Gorontalopost.co.id — Suara-suara kecil dari pelosok Bone Bolango kini menggema di ruang sidang. Bukan dari elite, tapi dari mahasiswa, pengurus masjid, dan warga biasa yang pernah menerima bantuan sosial. Mereka tampil apa adanya, membawa kesaksian yang justru menguatkan: bantuan disalurkan utuh, tanpa potongan, tanpa tekanan.
“Alhamdulillah, kami menerima bantuan itu tanpa potongan sepeser pun. Justru berkat itulah saya bisa lanjut kuliah,” ujar seorang mahasiswa yang menjadi saksi di persidangan.
Sudah lebih dari tiga bulan proses hukum berjalan. Nama Hamim Pou, mantan Bupati Bone Bolango yang dikenal luas sebagai panglima pembangunan dan pelayan rakyat, kini dipanggil sebagai terdakwa.
Namun anehnya, dari fakta-fakta yang muncul di persidangan, tak satu pun saksi menyebut ia mengambil keuntungan pribadi atau memerintahkan penyaluran dana secara melawan hukum.
Persidangan yang digelar rutin tiap pekan menghadirkan banyak saksi, mulai dari bendahara daerah, pejabat dinas, hingga para penerima bantuan. Semuanya menyampaikan hal senada: dana bantuan sudah tertata dalam dokumen resmi seperti APBD dan DPA SKPD, dan disalurkan oleh dinas teknis tanpa intervensi atau potongan dari Bupati.

Lebih mencengangkan, saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)—yang justru dihadirkan oleh jaksa—menyatakan bahwa tidak ada kesimpulan adanya penyimpangan langsung oleh Hamim Pou. Penilaian apakah ini korupsi atau bukan diserahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim.
Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam laporan resminya, menegaskan bahwa tidak terdapat kerugian negara dalam perkara ini. Temuan yang ada bersifat administratif, bukan pidana.
“Kalau semua penerima menyatakan tidak dirugikan, dan anggaran tertata resmi dalam APBD, maka tuduhan kerugian negara seharusnya dipertimbangkan ulang,” kata seorang akademisi dari perguruan tinggi negeri di Gorontalo.
Para pengamat hukum menilai, kasus ini menunjukkan gejala klasik kriminalisasi kebijakan. Di mana pejabat yang mengambil keputusan strategis untuk membantu masyarakat justru diseret secara hukum, tanpa bukti adanya keuntungan pribadi.
“Banyak kepala daerah yang akhirnya memilih tidak menyalurkan bantuan sosial karena takut dijerat. Padahal, bantuan seperti inilah yang menyelamatkan anak-anak dari putus kuliah dan membantu masjid-masjid berdiri megah,” ujar seorang pengacara publik yang mengikuti jalannya perkara ini.
Dugaan publik pun muncul: jangan-jangan, yang diadili bukan pelanggaran hukum, tapi keberpihakan seorang pemimpin kepada rakyat kecil. Hamim Pou bukan sosok asing di Bone Bolango. Selama 13 tahun memimpin, ia dikenal sebagai Bupati yang membangun dengan tangan dan hatinya.
Di bawah kepemimpinannya, Bone Bolango meraih opini WTP sebanyak 11 kali berturut-turut, mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi di antara 5 kabupaten di Provinsi Gorontalo, dan menjadi pionir reformasi birokrasi digital di Indonesia Timur.
Ia mendirikan RS Toto, Mal Pelayanan Publik, GOR Boludawa, GOR Harapan dan Prestasi, serta The Center Point (The Bright Gate)—ikon kebanggaan Bone Bolango yang kini menjadi simbol semangat baru daerah. Tak hanya itu, ratusan kilometer jalan diperbaiki dan dibuka, menghubungkan desa-desa yang sebelumnya terisolasi.
Hamim juga memimpin revitalisasi Danau Perintis, membangun beragam infrastruktur pemerintahan yang modern dan fungsional, menyediakan ribuan unit rumah layak huni bagi masyarakat, serta membagikan lebih dari 10.000 ekor ternak kepada rakyat—langkah konkret dalam membangkitkan ekonomi pedesaan dan memperkuat ketahanan pangan keluarga.
Salah satu capaian monumental adalah pembangunan di Kecamatan Pinogu, wilayah terisolir di tengah hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Hamim merintis pembangunan jalan, penyediaan listrik, serta mempopulerkan Kopi Pinogu sebagai kopi organik lokal. Kini, Kopi Pinogu telah mendapat pengakuan nasional dan tercatat dalam Rekor MURI.
Di bidang pemerintahan, Bone Bolango juga menjadi kabupaten dengan capaian SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) terbaik di kawasan Sulawesi, dengan predikat BB (Sangat Baik) selama lima tahun berturut-turut. Tak hanya itu, Anugerah Adipura juga berhasil diraih sebagai bukti komitmen pada kebersihan dan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan.
Di sisi sosial kemanusiaan, Hamim Pou dikenal luas sebagai pencetus Hari Anak Yatim di Bone Bolango. Kepeduliannya membuat sebagian kalangan menjulukinya “Panglima Anak Yatim.”
Ia juga membuka jalan bagi hadirnya kampus Universitas Negeri Gorontalo di Bone Bolango, dan dua kali dianugerahi Satya Lencana Pembangunan oleh Presiden Republik Indonesia.
Dalam sebuah pertemuan terbatas dengan sahabatnya, Hamim berkata pelan, “Saya tidak pernah meminta ujian ini. Tapi mungkin ini cara Allah untuk menguji apakah saya bisa tetap jujur, meski tidak dipercaya. Tetap tenang, meski diguncang.”
Sidang berikutnya akan menghadirkan ahli pidana. Publik menunggu, akankah fakta-fakta yang telah terang ini diperkuat oleh logika hukum, atau justru diabaikan? Yang jelas, bagi banyak warga Bone Bolango, Hamim Pou bukan terdakwa—dia adalah pemimpin mereka.
Kini publik menyaksikan satu babak penting dalam sejarah kepemimpinan lokal. Apakah keadilan mampu melihat di balik tuduhan dan memilih berpihak pada kebenaran?
Bagi warga Bone Bolango, Hamim Pou tetaplah pemimpin—bukan terdakwa. Dan di ruang sidang itu, yang justru terpancar adalah ketulusan yang diuji, bukankesalahan yang dibuktikan. (Tro)











Discussion about this post