Gorontalopost.co.id, GORONTALO — PT Pabrik Gula (PG) Gorontalo merasa sangat dirugikan oleh pihak Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan atas perubahan harga tebu yang tidak melalui proses mekanisme hasil survei independen.
Pasalnya, dengan adannya perubahan Harga yang sangat signifikan itu, selain berpengaruh pada fiskal perusahaan, juga akan menimbulkan konflik baru diantara para petani yang mendapatkan harga berbeda.
Hal ini disampaikan General Manager PT PG Gorontalo Ir. Mbantu Karo-Karo usai pertemuan antara Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, PT Pabrik Gula (PG) Gorontalo, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), dan jajaran Forkopimda Provinsi Gorontalo di Rumah Jabatan Gubernur, Kamis (2/10/2025).
“Menurut tahun-tahun sebelumnya, penentuan Harga Pokok Produksi (HPP) tebu itu harus melalui survei independen terlebih dahulu, yang mana survei itu dilakukan satu kali dalam setahun, nah hasil survei itu akan menentukan angka Harga Pokok Poduksi,”kata Karo-Karo.
Lebih lanjut dijelaskan Karo-Karo, bahwa Tahun 2025 hanya satu kali survei, tetapi perubahan Harga terjadi dua kali. Harga pertama sesuai hasil survei, yakni Rp 540 Ribu/ton dengan asumsi atau dengan hasil survei itu produksi tebu satu hektare, yakni 79,5 ton perhektar.

Sesudah muncul HPP pada April 2025, maka Juli 2025 dilakukan lagi perubahan Harga, yang mana Harga ini mestinya berdasarkan survei ulang, tetapi fakta yang ada tidak ada survei ulang. Sehingga menurut Karo-Karo disitu muncul data bahwa produksi tebu yang tadinya 79,5 ton per hektare, berubah manjadi 70 ton perhektar.
Itulah yang menyebabkan perusahaan dituntut dengan Harga Rp 660 Ribu/ton. Yang jadi pertanyaan Karo-Karo, mengapa ada perubahan angka HPP, padahal survei hanya dilakukan sekali saja. Mestinya produksi dalam setahun hanya satu kali muncul.
“Akibat perubahan Harga tanpa survei independen dan tidak sesuai SOP ini membuat perusahaan sangat dirugikan sekali, nah itu yang membuat kami keberatan. Disisi lain kami punya karyawan lebih dari 2 Ribu orang, sehingga kita betul-betul mempertimbangkan, bukan semudah membalikan telapak tangan untuk menerima Harga ini,”tegas Karo-Karo.
Yang dikhwatirkan Karo-Karo, akan terjadi konflik antara petani ketika PG membayarkan Harga berbeda di tahun yang sama pada petani berbeda. Harusnya jelas Karo-Karo, pada tahun yang sama walaupun petani berbeda namun harganya hanya satu atau sama.
Untuk itu pihaknya tegas Karo-Karo tetap berpegang pada hasil rapat daring bersama Dirjen Perkebunan pada 7 September 2025. Dalam rapat itu ditegaskan bahwa harga Rp 660 ribu/ton hanya berlaku untuk sekitar 30 hektare tebu rakyat yang belum ditebang, dan bukan yang berlaku per tanggal 21 Juli 2025 keatas.

Karo-Karo juga mempertanyakan, kalau memang selama ini petani sudah tau ada Harga baru, kenapa pembayaran yang dilakukan oleh PG tidak ada komplain. Sehingga PG menganggap tidak ada perubahan Harga.
Menurut Mbantu, pembayaran dengan harga sesuai surat Ditjenbun nomorB-393/KB 110/E/4/2025 tanggal 22 April 2025 sebesar Rp540 ribu per ton, selama ini tidak menuai keluhan dari petani mitra dan semua tahu bahwa penetapan harga hanya sekali dalam satu tahun, tetapi menjelang selesai giling tahun 2025 Dirjenbun kembali menetapkan harga HPP baru menjadi Rp660 ribu melalui surat nomor B-393/KB.110/E/07/2025 tanggal 21 Juli 2025.
Jelas ini tidak konsisten dengan kesepakatan sebelumnya. “Jika kami tetap dipaksa untuk membayar dengan Harga Rp 660 Ribu/ton tentu perusahaan sangat dirugikan, kami juga tidak tahu apakah petani bisa menerima atau tidak. Artinya petani yang sudah dibayarkan sebelumnya dengan Harga Rp 540 apakah dia mau menerima dengan tidak mendapatkan perubahan bayaran,”ungkap Karo-Karo.
Ia juga mempertanyakan mengapa yang diundang dalam forum atau pertemuan dengan Forkopomda dan Dirjenbun itu hanya APTRI dan bukan KPTR dan 28 Ketua Kelompok Tani yang membuat dan menandatangani Surat Perjanjian KSO.
Sementara yang merupakan mitra resmi PG adalah KPTR serta ketua kelompok tani bukan APTRI. Sehingga Karo-Karo menganggap bahwa keputusan yang dihasilkan dalam forum tersebut bukan mewakili dari semua petani melainkan hanya APTRI saja. “APTRI sendiri belum pernah kami tahu kapan terbentuknya dan kami tidak tahu apa fungsinya untuk PT PG Gorontalo.,”ungkap Karo-Karo.
Anehnya Ketua APTRI Gorontalo Wasito Somawiyono yang juga merupakan Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) serta Ketua DPC Apri Gorontalo Heru Purnomo juga selaku Ketua Kelompok Tani Tebu, keduanya sama-sama ikut menandatangani surat perjanjian KSO TR MT 2024/2025, justru menjadi aktor utama yang mengklaim melakukan intervensi perubahan harga ke Dirjenbun menjadi Rp 660 Ribu/ton. Akibat inkonsitensi para pihak ini sehingga sangat berdampak merugikan pihak PG Gorontalo.
“Kami berharap agar Dirjenbun dapat mempertimbangkan kembali keputusannya atas perubahan harga tebu yang tidak sesuai survei independen itu sehingga kedepan tidak menimbulkan konflik serta kerugian antara perusahaan dan petani,”tandas Karo-Karo.
Sementara itu Plt Dirjen Perkebunan Roni Angkat mengatakan, pihaknya menginginkan Gorontalo aman dan nyaman, investasi harus aman, petani juga harus meningkat kesejahteraannya. “Sebenarnya titik permasalahannya adalah komunikasi yang tidak ketemu.
Penetapan Harga itu melalui studi, tidak ada jatuh dari langit, ada penentu harga sesuai kondisi hasil survei di lapangan. Terkait adannya koreksi atau perbaikan Harga, itu diperbolehkan selama ada komunikasi antara mitra dalam hal ini petani dan perusahaan.
“Jadi Harga yang disepakati yakni berlaku tanggal 21 Juli 2025 keatas yakni Rp 660 Ribu per hektare. Sebaliknya 21 Juli 2025 kebawah itu menggunakan Harga lama yakni 540 ribu per hektare. Apakah boleh direvisi harga, ya boleh, kita menerima usulan dan informasi dari daerah.
Kalau ada revisi lagi boleh, usulkan saja ke kami nanti kami akan turunkan tim untuk melaksanakan revisi, kalau perusahaan gunakan sistem bagi hasil itu boleh, karena ada dua skema yang bisa dihunakan yakni sistem beli putus dan system bagi hasil, tinggal mana yang mau digunakan. Dan keputusan hari ini harus disetujui oleh kedua belah pihak,”tandas Roni sembari mengakui bahwa dirinya yang bertanggungjawab penuh atas koreksi Harga yang salah atau keliru tersebut.
Gubernur Gorontalo Ir Gusnar Ismail berpesan agar membenahi kembali komunikasi antara perusahaan dan masyarakat petani serta pemerintah. “Saya kira kita carikan solusi yang terbaik, kemudian pembicaraan dalam forum ini sangat menentukan masa depan Gorontalo,”tutup Gusnar.
Ketua DPC PTRI Gorontalo Heri Purnomo mengatakan, legowo dengan keputusan Dirjenbun ini. “Kita ingin agar kedepan menjadi lebih baik lagi,”pungkas Purnomo. (roy)











Discussion about this post