Gorontalopost.co.id, GORONTALO — Aliansi Mahasiswa dan Pelajar Kawasan Paguyaman Raya (AMPKPRG) menggelar diskusi publik bertajuk “Refleksi Generasi Muda: Layakkah Soeharto Disebut Pahlawan?” di Warkop Mongopi, Kota Gorontalo, Senin (10/11) malam.
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas organisasi diantaranya Ketua DPD GMNI Gorontalo Iksan A. Karim, Ketua BADKO HMI Sulut-Go Aries Setiawan, Founder Ruang Anak Muda Fian Hamzah, Koordinator Gusdurian Gorontalo Nurhikmah Biga, dan Ketua PKC PMII Gorontalo Windy Olivia.
Dalam sambutannya, Ketua Umum AMPKPRG, Raman Tamu, menegaskan bahwa forum ini bukan sekadar ruang debat sejarah, melainkan ruang refleksi generasi muda untuk menguji moral dan kesadaran kebangsaan.
“Kita tidak sedang mengadili masa lalu, tapi sedang menguji kesadaran kita sebagai generasi penerus bangsa. Layakkah seseorang yang menumpuk kekuasaan dan menodai kemanusiaan disebut pahlawan? Jika kita diam, maka sejarah akan ditulis oleh mereka yang berkuasa, bukan oleh mereka yang berjuang,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa AMPKPRG ingin menghadirkan narasi keberanian dan kejujuran sejarah, bukan sekadar opini yang berpihak. “Diam terhadap ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemerdekaan itu sendiri,” tegas Raman.
Diskusi berlangsung dinamis. Iksan A. Karim, Ketua DPD GMNI Gorontalo, membuka pandangan dengan menyebut bahwa upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah bentuk penghinaan terhadap bangsa.
“Soeharto adalah penjahat, Soeharto adalah koruptor, Soeharto adalah pelaku KKN, dan tidak pantas disebut pahlawan nasional,” katanya dengan lantang.
Menurutnya, menobatkan Soeharto sebagai pahlawan sama saja menghapus luka sejarah bangsa, karena dibalik kekuasaannya yang panjang terdapat ribuan korban akibat represi politik dan pembungkaman suara rakyat.
Sementara itu, Aries Setiawan, Ketua BADKO HMI Sulut-Go, menilai pemberian gelar pahlawan harus dilihat secara konstitusional dan moral. Ia menyoroti bahaya jika generasi muda hanya diam terhadap ketimpangan sejarah.
“Kalau saya jadi presiden, saya pun bisa memperkaya keluarga saya dengan alasan pembangunan. Tapi apakah itu pantas disebut jasa?”ujarnya disambut tawa getir peserta. Menurut Aries, tidak ada kejahatan besar tanpa tanggung jawab besar, dan Soeharto sebagai pemimpin tertinggi harus memikul konsekuensinya.
Pandangan keras datang dari Fian Hamzah, Founder Ruang Anak Muda, yang menolak pemberian gelar Pahlawan tersebut. “Saya menolak dengan keras Soeharto disebut pahlawan. Kita tidak bisa memaafkan pelanggaran terhadap kemanusiaan hanya karena pembangunan. Itu bukan kepahlawanan, itu kejahatan yang dibungkus rapi oleh kekuasaan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa secara teologis manusia memang bisa saling memaafkan, namun secara konstitusional dan moral, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dapat dihapus.
“Saya takut narasi kritis kita hanya berakhir malam ini. Padahal, sebagai pemuda kita punya tanggung jawab menjaga ingatan sejarah,”ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nurhikmah Biga, Koordinator Gusdurian Gorontalo, memberikan pandangan yang tajam dan reflektif. Ia menegaskan bahwa upaya negara memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah bentuk pengkhianatan terhadap gerakan reformasi yang telah menumbangkan rezim otoritarianisme.
“Dengan negara memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, maka negara dengan sengaja mengkhianati gerakan reformasi yang telah menumbangkan rezim Soeharto yang otoritarian.
Kita, warga negara Indonesia, sedang dicerabut oleh negara dari ingatan kolektif kita tentang sejarah kelamnya 32 tahun rezim Soeharto yang penuh dengan pelanggaran HAM dan KKN,” ujarnya.
Nurhikmah menegaskan bahwa persoalan ini bukan hanya tentang gelar, melainkan tentang upaya sistematis menghapus jejak kelam kekuasaan yang menindas rakyatnya.
Sementara itu, Windy Olivia, Ketua PKC PMII Gorontalo, menyoroti aspek hukum dan moral dari pemberian gelar pahlawan nasional. Ia mengatakan bahwa penghargaan seperti itu tidak boleh diberikan atas dasar kompromi politik.
“Secara hukum, perubahan dan penambahan nama-nama pahlawan seperti yang dilakukan baru-baru ini perlu dikaji ulang kesahihannya. Pemberian gelar pahlawan harus didasarkan pada nilai moral dan sejarah yang murni, bukan politik balas budi,” tegasnya.
Diskusi yang berlangsung lebih dari dua jam itu ditutup dengan kesimpulan tegas dari seluruh narasumber untuk menolak penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Bagi mereka, langkah tersebut merupakan bentuk pemutihan sejarah dan pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan. (tro)













Discussion about this post