Gorontalopost.co.id — Dalam sejarah penegakan hukum di daerah, tak banyak kasus yang begitu menyisakan luka di hati rakyat seperti perkara yang menimpa Hamim Pou, mantan Bupati Bone Bolango.
Selama belasan tahun, ia dikenal sebagai pemimpin bersahaja yang membangun daerahnya tanpa pamrih, dekat dengan rakyat, dan tak pernah terdengar namanya terlibat dalam pusaran kekuasaan yang kotor. Tapi hari ini, ia duduk di kursi terdakwa—dituduh menyalahgunakan anggaran bansos dan hibah yang justru selama ini menjadi bukti kepeduliannya kepada masyarakat.
Selama proses persidangan, satu demi satu saksi dihadirkan. Mereka bukan tokoh besar atau penguasa modal, melainkan rakyat biasa—mahasiswa yang menerima beasiswa, takmir masjid yang menerima bantuan pembangunan rumah ibadah, hingga kepala dinas dan bendahara yang menjelaskan prosedur anggaran. Semuanya memberi keterangan tegas: bantuan itu diterima secara utuh, tanpa potongan, tanpa motif politik, dan tanpa ada instruksi menyimpang dari Hamim Pou. Bantuan itu murni untuk kepentingan rakyat.
Tak hanya itu. Para ahli yang dihadirkan pun membongkar kelemahan dakwaan jaksa. Ahli keuangan negara menegaskan tidak adanya kerugian negara yang nyata dan riil. Ahli pidana menyatakan bahwa korupsi tidak bisa disimpulkan hanya karena prosedur administratif dianggap tidak lengkap. Bahkan laporan kerugian yang dijadikan dasar tuntutan pun terbukti cacat—tidak ditandatangani oleh kepala BPKP dan tidak memperhitungkan bahwa anggaran telah disahkan dalam APBD.
Yang lebih menyedihkan, perkara ini menyasar bantuan tahun 2011–2012, saat Hamim Pou belum bisa dipastikan maju lagi dalam Pilkada. Tapi jaksa menudingnya punya niat politik sejak saat itu. Niat yang ditafsirkan ke belakang, tanpa dasar waktu yang logis. Padahal, setiap proses anggaran telah dibahas TAPD, disetujui DPRD, dan dilaksanakan oleh SKPD. Semuanya terekam dalam dokumen resmi dan terbuka untuk audit.
Ironi pun menyeruak: seorang bupati yang telah membangun ribuan rumah layak huni, memberikan ribuan beasiswa, memperjuangkan layanan kesehatan gratis, membawa Bone Bolango menjadi kabupaten “maju” dengan indeks pembangunan manusia tertinggi di Gorontalo, kini dituduh memperkaya diri sendiri, padahal tak satu pun bukti menunjukkan ia menerima keuntungan pribadi.
Rakyat tahu siapa pemimpinnya. Mereka menangis saat mendengar nama Hamim Pou disebut sebagai terdakwa. Bagi mereka, ini bukan sekadar perkara hukum—ini adalah ujian keadilan. Karena jika seorang bupati yang membangun masjid, membantu mahasiswa, dan tidak mengambil satu rupiah pun bisa dipenjarakan karena alasan administratif, maka akan lahir ketakutan masif bagi kepala daerah lainnya untuk membantu rakyatnya.
Dan sesungguhnya, vonis rakyat telah lama dijatuhkan: Hamim Pou dibela, dicintai, dan dikenang bukan karena jabatannya, tetapi karena jejak pengabdiannya. Ia hadir di ruang sidang bukan sebagai pesakitan, tapi sebagai potret pemimpin yang terluka oleh tafsir hukum yang kering dari nurani.
Keadilan tidak boleh kehilangan arah. Dan hukum tidak boleh menjadi alat untuk menghukum kebaikan yang tak sempurna. Karena bila itu terjadi, maka yang rusak bukan hanya seorang pemimpin, melainkan kepercayaan rakyat terhadap sistem keadilan itu sendiri. (*)












Discussion about this post