Gorontalopost.co.id, GORONTALO — Pemerintah daerah bersama DPRD provinsi Gorontalo dan tiga daerah tempat investasi perkebunan sawit masing-masing kabupaten Gorontalo, Boalemo, dan Pohuwato seperti mendapatkan tamparan keras dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga antirasuah itu blak-blakan menyebutkan investasi sawit yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun di Gorontalo, hanya memberi kontribusi minim bagi sektor pendapatan daerah. Lebih dari itu, potensi kerugian negara karena dugaan praktek nakal investor terbuka lebar.
Ini belum termasuk kerugian yang dialami masyarakat karena dampak lingkungan, serta tidak adanya itikad baik investor menjalani kerjasama melalui konsep lahan plasma untuk meningkatan pendapatan masyarakat di sekitar lahan perkebunan sawit.
Ini mengemuka dalam rapat koordinasi (Rakor) membahas tata kelola sawit di Gorontalo antara KPK, Pemerintah daerah dan DPRD Provinsi, Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato dan BPN yang berlangsung via zoom, kemarin (11/9).
Dalam Rakor itu, salah satu tim supervisi KPK, Eva Kartika memaparkan, kontribusi sawit dalam bentuk dana bagi hasil DBH untuk Gorontalo sangat minim. Pada 2024 besaran DBH yang diperoleh Pemda di Gorontalo hanya Rp 8,82 miliar.
Rinciannya, DBH yang diterima Pemprov Rp 1,76 miliar, Kabupaten Gorontalo Rp 1 miliar, Boalemo Rp 3,47 miliar, Pohuwato Rp 2,59 miliar. “Prosentasenya sangat minim bila dibandingkan APBD empat Pemda itu yang mencapai Rp 3,8 T,” urainya.
Padahal sambung Eva, kehadiran investasi sangat dibutuhkan untuk membantu pemerintah daerah dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran. “Kalau kita lihat angka kemiskinan di Gorontalo itu malah mencapai 13,87 persen pada 2024 atau berada diatas rata-rata nasional sebesar 9 persen. Sementara pengangguran mencapai 3,05 persen,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Eva sangat mendorong Pemda bersama DPRD untuk membenahi tata kelola sawit. Dengan memperhatikan empat aspek.
Pertama, meminimalisir permasalahan terkait wilayah dan perizinan perkebunan.
“Masalah yang muncul misalnya perambahan kawasan hutan, konflik lahan dan perampasan tanah, perkebunan tanpa izin, tumpang tindih kepemilikan lahan dan pelanggaran hak masyarakat adat,” sarannya.
Kedua, transparansi dan akuntabilitas data dan informasi. Menurut Eva ini sangat penting karena membuka celah munculnya kerugian negara dan korupsi. “Karena data dan informasi yang tidak dapat diakses lintas pihak, data rencana dan realisasi kegiatan perkebunan yang tidak dilaporkan, data produksi dan penjualan tidak disampaikan kepada pemberi izin,” ungkapnya.
Ketiga, ketidakpatuhan pemegang izin dalam melaksanakan kewajibannya kepada pemerintah pusat dan daerah. Eva menguraikan ada beberapa praktek nakal yang bisa dilakukan oleh pemegang izin.
“Seperti kewajiban BPHTB perusahaan yang belum dibayarkan, pajak kendaraan bermotor, pajak penerangan jalan, pajak air permukaan dan pajak air tanah, pajak PBB P5L, dan kewajiban lingkungan yang belum dilaksanakan,” ungkapnya.
Keempat, lemahnya pengawasan dan pengendalian. Menurut Eva ini harus dibenahi karena lemahnya pengawasan dan pengendalian menjadi salah satu faktor pemicu buruknya tata kelola sawit.
“Karena tidak ada pengawasan berkala kepada pemegang izin, tak ada penilaian kinerja perkebunan dan penilaian usaha perkebunan, kemudian dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan malah jadi beban Pemda,” urainya.
“Lemahnya pengawasan ini juga bisa memicu konflik antara perusahaan dengan masyarakat karena ada kewajiban yang tidak dipenuhi. Serta tidak diterapkannya sanksi sebagaimana yang diatur daam perundang-undangan yang berlaku,” sambung Eva.
Wakil Gubernur, Idah Syahidah pada Rakor itu tak menampik DBH sawit yang diperoleh Gorontalo dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan. Pada 2022, DBH yang diterima mencapai Rp 11 miliar. Lalu pada 2023 turun menjadi 10 miliar dan pada 2024 tinggal Rp 8 miliar.
“DBH ini diperoleh dari perkebunan sawit di Gorontalo yang mencapai 17 ribu lebih hektar yang tersebar di Kabupaten Gorontalo, Boalemo dan Pohuwato,” ungkapnya.
Ketua Deprov Thomas Mopili mengatakan, buruknya tata kelola sawit di Gorontalo sudah terdeteksi dari banyaknya aduan masyarakat yang masuk ke Deprov. Misalnya lahan HGU sawit yang tidak terkelola dengan baik. Dan parahnya lagi petani plasma tak memperoleh manfaat.
“Makanya kami membentuk Pansus untuk mendalami persoalan ini. Tapi kewenangan Pansus terbatas. Makanya kami minta pendampingan dari KPK,” ungkap Thomas.
Ketua Pansus Sawit Deprov, Umar Karim mempertegas sinyalemen buruknya tata kelola sawit tersebut. Menurutnya, setelah Pansus melakukan investigasi di lapangan pihaknya menemukan banyak masalah dan indikasi pelanggaran dari perusahaan perkebunan sawit.
“Perusahaan terindikasi tidak membayar pajak air permukaan. Pabrik CPO yang ada di Boalemo terindikasi tidak memiliki izin operasi. Bahkan bagi hasil plasma sangat merugikan masyarakat. Di Kabupaten Gorontalo hanya seribu rupiah/hektar. Belum lagi pengelolaan koperasi sawit sangat buruk,” urainya.
Anggota Pansus Limonu Hippy juga meragukan laporan hasil produksi dari perusahaan. Menurutnya laporan hasil produksi tandan buah segar hanya sebesar 6 ribu ton.
Tapi saat Pansus turun lapangan dan berdiskusi dengan para petani produktifitas untuk satu hektar mencapai 4-5 ton. Sehingga hasil produksi yang dilaporkan harusnya 14 ribu ton. “Ini potensi kerugian negara yang harus ditelusuri lebih dalam lagi,” urainya.
Pada rapat itu, BPN Gorontalo juga memaparkan cukup banyak izin lahan HGU untuk sawit yang sampai sekarang belum digarap oleh perusahaan. Sehingga perlu ada langkah serius terhadap persoalan ini. (rmb)











Discussion about this post