Oleh:
Basri Amin
Kabar-kabar heroik sepanjang bulan Oktober 1945 itu saya simak dan cermati melalui koran ternama di masa itu. Sangat terang bahwa pergolakan di masa itu meletus di banyak tempat, baik di tanah Jawa maupun di luar Jawa. Di masa itu, kehadiran tentara Sekutu (NICA) sangat mengguncang keberadaan Proklamasi Kemerdekaan.
Hampir semua kelompok masyarakat, sejumlah kalaskaran pemuda, pelajar, santri dan perhimpunan perempuan pejuang, satu-sama lain memerankan dirinya di tengah-tengah tekanan fisik dan kesiapan rela-mati demi Kemerdekaan.
Jejak Oktober 1945 lebih popular penjudulannya dengan sebutan Resolusi Jihad.
Kalangan Santri (di) Indonesia, sejak 2015, memperingati Resolusi Jihad tahun 1945. Saya membaca dan menyimak secara langsung dokumentasi lengkap “Resolusi Jihad” Nahdatoel Oelama sebagai tuntutan resmi dari hasil Rapat Besar wakil-wakil daerah Perhimpunan Nahdatoel Oelama seluruh Jawa dan Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Soerabaya.
Tanggal puncak Rapat Besar, 22 Oktober 1945, yang menjadi dasar pengabadian Hari Santri Nasional (HSN) di negeri ini. Kalimat kunci yang terbaca dari judul publikasinya, adalah Resolusi Jihad dan Pengorbanan Santri seluruh Jawa dan Madura. Tekad besarnya pun sangat terang: “Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945” yang kembali dirongrong oleh NICA dan Jepang.
Selain itu, teks Resolusi Jihad dengan sangat menyala menegaskan “mempertahankan dan menegakkan Agama dan Kedaulatan Negara Republik Indonesia Merdeka”
Penulisan teks-dokumen Resolusi Jihad tersebut tergolong unik, antara lain karena menimbang 2 (dua) hal pokok: (a) bahwa untuk mempertahankan-menegakkan negara Republik Indonesia menurut Hukum Islam, sebagai Kewajiban bagi tiap-tiap Orang Islam; dan (b) bahwa di Indonesia ini warga negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Umat Islam.
Selanjutnya terdapat 4 (empat) poin di bagian “mengingat”, di antaranya a,b,c, dan (d) bahwa “dalam menghadapi sekalian kejadian (‘pertempuran yang mengorbankan begitu banyak jiwa manusia’), belum mendapat perintah dan tuntunan yang nyata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia yang sesuai dengan kejadian tersebut”.
Bagian akhir dari dokumen Resolusi Jihad itu sebenarnya berisi 2 (dua) buah “tuntutan” kepada pemerintah Republik di masa itu, dengan kata-kata (a) “memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia supaya menentukan satu Sikap dan Tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia…; dan (b) supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “Sabiloellah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Jadi, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 itu sungguh sistematik-spiritualistik, menyala-emotif tapi tenang-terkendali, dan menyela sikap resmi Pemerintah Republik Indonesia atas kondisi kritis yang ada di masa itu. Sebagaimana akhirnya –-secara nasional– kita tahu bahwa puncak heroisme Surabaya itu cenderung (hanya) mencatat peristiwa “10 November 1945”, terutama tentang heroisme Bung Tomo dengan pekikan Allahu Akbar-nya.
KITA butuh membaca dan menghayati banyak konteks, teks, dan implikasi fundamental atas tampilnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 oleh Nahdatoel Oelama Jawa-Madura di Surabaya. Di antaranya, dan ini yang amat penting, adalah kepercayaan dari Alim-Ulama dan Santri-nya kepada “sikap, tuntunan, tindakan, dan perintah” dari Pemerintah Republik Indonesia kepada “segenap rakyat Indonesia”.
Sikap percaya-penuh dan menuntut (harapan!) kepada (kuasa!) Pemerintah Republik seperti inilah yang merupakan nilai luhur tersediri dari (sejarah) Mempertahankan Kemerdekaan bangsa kita sejak Oktober – Desember 1945. Bahwa kita percaya dan berharap kepada Republik. Bahwa rakyat (senantiasa) memintakan sikap dan tindakan yang menopang prosesi kedaulatan negara dan mempertahankan kemerdekaan.
Di saat yang sama, Kemerdekaan Agama, juga ditegaskan secara setara dan terang. Di sinilah, terkesan ada dua jenis kemerdekaan yang saling mengisi-menguatkan dalam konteke keIndonesiaan kita: Negara dan Agama.
Kendati demikian, tidak semua publikasi sejarah dan temuan-temuan ilmiah memberi “tempat terhormat” terhadap peran golongan Kyai, Sastri, dan Pesantren di masa-masa krusial tersebut. Temuan Professor Ben Anderson dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, termasuk sarjana yang berhasil menangkap dengan akurat dan kritis tentang kronik Revolusi Fisik di sepanjang Oktober – Desember 1945. Ben Anderson dalam kajian seminalnya Java in A Time of Revolution (1972: 157), menulis dengan sangat apik bagaimana siaran dan teriakan dua kali Allahu Akbar Bung Tomo dengan pekik-suara dan tangisan.
Dari kajian Anderson, kita beroleh pengakuan (data) ilmiah bahwa sejak awal awal Oktober 1945, Kyai-Kyai dari pelosok Jawa dan Madura memusatkan diri di Surabaya untuk menyusun Gerakan perlawanan. Demikian juga di beberapa titik pergolakan “Kyai Desa” di Jawa.
Merujuk Berita Antara (25 Oktober) dan Berita Indonesia (27 Oktober 1945) sebagai koran resmi nasional yang memberitakan tentang “Perang Suci” (Sibilillah) yang dikobarkan sejak pertemuan besar Nadhlatul Ulama di Surabaya pada 21–22 Oktober 1945. Dengan spirit itulah pula maka nilai dasar Resolusi Jihad terus berkobar sepanjang akhir tahun 1945 di kalangan umat Muslim di seluruh Jawa, di mana peran Kyai, Santri, Perhimpunan Pelajar/Pemuda demikian menentukan. Tak ketinggalan, berdirilah “dapur Sabilillah Moeslimat” di Surakarta –-yang bergerak menopang logistik tentara-pejuang; berpusat di rumah Tuan Ali Archam di Tegalsari.
Sesungguhnya, sangat banyak peristiwa penting yang mewarnai bulan Oktober 1945. Di antaranya, Upacara besar-besar memperingati dua bulan Kemerdekaan di Jogjakarta, tepatnya di Kepatihan. Di saat itu, “Hormat Merdeka” sebanyak tiga kali ditampilkan oleh semua peserta upacara. Juga Hening Cipta, lagu Indonesia Raya, dan Doa kepada para arwah Pahlawan Kemerdekaan. Demikian juga dengan Kaum Buruh, mereka menyiapkan diri sebagai pembantu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan mendaftarkan diri masing-masing di markar TKR, Jl. Cemara 24, Jakarta.
Pertaruhan masyarakat Islam selama Oktober – Desember 1945 (Suryanegara, 1996: 231, 268) benar-benar menegangkan karena pengorbanan nyawa selalu di depan mata, hampir di semua wilayah di tanah Jawa, dan sebagiannya melebar di kawasan lain di Indonesia, antara lain Sulawesi dan Sumatera. Di awal November 1945 misalnya, tepatnya melalui Muktamar Ummat Islam 7 November, mendeklarasikan pembentukan Barisan Sabilillah sebagai barisan istimewa dalam TKR. Dengan bahasa yang berkobar-kobar, diberitakan bahwa “60 Milyun (‘Juta’) Kaum Muslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah…Menentang tiap-tiap Penjajahan” (Suryanegara, 1996: 296-297).
Demikianlah sedikit penyegaran tentang Sejarah Oktober yang begitu menentukan “nafas merdeka” bagi Indonesia, sebuah negeri yang selalu menggugah kesadaran kebangsaan kita. ***











Discussion about this post