan anak-anak. Ia tak ingin ketidakpedulian justru menjadi alasan gagalnya cita-cita mereka. Selain sebagai wali kelas, Sri Ratna juga mengemban peran sebagai pengelola perpustakaan dan guru mata pelajaran Bahasa Inggris. Di tengah banyaknya tugas, ia tetap memilih bertahan, karena ia percaya setiap anak memiliki masa depan yang layak diperjuangkan—bahkan jika perjuangan itu harus dimulai dengan menjemput mereka dari depan rumah. (Mg-21)













Discussion about this post